Written by UAPM Inovasi 09:52 Cerpen • 15 Comments

Mengundi Tuah Sang Buruh Outsourcing

Sumber Gambar : m.inilah.com

Sumber Gambar : m.inilah.com

Ngeng…ngeng…ngeng…”. Suara sepeda motor riuh memecah sunyinya pagi kala itu. Udara masih dingin. Kawanan burung prenjak Jawa pun enggan keluar dari sarangnya. Hanya sesekali terdengar bunyi ngriwik burung dara dalam sangkar kotak yang tiangnya kokoh tertancap di halaman rumah. Asap mengepul dari lubang knalpot sepeda motor berlabel Legenda Astrea itu. Sepeda itu tak lain merupakan warisan keluarga yang bertahun-tahun lalu dibeli di pasar sepeda bekas yang berada di Kota Malang. Warna merah pada tubuh sepeda motor itu kini telah memudar menjadi orange, menjadi saksi bahwa umur benda itu tak lagi muda.

Sesosok berperawakan gempal dengan mengenakan seragam merah bergaris putih di bagian bahu kanan dan kiri, menaiki motor butut tersebut. Sebuah bedge terjahit rapi di bagian saku sebelah kanan atas, bertuliskan “Bambang Prihanto”. Konon, bapak dari sang empunya nama itu memilihkan nama itu karena tak ingin anaknya hidup sebagaimana dirinya. Menjadi seorang buruh tani yang prihatin. Ter-PHK lantaran lahan yang biasa dia garap, dijadikan kawasan perbelanjaan atau yang kerap disebut mall.

Tepat pukul 5.42 dini hari. Sepeda Bambang melenggang keluar dari halaman depan rumah. Berpacu dengan ratusan kendaraaan di jalan, Bambang terus menaikkan gas motornya. “Ngik…ngik…” Besi-besi aus sepeda motor kian berderit, saat tak sengaja ban sepeda terjerembab ke dalam lubang jalan atau menabrak jalan aspalan yang tak rata. Angin dan debu kecil tak jarang mengenai mata. Membuat perih tak terkira bila benda serupa titik hitam kecil itu masuk ke dalam indera penglihatan manusia.

Asap knalpot saling beradu, mengepul layaknya asap pabrik di kota industri. Tak kuat rasanya berada lama-lama di belakangnya, di belakang sekawanan pembalap amatir jalanan. Bisa-bisa pingsan kalau terus-menerus menghirup racun putih, gas monoksida hasil pembakaran.

Setelah berkelahi masal dengan ratusan kendaraaan bermotor, akhirnya Bambang pun tiba di tempat ia bekerja. Sebuah gedung berlantai 12 yang harus dibersihkannya tiap pagi dan sore di hari kerja. Bambang memasuki area parkir karyawan tempat ia bekerja. Dia meletakkan sepedanya di ujung koridor belakang kantor. Tak sedikit debu yang menempel di wajahnya. Bahkan bisa dibilang menjadi bedak alami pengganti foundation masa kini. Dengan tergopoh-gopoh, Bambang masuk ke dalam barisan pekerja yang sedang melakukan apel pagi.

“Selamat pagi,” ujar Sugik, pimpinan apel pagi kali itu.

”Pagi…” ujar rombongan karyawan.

Apel pagi menjadi kegiatan wajib yang harus diikuti segenap karyawan outsourcing di tempat kerja Bambang. Bambang telah bekerja menjadi buruh outsourcing selama 11 tahun. Menjadi buruh outsourcing berarti menjadi karyawan kontrak. Ia bukan tak ingin menjadi karyawan tetap. Hanya saja, ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mendapat kontrak lebih dari satu tahun dalam perusahaan. Perusahaan alih daya yang ia ikuti selalu memberikan kontrak yang pendek padanya.

Setelah apel usai, Bambang beserta rekan-rekannya menuju lokasi kerja masing-masing. Setiap lantai dikerjakan oleh dua petugas kebersihan. Kebetulan Bambang ditugaskan di lantai lima gedung tersebut. Ditemani rekan kerjanya yang bernama Sarjo, Bambang telah siap dengan sapu di tangan dan kain pembersih kaca yang tersampir di bahunya.

“Telat lagi, Bang?” ujar Sarjo memulai percakapan.

“Iya Mas, macet tadi. Banyak mobil pejabat belok,” ujar Bambang dengan nada tertawanya yang khas.

Ati-ati gaji bulan depan dipotong. Udah pas-pasan, dipotong pula,” ujar Sarjo mengingatkan Bambang sambil meringis. Sepertinya dia juga tengah memikirkan nasibnya sendiri.

“Iya Mas,” jawab bambang mendengar nasehat kawan kantornya itu.

“Gimana anakmu? Katanya mau nerusin sekolah. Ada uang?” tanyaSarjo.

“Kerja dulu Mas, duitnya masih nyantol,” jawab Bambang sambil menyapu lantai.

“Nyantol ke mana? Kantong perusahaan?” celoteh Sarjo dengan muka masih cengengesan.

Tak berselang lama setelah muncul pertanyaan bernada guyon itu, keduanya terdengar saling tertawa. Gelak tawa Bambang dan Sarjo membuat riuh ruang berukuran panjang kurang dari 10 meter tersebut.

Boro-boro nerusin sekolah. Beli beras aja ngirit gara-gara gaji dipotong-potong terus,” ujar Bambang menambahkan.

Gaji Bambang memang bisa dibilang lumayan karena sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional) Kota . Sayangnya, upah tersebut harus dipangkas oleh perusahaan alih daya tempat ia bekerja. Alhasil, Bambang harus lebih berhemat untuk tetap mencukupi kebutuhan yang kian menghimpit.

Bekerja di perusahaan outsourcing memang memudahkan, karena ada banyak pekerjaan yang ditawarkan. Namun, karyawan tak akan mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya) maupun jaminan kesehatan. Bahkan, bila terjadi PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), karyawan tak akan mendapat pesangon pula.

Sebelum ini, nasib sial memang pernah menimpa Bambang. Tiba-tiba, ia di-PHK tanpa alasan yang jelas dari perusahaan. Ia di-PHK tepat pada tanggal yang seharusnya ia menerima gaji. Sudah di-PHK, tak mendapat pesangon, bahkan gaji pun raib entah ke mana perginya. Bambang tak bisa menuntut. Tak ada pengacara, tak tahu cara beradvokasi seperti yang dilakukan artis yang sering muncul di layar kaca. Ia sadar satu hal. Ia tak mempunyai kontrak kerja dengan perusahaan tersebut. Jadi, tak akan ada jaminan apapun apabila bekerja di bawah sistem outsourcing.

Sambil terus menggerakkan gagang sapu ke kanan dan ke kiri, Bambang dan Sarjo saling terdiam satu sama lain. Tertelan dalam pikiran masing-masing. Bambang sebenarnya orang yang mandiri dan pantang menyerah. Kios kecil-kecilan telah ia coba dirikan bersama sang istri. Tapi tak sampai 3 bulan, ia harus gulung tikar. Modal yang dikeluarkan tak bisa kembali karena tak sedikit tetangga yang berhutang saat berbelanja di kiosnya. Pernah mencoba berdagang sayur keliling. Sayangnya, sayuran-sayuran yang ia jual justru semakin busuk lantaran pelanggan-pelangan lebih suka membeli sayur di pusat perbelanjaan yang modern. Katanya sih lebih higienis karena dikemas dengan plastik. Terkadang sempat terpikir ingin mencoba menjadi montir. Namun, ia mulai ragu. Jangankan memperbaiki sepeda orang lain, memperbaiki sepeda sendiri saja masih harus menggunakan jasa bengkel. Bagaimana bisa menjadi montir?

Sebenarnya Bambang pernah bekerja di perusahaan pertambangan yang gajinya terbilang lumayan. Sayang, ia tak bertahan lama di sana. Bambang harus keluar lantaran tambang ditutup karena perusahaan tak memiliki izin tambang. Kini, apalah yang bisa dilakukan Bambang selain hanya pasrah kepada Tuhan yang telah menentukan nasibnya. Hanya itu yang bisa dilakukan Bambang, seperti kata pepatah Jawa, “Nrimo ing pandum”. [Aniek Nurul Khomariyah]

(Visited 98 times, 1 visits today)

Last modified: 28 Januari 2016

Close