Written by Dwi Yulia Istiqomah 08:16 Buku, Resensi

Penghormatan Paling Tinggi kepada Hidup

Kau tunjuk titik kecil// diantara dua kaki boneka// tempat dia dulu menggalimu// seperti mengorek rahasia

Bagaimana perasaanmu? Dengan gigi-gigimu// kau tarik gumpalan itu// dari tenggorokanmu// dan bilang baik// tapi juga hampa

Sajak di atas menggambarkan para terapis yang menggali luka pada mereka yang mengalami kekerasan seksual. Banyak terapis yang nyatanya juga kurang hati-hati dan kembali berbuat kesalahan dengan menanyakan perasaan penyintas. Lebih mengkhawatirkan lagi jika reaksi biologis justru dianggap sebagai bentuk kenikmatan yang juga menguntungkan.

Hal semacam itu seolah-olah ikut melanggengkan kelas dan menganggap pelecehan menjadi hal yang wajar ketika penyintas ikut menikmatinya. Pelecehan seksual terlebih perkosaan bukanlah hal yang wajar. Stigma tersebut bisa menyebabkan para penyintas lebih memilih untuk diam.

Milk and Honey, kumpulan puisi karya Rupi Kaur yang bercerita tentang sebuah perjalanan hidup manusia secara universal. Buku ini terdiri dari empat bagian : Luka, Cinta, Kehancuran, dan Hari Baru. Rupi membutuhkan waktu selama 21 tahun untuk merampungkan buku tersebut. Sebagian besar puisi dalam buku ini menceritakan tentang perempuan dan interaksinya dengan lingkungan.

Rupi Kaur mengajak semua perempuan belajar untuk lebih mencintai kehidupannya, terlebih kepada dirinya dan tubuhnya. Meskipun mereka harus berada di keluarga misoginis nan patriarkis. Seperti dalam Luka, Rupi memberikan berbagai macam gambaran menyakitkan tentang hidup yang harus dilalui perempuan yang mengalami pelecehan seksual. Trauma psikis yang harus dia derita, serta lingkungannya yang tidak pernah mendukung.

Selain kekerasan seksual, Rupi Kaur juga banyak menggambarkan komodifikasi soal kecantikan. Puisi-puisinya lebih terasa seperti pengalaman hidupnya sendiri. Perempuan asal Kanada yang berketurunan India ini menulis kulit sewarna tanah// tempat leluhurku menanam benih// untuk menafkahi serumpun perempuan// jangan bilang saudari-saudariku tak secantik mereka yang lahir di negaramu.

Dari puisi di atas kita tahu bahwa Rupi tak hanya sekedar menulis. Lebih lagi puisi-puisinya adalah sebuah kegiatan para aktivis perempuan yang ikut menyuarakan standar kecantikan yang tidak manusiawi. Selama ini kecantikan selalu digambarkan dengan kulit putih, tubuh tinggi, dan lain sebagainya. Tetapi lewat puisinya, Rupi menekankan perempuan yang memiliki kulit sewarna tanah (cokelat) juga cantik karena sifat-sifat baik yang melekat padanya.

Puisi-puisi lain dalam buku ini juga turut memberikan kekuatan pada perempuan-perempuan yang disakiti dan harus bekerja keras untuk menanggung beban ketika hamil. Pendidikan seksual juga menjadi hal yang penting dan tidak tabu untuk dibicarakan untuk meminimalisir terjadinya kasus kekerasan seksual. Puisi-puisi Rupi adalah buah pemikiran perempuan modern yang tak pernah lelah memperjuangkan hak-haknya. Berusaha untuk merubah status quo yang melekat di masyarakat agar penindasan terhadap perempuan tidak terjadi lagi.

Ada beberapa penulis yang juga serupa Rupi yang ikut memperjuangkan kehidupan perempuan-perempuan yang termarjinalkan, tak terkecuali di Indonesia. Jika Rupi berbicara lebih banyak tentang kekerasan seksual, maka Oka Rusmini dalam kumpulan sajaknya yang berjudul Saiban (2014) lebih menyuarakan tentang perempuan yang harus hidup dalam kungkungan tradisi yang kaku. Salah satunya dengan menjalani ritual mandi di laut ketika pertama kali mengalami menstruasi. Hal ini sangat berbeda dengan laki-laki yang bebas melakukan apapun. Selain Oka Rusmini, ada Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu yang juga turut meramaikan perjuangan perempuan melalui tulisan.

Dalam kumpulan esai berjudul Muslimah yang Diperdebatkan (2019) karya Kalis Mardiasih, seorang perempuan yang bergiat di organisasi Gusdurian juga aktivis gender ini menyebutkan ada tiga hal yang turut melanggengkan kekerasan seksual. Pertama adalah tradisi, masyarakat terus tunduk pada tradisi bahwa perempuan yang berpakaian seksi lantas pantas untuk dilecehkan.

Kedua, doktrin agama. Selama ini diskusi soal perempuan hanya berpusat pada klaim golongan mana yang paling baik atau taat. Harusnya omong kosong semacam ini segera saja ditinggalkan. Perempuan harus lebih maju dengan membahas soal Human Trafficking yang menelan ribuan perempuan lain dan menjeratnya di dalam rumah pelacuran. Peristiwa semacam ini perlu dibahas sebab yang mereka alami lebih mirip kepada perbudakaan seksual. Hubungan seksual terjadi tanpa adanya konsensual serta perjanjian yang manusiawi.

Ketiga, menurut Kalis adalah kapitalisme. Akar dari seluruh persoalan kekerasan berbasis gender, atas nama apa pun adalah soal kekuasaan dan penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Laki-laki terkondisikan tidak boleh menangis sejak kecil, sedangkan perempuan yang baik adalah stereotip perempuan lembut dan tidak melawan. Kapitalisme memandang tubuh perempuan sebagai aset yang sejak dulu boleh diobjektifikasi pada billboard iklan, pada siaran televisi, juga bahasa media yang mereduksi entitas keperempuanan sebatas kata “cantik” atau “seksi”.

Kumpulan puisi ini sepertinya akan disukai oleh para perempuan yang resah dengan stigma-stigma perempuan di atas. Selain itu, juga bisa menjadi referensi bagi para pria yang ingin melihat perempuan dari sudut pandang perempuan. Lebih khusus, orang-orang awam yang tanpa sadar ikut menciptakan skenario perempuan. Terakhir, masih mengutip Kalis, “Penghormatan pada tubuh perempuan adalah penghormatan paling tinggi kepada hidup”. []

Tentang Buku 

Judul : Milk and Honey (Susu dan Madu)

Penulis : Rupi Kaur

Penerjemah : Daniel Kurnia

Penerbit : POP (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tebal : 208 Halaman

Tahun terbit : 2018

ISBN : 978-602-4248-53-6


(Visited 56 times, 1 visits today)

Last modified: 07 Agustus 2019

Close