Written by UAPM Inovasi 10:20 Cerpen, Sastra

Melawan Kelindan Waktu

Terminal

Saat ini kuputuskan berjalan kaki menjauhi waktu yang tak pernah dapat dikejar. Tibalah pendakian itu pada lereng Terminal, kemudian dengan dan tanpa sengaja kita bertiga yang kebetulan bertemu pada tempat dan waktu yang sama, berkhayal atas pesawat darat tua yang mengeluarkan asap sangat banyak.

Mata kita tersudutkan atas harmoni keseimbangan alam; kau bilang itulah yang telah menang melawan waktu; kau bilang sangat beruntung dapat bertemunya malam ini; kulihat hanya orang bisu yang mencoba untuk berbicara.

Pakaiannya seperti petugas Terminal, berbaju seragam yang telah dimasukan pada celana hitamnya, seperti berbicara atau menerjemahkan imajinasi dari dalam otaknya, hanya dengan menggunakan visualisasi yang dia bisa. Ia memberi intruksi kepada seluruh bus yang datang maupun yang akan berangkat, meskipun tak dihiraukan, kemudian dengan berlagak memerintah, menyuruh penumpang untuk memasuki bus; seperti itulah secara berulang-ulang.

Katamu: Biarkan ia berimajinasi seperti yang dia ingin. Katamu: Kasihan, di sini Ia hanya dijadikan bulan-bulanan. Kataku: Kehidupan memang tak pernah adil. Katamu: Apa kau tak lihat kelebihan yang dimilikinya. Katamu: Bukankah kelebihannya hanyalah rela dipermainkan orang? Kataku: Itu penindasan namanya, harus dilawan. Katamu: Ia telah menang terhadap waktu.

Hanya kita yang datang ke sini tanpa kepentingan apa pun, usulku. Kau juga mengatakan, di tengah hiruk pikuk ribuan orang di sini, hanya kita satu-satunya yang memperbincangkan budaya seperti ini. Aku tertawa, setelah membolak-balik pandanganku, lalu menghayal keadaan saat itu; Si penumpang setengah gelisah memikirkan perjalanan yang akan ia tempuh, “Sampai di sana jam berapa nanti?Apakah masih ada taksi yang mangkal?” Sopir bus melamun, “Hari ini sepi, antrian nggak selesai-selesai lagi,” Pegawai terminal menatap dengan pandangan kosong “Kapan laut? Jamnya begitu lambat berputar”. Pedagang asongan, “Sudah larut, dagangan masih banyak”. Semua suara itu membuatku tertawa, “Oh, iya Om…! Hanya kita yang tidak berkepentingan dan berbincang seperti ini,” dengan mengutarakan nada setuju.

Orang yang kami jadikan bahan pembicaraan tadi, tiba-tiba walang kerik di depan kami. Lalu menyuruh kami untuk segera menaiki bus, kami mengangguk sekalipun tak paham apa maksudnya. Kemudian lagaknya menyuruh penumpang yang baru datang untuk cepat menaiki bus; layaknya kernet yang mencari penumpang. “Hidup itu surealis, seperti dialah yang menang terhadap waktu,” begitu katamu

“Apa yang membuat dia menang terhadap waktu” Tanyaku

Sebelum malam berubah menjadi larut. Kita memperhatikan kepulangan orang itu dengan membawa botol kosong, sebanyak dua buah kantong plastik besar ditangannya, “Apa kubilang, dia menang terhadap waktu!”

*

Kelindan

Kita berkelindan dengan waktu, berjalan beriringan namun tak pernah saling mengenal. Pernahkah kau berpikir bebas dari waktu? kupikir itu kenikmatan terbesar. Namun kata orang, bebas dari waktu itu sama dengan mati. Aku jadi teringat kisah Foucault yang sangat merindukan sosok kematian.

“Aku ingin mencoba keluar dari kelindan ini”

Kau tak mengerti. Kau tahu hubungan antara lubang jarum dan benang? Seperti itulah kita dan waktu, kita akan selalu bersamanya. Kau juga harus ingat bahwa waktu lebih tua darimu, dan mungkin dia jauh lebih jenuh hidup berdampingan denganmu, apa dia memprotes? Jadi menurutku, jalanilah apa yang ada!

“Kenapa kita tak dapat memilih?”

Siapa bilang tak dapat memilih? Kita dapat memilih apa pun yang akan dijahit dengan jarum itu, semakin kita menjahit, semakin pula mendapatkan hasilnya, sama dengan kehidupan, bukan?

“Itu hanya hegemoni Agama! Kupikir kita tidak dapat memilih hidup tanpa waktu, sama halnya seperti tidak dapat memilih untuk tidak lahir.”

Kamu harus ingat dengan takdir! Dan jangan lupa siapa yang menakdirkan hidupmu sekarang?

“Itulah biang kerok atas semua ini; atas berkelindannya aku dengan waktu, maupun atas tidak dapatnya aku memilih untuk tidak lahir.”

*

Surga dan Neraka

Jika masih ada surga dan neraka, berarti waktu akan tetap  ada. Sama halnya kematian hanyalah sebuah fase rienkarnasi untuk menjalani waktu lagi. Jika begitu, percuma jika ingin terlepas dari kelindan waktu, dengan hanya membunuh diri tanpa membunuh waktu.

Hanya utopis jika mati sebagai jawaban atas terbebasnya dari kelindanan waktu, karena masih ada belenggu akhirat; surga dan neraka, karena keduanya tidak dapat terlepas dari waktu. Namun, bukankah hingga kini tak ada yang dapat membuktikan ada dan tidaknya surga dan neraka itu? Bukankah keduanya masih sama, hanya simpang siur di telinga dan di dalam pikiran? Entah ini akibat dari kitab-kitab yang pernah diturunkan atau memang murni khayalan dari orang-orang yang berchemistry dengan dunia ini, agar kehidupan tak pernah selesai.

Aku lebih memilih bahwa keduanya hanyalah khayalan yang dibangun dari beberapa imajinasi yang kemudian menjadi kokoh; sampai-sampai benar-tidaknya tak dapat dibuktikan. Tidak ada pilihan lagi selain melawan, mungkin dengan membuat imajinasi-imajinasi baru yang jauh lebih tangguh darinya.

Aku mulai berimajinasi dengan diriku agar dipisahkan dengan kelindan waktu, karena hanya inilah satu-satunya cara; karena kuyakin Tuhan tak akan memberi, sebab dia takut jika aku akan menjadi kekal seperti dirinya, yang telah terbebas dari waktu; jadi percuma bermunajat denganNya. Imajinasiku berlanjut pada sebuah keputusan untuk membunuh diriku sendiri, tanpa membunuh imajinasiku.

Khayalan itu begitu kental mengendap di otakku, lalu dongeng-dongeng itu bertebaran muncul di dalam seisi kepalaku; di dalam kematianku, aku harus melewati jurang, dengan jalannya yang sangat sempit, seperti rambut yang dibelah menjadi tujuh kali, mirip yang kudengar tentang siroth. Sebelum imajinasi yang hanya akan menyiksa diriku ini berlanjut, lekas-lekas aku hilangkan segala khayalan yang masih mengendap itu.

Tinggallah aku bersama imajinasiku menjadi sebuah tabula rasa. Kemudian aku berdiri pada sebuah tempat yang belum pernah kulihat, tempat yang tak pernah dikelilingi oleh matahari maupun rembulan, lalu aku bersatu dengan tempat itu menjadi satu kesatuan; tanpa nadi, tanpa jantung yang memompa, tanpa paru-paru yang mengatup dan tanpa segala sesuatu yang berhubungan dengan waktu. Inilah hari kebebasanku dari kelindan waktu, karena tak ada lagi sesuatu yang mengatur hidupku.

Kini aku benar-benar menjadi manusia bebas dari waktu; benar-benar merasakan kerinduan yang pernah dirasakan oleh Foucault.

*

Banderol Harga

Jika dikatakan ada manusia yang mati tanpa dicabut oleh malaikat Izroil, mungkin satu-satunya di dunia ini ialah teman saya; Francesco. Diagnosis dokter dia telah mati, sebab jantungnya sudah lama tak berfungsi, namun kinerja otaknya tetap berjalan, bahkan secara statistik jauh melebihi orang normal pada umumnya.

Dokter mengatakan tubuhnya sudah mati, maka dari itu cepat atau lambat akan segera membusuk. Anehnya hal itu tidak membuat kinerja otaknya ikut mati, karena system otak Francesco telah bekerja secara transenden dan otonom, terlepas dari segala bentuk dan peraturan pada tubuhnya. Dokter itu juga mengatakan bahwa ini sesuatu yang baru bagi dunia kedokteran, karena selama ini belum ditemukan otak secanggih ini.

Peti mati telah dipersiapkan untuk memakamkan tubuh Francesco; tanpa mengindahkan tawaran triliunan dollar untuk banderol harga kepalanya. Para kerabat tidak mengizinkan, dengan alasan keutuhan anggota tubuh ketika dimakamkan jauh lebih berharga ketimbang uang sebanyak apa pun, terlebih jikalau di akhirat kelak terdapat absensi kelengkapan tubuh.

Kemudian pembantu Francesco menyampaikan pesan semacam wasiat dari tuannya yang telah mati. Menurutnya, tuan telah mengizinkan jika suatu saat ada yang menginginkan kepalanya ketika ia telah menjadi seperti mati, karena tidak ada sama sekali hal yang istimewa di dalam isi kepalanya.

Siapa pun itu, jika telah mati kepalanya hanya akan menjadi bangkai. Terlepas dari otak yang sangat canggih, tetaplah itu semua hanya sebuah bangkai yang membuat lalat dan belatung berebut, jadi memang kepala itu tak ada gunanya.

Keputusan diambil; akhirnya kepala Francesco dibeli dengan doa-doa yang kemungkinan akan menyelamatkannya dari absensi diakhirat kelak.*[Penulis : Drei Herba Ta`abudi]

*Tulisan ini juga dimuat dalam buletin PATRIOTIK edisi Juli 2014

(Visited 16 times, 1 visits today)

Last modified: 10 Juli 2015

Close