Written by UAPM Inovasi 10:49 Esai

Kejarlah Hasrat, Kau Ku-Artis-kan

Program pencarian bakat menyanyi selalu diburu oleh masyarakat. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri dengan harapan dapat lolos audisi, menang saat votting SMS, jadi pemenang kontes, lalu jadi artis pendatang baru.

Asal tahu saja, ajang pencarian bakat menyanyi memang banyak diminati oleh masyarakat. Entah apapun nama programnya. Indonesian Idol, Indonesian Voice, Rising Star, Akademi Fantasi Indosiar atau bahkan Dangdut Academy selalu diramaikan oleh orang yang ingin menjadi artis dan entertainer.

Misalnya saja pendaftar ajang pencarian bakat X Factor 2015. Program yang dipandu oleh Robby Purba itu mencatat sekitar 20 ribuan orang pendaftar dari berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Medan. Ini belum termasuk pendaftar dari kota Malang, Aceh, Makassar, dan Banjarmasin.

Kalau pendaftar X Factor 2015 berkisar di angka 20 ribuan, pendaftar program Dangdut Academy 2016 lebih banyak lagi. Pendaftar di ajang pencarian bakat penyanyi dangdut ini mencatat ada sekitar 35 ribuan orang dari seluruh kota di Indonesia.

Angka ini belum seberapa. Ada program pencarian bakat yang memiliki pendaftar gila-gilaan dibanding X Factor dan Dangdut Academy. Indonesian Idol tahun 2014 mencatat sekitar 200 ribu orang pendaftar dari seluruh Indonesia. Jumlah ini membuat saya heran. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah warga kota Kediri Jawa Timur.

Saya tidak tahu pasti mengapa begitu banyak orang yang ingin menjadi penyanyi. Amatan dangkal saya mengira-ngira, kebanyakan orang atau individu ingin menjadi penyanyi didasarkan atas motif uang dan ketenaran. Saya kira jarang ada yang menyangkal bahwa menjadi penyanyi adalah pekerjaan yang mendatangkan kekayaan secara instan.

Buktinya, Fatin Sidqia Lubis remaja 18 tahun mendadak kaya setelah memenangkan ajang menyanyi X Factor pada 2013 lalu. Dalam waktu kurang dari satu tahun berkarir di dunia tarik suara, ia mampu membantu orang tuanya membeli rumah yang lebih layak dan lebih mahal dari tempat tinggalnya yang dulu. Kehidupan penyanyi ataupun artis memang menjanjikan kesejahteraan dan kekayaan. Agnes Monica pada aksi panggungnya tahun 2000-an dibayar sebesar 8 juta rupiah per lagu. Bagi kaum papa dan masyarakat kelas menengah bayaran segitu tentu menggiurkan bukan?

Lalu, apa yang membuat orang berbondong-bondong mengikuti ajang lomba tarik suara? Dari beberapa celotehan dan alasan mereka ikut audisi di ajang ini adalah karena ingin menjadi musisi dan artis. Menjadi seorang artis yang tidak hanya mampu menghibur masyarakat luas, tapi juga mampu menghasil rupiah yang melimpah ruah.

Alasan kedua tentu yang paling banyak diincar oleh peserta-peserta yang mengikuti audisi menyanyi. Ya, minimal jadi penyanyi dan artis walaupun tidak terkenal,tapi mampu menghasilkan uang yang lebih besar dari pekerja kantoran.

Makanya tidak heran, di setiap audisi ajang pencarian bakat menyanyi pasti kita disuguhi dengan aksi olah suara peserta yang tidak hanya amatir, tapi juga lucu, yang ujung-ujungnya menjadi bahan tertawaan para jurinya.

Menurut saya, hasrat masyarakat luas yang ingin menjadi penyanyi dan artis tersebut pastilah dipengaruhi oleh keglamoran hidup para penyanyi dan artis itu sendiri. Siapa sih yang tidak ingin jadi artis, terkenal, dan berkecukupan? Setiap orang pasti ingin hidup berkecukupan, terkenal, dihargai, dan tentunya banyak uang seperti artis.

Setiap orang, menurut saya hampir selalu dikendalikan oleh hasrat tersebut. Hasrat yang saya sebut sebagai hasrat untuk mencari kesenangan dan menghindari kesakitan. Mengapa manusia berhasrat hedonis seperti itu? Henry .A. Murray dalam Teori Personologi-nya menjelaskan bahwa motivasi manusia hidup adalah mencari kesenangan dan menghindari kesakitan. Sigmund Freud pendiri psikoanalisis menyebut keadaan tersebut lebih ekstrem lagi. Dia menyebut bahwa manusia yang selalu mencari ketenaran, popularitas, dan publisitas dirinya sendiri sebagai manusia yang digiring oleh hasrat atau the culture of narcissism (budaya narsis).

Dalam Lacan, Discourse and Social Change, Jacques Lacan mengemukakan bahwa hasrat merupakan sebuah mekanisme utama pengubah sosial. Sebuah mekanisme utama penggerak kebudayaan, yang energi utamanya adalah libido. Hasratlah yang membuat sebuah kebudayaan tak pernah diam, yang membuat setiap orang merasa tak puas dengan apa yang telah dimiliki, yang mendorong orang untuk mencari hal-hal baru. Oleh sebab itu, hasrat dapat bersifat positif (membangun) maupun negatif (merusak).

Saya setuju jika peragaan hasrat yang ditampilkan oleh individu-individu yang hanya mencari ketenaran dan uang semata adalah hasrat negatif dan bersifat merusak. Karena, hampir tidak ada tujuan transedental seperti membangun bangsa, masyarakat, atau agama yang dihasilkan oleh hasrat pemburu popularitas dan kekayaan pribadi tersebut.

Hasrat-hasrat negatif ini juga makin marak diperagakanoleh masyarakat Indonesia. Hasrat negatif ini tidak hanya mempengaruhi orang-orang yang menjadi penyanyi atau artis, tapi juga mempengaruhi para penulis.

Seperti yang kita ketahui, bahwa buku-buku komedi seperti Cinta Brontosaurus, atau Koala Kumal karangan Raditya Dika pasti lebih laris dan lebih terkenal dibandingkan buku fakta sejarah gerakan mahasiswa seperti Bangkitlah Gerakan Mahasiswa karangan Eko Prasetyo. Buku-buku laris yang bertebaran di Gramedia Book Store saat ini adalah buku-buku komedi, novel fiksi, dan buku tips jualan online. Bukan buku fakta sejarah, atau buku perlawanan terhadap ketimpangan sosial.

Dan fakta saat ini adalah Raditya Dika pasti lebih terkenal daripada Eko Prasetyo. Di situ kadang saya sedih. Lalu apa jadinya bangsa ini jika tontonan hasrat penulis dan musisinya terus menerus mengabadikan hasrat negatif mereka? Jika hasrat negatif ini terus menerus kita peragakan, kita akan terjebak dalam mentalitas neoprimitivisme.

Yasraf Amir Piliang menyebut mentalitas neoprimitivisme adalah mentalitas yang menciptakan berbagai kecenderungan, pola, dan gaya hidup yang menjadi faktor-faktor penyebab macetnya perubahan, reformasi, demokratisasi, dan ketidakmampuan untuk keluar dari berbagai krisis yang melanda.

Mentalitas neoprimitivisme ini salahsatunya ditandai dengan kecenderungan mengejar kesenangan dan meninggalkan sikap menunda kesenangan. Di sisi lain, menurut Weber, mentalitas neoprimitivisme ini adalah sikap yang menginginkan hasil segera tapi tidak memiliki tujuan transedental tertentu yang lebih mulia semisal tujuan membangun bangsa, negara, atau agama.

Saya kira, sudah saatnya kita semua meninggalkan dan menekan mentalitas neoprimitivisme yang ada di diri kita. Sudah saatnya para musisi mengembangkan hasrat positifnya. Bermusik tidak hanya mencari kekayaan semata, tetapi mampu mengembangkan musik itu sendiri. Misalnya menciptakan jenis musik baru, atau mengembangkan nada yang benar-benar berbeda dari yang pernah ada sebelumnya.

Dan sudah waktunya pula kita tidak lagi berbondong-bondong mengikuti audisi menyanyi dan mengganti koleksi buku komedi kita dengan buku-buku yang dapat mengembangkan wawasan kita menjadi bangsa yang memimpin peradaban dunia. []

Hendri Mahendra

(Visited 6 times, 1 visits today)

Last modified: 08 Februari 2016

Close