Written by UAPM Inovasi 23:00 Esai

Pengadaan Ruang Pengaduan bagi Maba Tak Mampu

“Gimana ini mas, saya sudah bayar 7,5 juta, ternyata nunggu pengumuman UKT. UKT-nya sangat tinggi. Kami mau mundur, juga nanti eman yang 7,5 juta, Mau lanjutin juga bagaimana,” ucap Syaiful Bachri, sekretaris jenderal Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U) UIN Maliki Malang, menirukan keluhan salah seorang mahasiswa baru (maba) kepadanya. Syaiful, bersama M. Yusuf Habibi, selaku Ketua SEMA-U, beserta jajarannya, mulai membentuk Posko Banding Uang Kuliah Tunggal (UKT) sejak tanggal 9 Agustus 2016.

Posko tersebut didirikan dengan harapan bisa memberi ruang pengaduan, bagi mahasiswa yang tidak mampu, namun mendapatkan UKT dengan level tinggi. “Setidaknya hari ini, ada ruang banding untuk mereka yang tidak mampu. Ada ruang dialog bersama wali mahasiswa,” ungkap Syaiful.

Dalam pengumuman yang disebarkan oleh SEMA-U, baik melalui media sosial maupun selebaran yang ditempel di tempat umum, ada beberapa persyaratan dokumen yang diperlukan untuk melakukan pengaduan UKT. Di antaranya harus mengumpulkan keterangan penghasilan orang tua, surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, kartu keluarga, juga surat permohonan ke Biro Administrasi Umum, Perencanaan, dan Kerjasama (AUPK).

Sayangnya, usaha SEMA-U dengan memberi ruang pengaduan dan banding UKT bagi maba tak disambut baik oleh pihak kampus. Adanya posko tersebut justru dipermasalahkan, termasuk oleh pihak kemahasiswaan. Mujaid Kumkelo, Kepala Bagian Kemahasiwaan menyatakan, tindakan SEMA-U dianggap telah melampaui kewenangan SEMA-U. “Kalau banding, mereka tidak punya kewenangan secara regulasi,” ucap Mujaid. Menurutnya, kewenangan SEMA-U hanya sampai batas pengaduan, bukan banding. “Kalau mau pendampingan, silakan saja. Tapi tidak ada kata banding UKT. Ganti saja dengan Posko Pusat Informasi,” ungkapnya.

Akhirnya, pamflet yang semula bertuliskan “Posko Pengaduan UKT, Ingin Banding UKT?” itu pun diganti dengan “Pusat Informasi Mahasiswa Baru.” Lebih lanjut, Syaiful menyatakan akan mengadakan audiensi dengan pihak birokrat untuk menindaklanjuti pengaduan yang telah disampaikan oleh para maba. “Kita pelajari itu, kita bawa ke meja audiensi. Kita tanya regulasi yang sebenarnya itu seperti apa,” ucapnya.

Sejak posko tersebut didirikan, didapatkan pula keluhan dari maba terkait dengan surat pernyataan bermaterai, yang berisikan pernyataan bahwa masing-masing maba telah legowo dengan UKT yang ditentukan. Syaiful beranggapan bahwa hal tersebut merupakan tindakan politis dari pihak birokrat. Surat pernyataan tersebut seakan-akan secara yuridis mengikat, bahwa tidak akan ada tuntutan keberatan lagi. “Lah ini kan pembungkaman, mau tidak mau ya manut ae. Kita tidak bisa meninjau ulang UKT tersebut,” ungkapnya.

UKT yang diterapkan UIN Maliki Malang pada tahun ajaran 2016/2017 ini memang mengalami peningkatan. Awalnya hanya menerapkan 3 level, sekarang menjadi 5 level. Tahun 2015 lalu, dengan penerapan 3 level UKT, nominal tertinggi yakni 2,5 juta. Sedangkan pada tahun 2016, dengan penerapan 5 level UKT, nominal tertinggi yang harus dibayar sebesar 5 juta. Selain itu, biaya yang disebutkan akan diperuntukkan untuk ma’had, dulunya sebesar 5 juta, tahun 2016 ini naik menjadi 7,5 juta.

“Kalau semisal dihitung per bulan, ini hanya satu juta. Ini  masih sama saja sekolah di MIN loh,” ucap Syaiful menirukan perkataan Triasih, Kepala Bagian Keuangan saat menanggapi kenaikan tarif tersebut. Namun, Syaiful tak sependapat dengan Triasih. “Tapi kan yang sekolah di MIN lihat dulu orangnya siapa? Jangan-jangan orang Madura ndak bisa sekolah disana, seperti saya ini,” sindirnya.

Adanya indikasi perubahan segmentasi mahasiswa UIN Malang, dari yang dulunya memprioritaskan masyarakat ekonomi kelas bawah, dan kini beralih ke kelas menengah ke atas, tidak diamini oleh Mujaid. Ia pun meminta pihak-pihak yang menyatakan UIN Malang saat ini hanya untuk orang kaya, agar mengemukakan pendapatnya berdasarkan data.

Dilla, maba jurusan Fisika menyebutkan, ia mencoba melakukan “banding” UKT yang ia terima. Karena saat ini tulang punggung keluarganya hanya berasal dari ibunya saja, sedangkan ayahnya sakit. Ia berharap, UKT yang ia peroleh saat ini, dengan nominal 4 juta, bisa turun setidaknya 1 juta atau lebih. Nominal 1 juta itu, bisa saja dianggap sebagai uang yang kecil bagi sebagian orang. Tapi bisa pula dinilai sebagai nominal yang besar bagi sebagian orang lainnya.

Masih ada orang tua wali mahasiswa yang datang ke SEMA-U untuk mengajukan banding UKT, sambil menangis. SEMA-U sebagai bagian dari pihak yang menyerap aspirasi mahasiswa, memang sudah semestinya hadir sebagai badan advokasi yang siap untuk memperjuangkan keluhan mahasiswa. Pun demikian, ruang pengaduan atau istilah “ekstremnya” menjadi ruang banding, sudah seyogyanya diadakan dan inisiatornya adalah pihak birokrat sendiri. Dengan harapan, agar kampus ini bisa menjadi kampus yang lebih menunjukkan kepeduliannya, terhadap aspirasi juga permasalahan ekonomi yang diderita oleh orang yang digolongkan tidak mampu. [Salis Fahrudin]

(Visited 7 times, 1 visits today)

Last modified: 20 Agustus 2016

Close