Written by Dwi Yulia Istiqomah 14:37 Buku, Resensi • 3 Comments

Mengingat Sejarah, Menggugat Kekerasan di Aceh

Sebuah karya sastra seringkali muncul dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa kemanusian. Pramoedya Ananta Toer misalnya, karya-karyanya banyak yang menceritakan penjajahan Belanda, kerusuhan Orde Baru, dan pembantain komunis (yang sebagaian malah salah sasaran). Sepertinya Azhari juga demikian. Dalam kumpulan cerpen (kumcer) berjudul “Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi” ia berusaha merekam setiap kerusuhan yang terjadi di Aceh pada kurun waktu antara tahun 2001-2004. Azhari yang juga merupakan pendiri museum hak asasi manusia pertama di Asia Tenggara tujuh tahun pasca terjadinya tsunami ini menggambarkan dendam-dendam mendalam yang disimpan oleh masyarakat Aceh.

Setiap pagi sehabis bangun tidur, dia berlari-lari kecil menuju halaman untuk menggambar pembunuh Bapak. Dia melakukannya dengan betah sampai petang hari. Dan dia melakukannya berhari-hari. Dia sudah tak bersekolah.” (Hal.73)

Penggalan paragraf di atas merupakan cuplikan dari cerpen yang berjudul  “Menggambar Pembunuh Bapak”. Dalam cerpen ini Azhari bercerita tentang seorang anak yang tidak terima atas kematian bapaknya karena tak ada sebab yang pasti. Apakah bapaknya meninggal hanya karena sering pergi ke kota sehingga dianggap sebagai bagian dari PKI? Padahal semua itu tidak benar, bapaknya ke kota untuk bekerja. Dan ibunya selalu merisaukan itu. Pada suatu pagi tiba-tiba bapaknya diculik dan tak pernah kembali lagi. Anak itu berpikir bahwa bapaknya pasti mati, dan orang yang membawanya pagi-pagi adalah pembunuh bapaknya.

Hal serupa juga dikisahkan dalam cerpen yang berjudul “Kupu-Kupu Bermata Ibu.” Seorang suami dan dua anaknya juga diculik pada pagi buta. Ditandai dengan munculnya kupu-kupu, pertama bapaknya yang diambil, kemudian abangnya. Lalu seekor kupu-kupu yang sama hinggap di gorden jendela ruang tamu mereka. Kupu-kupu itu dikhawatirkan oleh ibunya juga akan membawa Bako, anak sulungnya raib. Raib bersama kupu-kupu aneh itu. “Kupu-kupu itu selalu mengantarkan kematian dengan cara yang gaib ke rumah ini. Dulu waktu abangmu diambil,kupu-kupu itu juga hinggap di petak kaca jendela. Setelahnya rumah ini kedatangan tamu yang tak kuketahui dari mana alamatnya: mengetuk pintu, memunculkan mata yang tak menerangkan kehidupan apa pun.” (Hal.68)

Penculikan aktivis GAM yang dianggap pemerintah sebagai GPK terjadi dalam cerpen yang berjudul “Di Dua Mata Ibu” dan “Kenduri”. Segerombolan barisan tiba dengan deru yang mulai terdengar bersama gelap yang mengurung halaman. Dan barisan itu akan tumpah sebagaimana air mata setelahnya. Mengetuk pintu rumah-rumah terpilih. Mengumpulkan orang-orang di halaman. Memilih beberapa untuk dibawa bersama deru mesin dan empat puluh decit ban. Mengembalikannya lusa malam, juga bersama deru dan dan decit yang sama, di tikungan jalan kampung, di gorong-gorong yang dangkal, bahkan di depan pintu rumah. Di setiap sore yang terkutuk, mereka selalu merasa ada orang yang akan dipilih oleh barisan yang datang bersama deru dan decit ban itu. Dan hal itu terjadi selama beratus-ratus sore.

Sebagaian diantara mereka tetap tabah dan beranggapan bahwa orang baik pasti akan ada pembedaan yang mereka dapatkan dari Tuhan, meskipun tubuhnya sudah jadi mayat. Seperti dalam cerpen yang berjudul “Yang Dibalut Lumut”. Kakeknya berujar bahwa ada sesuatu dengan jasad yang dibalut lumut, sebab mustahil ada jasad yang tak berbau dan membusuk padahal sudah berhari-hari temponya. Pasti ada sesuatu, sesuatu yang salah dan keliru. Dan beruntunglah mereka yang termasuk dalam orang-orang yang dipelihara keajaiban oleh Tuhan. “Aku rindu bapak. Aku berdoa semoga Bapak juga dibalut lumut. Kakek juga berharap demikian.” (Hal.112)

Cerpen-cerpen lain dalam buku ini mengisahkan tentang betapa dahsyat laut dan gunung yang ada di Aceh. Tentang kepandaian mereka dalam membaca tanda alam, tentang masakan daerah dan tradisi untuk mempererat kekeluargaan diantara mereka. Tentang perang dan juga betapa tabahnya kaum pemberontak yang harus terusir ke gunung tanpa makan dan tanpa perempuan. Semua itu diceritakan dalam cerpen-cerpen dengan judul “Hikayat Asam Pedas”, “Hujan Pertama”, Ikan dari Langit”, “Pengunjung”, “Perempuan Pala”, dan “Orang Bernomor Punggung”. Cerpen yang bercerita tentang terjadinya tsunami sendiri berjudul “Air Raya”.

Kepandaian Azhari dalam memadukan sastra dengan peristiwa sejarah sangatlah menarik. Seolah-olah kita dibuat menikmati sebuah karya fiksi, namun disamping itu juga kita akan belajar tentang sejarah. Tentang perjuangan-perjuangan yang dilupakan, penculikan, dan orang-orang yang dihilangkan. Selain merasakan nafas sastra yang serius dalam kumcer ini, kita juga dapat merasakan nafas sejarah yang amat pelik. Kumcer ini sangat cocok dibaca oleh mereka yang ingin mengenal Aceh lebih dalam, baik dari kekayaan alam, kekayaan tradisi serta kekayaan identitas. Kita juga dapat mengenal karakter-karakter toleran dan tidak mudah menyerah dalam kumcer ini.

Hal yang disayangkan dari kumcer ini hanyalah kekuatan beberapa diksi dan metafora yang sulit dipahami. Terlebih bagi para pembaca awam yang baru menikmati karya-karya sastra serius.

Menurut laman markijar.com dengan judul “Sejarah Lengkap Konflik dan Pemberontakan di Aceh (Gerakan Aceh Merdeka),” konflik dan pemerontakan di Aceh (GAM) terjadi antara tahun 1976-2005. Berhenti pada tahun 2004 karena terjadi tsunami. Latar belakang konflik di Aceh yang paling jelas adalah perbedaan budaya antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia. Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam administrasi pada masa Orde Baru. Beberapa tokoh Aceh tidak menyukai kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mempromosikan satu “budaya Indonesia”. Kemudian lokasi provinsi Aceh yang terletak di ujung barat Indonesia menimbulkan anggapan bahwa para pemimpin di Jakarta tidak mengerti dan memperhatikan masalah di Aceh. Para pemimpin itu juga tidak bersimpati pada kebutuhan dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.

Pada kurun waktu 2003-2004 pemerintah melakukan kebijakan darurat militer yang justru mengakibatkan para aktivis GAM, terutama para kombatan dibunuh, diasingkan serta dipenjara. Dan hal ini jelas-jelas telah menodai HAM yang kini diperjuangkan oleh Azhari (penulis kumcer ini). Menurut laporan Human Rights Watch akibat dari diadakannya darurat militer di Aceh menyebabkan sekitar 100.000 orang mengungsi pada tujuh bulan pertama darurat militer dan beberapa pelanggaran HAM.

Pasca terjadinya tsunami, tepat pada tanggal 15 Agustus 2005 dilakukan perundingan damai untuk mengakhiri konflik antara GAM dan pemerintahan republik Indonesia. Dari perundingan tersebut maka terciptalah kesepakatan bahwa dilakukannya pelucutan senjata GAM dan Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia.

Namun pada tahun 2015, setelah sepuluh tahun dilakukan perundingan damai, para eks kombantan Gerakan Aceh Merdeka, GAM mengaku masih mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupannya. Hal ini dilansir dari laman web bbc.com dengan judul “Sepuluh Tahun Perdamaian Aceh : Kesaksian empat eks kombatan GAM” . Sebagian besar mantan tentara GAM itu diyakini masih dililit kemiskinan, sehingga sebagian dari mereka tergoda melakukan jalan pintas, dengan melakukan tindak kriminal. Mereka ingin agar pemerintah menciptakan lapangan kerja bagi eks kombatan GAM dan juga masyarakat Aceh yang lainnya. Lapangan pekerjaan itu penting, selain modal kerja, tentu saja.

Menurut Syardani M Syarif alias Teungku Jamaica yang juga merupakan eks kombatan GAM. Dana yang seharusnya didapat oleh rakyat Aceh dari pemerintahan sangatlah besar, hal itu karena kekayaan alam Aceh yang juga sangat melimpah. Dana itu seharusnya dapat digunakan untuk membangun lahan terbengkalai yang tidak produktif, dengan menjadikannya produktif. Lalu buatlah program pertanian dan peternakan yang modern dan terpadu. Itu dapat menciptakan lapangan kerja.

Menyoal kenapa harus mengingat darurat militer yang ada di Aceh menjadi sangat penting dilansir pada laman tirto.id dengan judul “Melawan Fasisme dengan Mengingat Darurat Militer di Aceh”. Indonesia, negara yang setahun lalu kepala Perpustakaan Nasionalnya membuang buku-buku hasil karya para ilmuwan yang dianggapnya meresahkan masyarakat. Buku-buku ini dinilainya amoral, berbahaya, dan menghina pemerintah. Dan karena buku-buku ini menyebut fasisme sebagai babi kotor, korup, pembunuh brutal, tukang sensor, memata-matai rakyatnya sendiri pendek kata kritik yang tidak membangun. Padahal buku itu sebenarnya sangat penting untuk di baca oleh masyarakat sebagai upaya mengingat sejarah, sekaligus berjaga-jaga, agar tidak ada lagi pemerintah yang menerapkan fasisme. Terlebih untuk mengawasi pemimpin-pemimpin despotik.

Tentang Buku

Judul                 : Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi

Penulis             : Azhari

Penerbit           : Mojok

Tebal                : xviii + 134 halaman

Tahun Terbit   : 2015

ISBN                : 978-602-1318-12-6

(Visited 64 times, 1 visits today)

Last modified: 23 September 2018

Close