Kampus adalah miniatur negara. Seperti negara, Kampus juga memiliki pemimpin yang akrab dipanggil Rektor. Rektor dan Pemerintah memiliki definisi yang sama, yaitu perangkat yang bertugas memimpin suatu lembaga untuk mencapai tujuan bersama. Jika sebuah negara menganut sistem demokrasi, maka semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan. Entah itu mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. Tak terkecuali dalam memilih seorang pemimpin, haruslah bersama-sama.
Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, yang terjadi tidaklah demikian. Dalam kampus yang mini ini, masyarakat kampus, tak lagi memiliki haknya sebagai masyarakat. Rektor tidak dipilih oleh seluruh elemen masyarakat kampus, tapi diberi pertimbangan kualitatif oleh senat universitas, dan ditetapkan oleh Kementerian Agama. Aturan main ini dibuat dua tahun yang lalu, Menteri Agama menetapkan peraturan nomor 68 Tahun 2015.
Mencoba untuk melawan lupa, pemilihan rektor di jaman sebelumya juga tak mengkehendaki masyarakat kampus mendapatkan haknya untuk memilih rektor. Rektor dipilih melalui sitem voting oleh Senat Universitas. Koran Tempel Q-Post 7 Desember 2012 pernah mencatat, hak pilih rektor hanya diserahkan kepada anggota senat universitas yang berjumlah 26 orang tanpa melibatkan masyarakat kampus yang lain seperti mahasiswa, karyawan dan dosen.
Malahan, ada masyarakat kampus yang tidak mengetahui sistem pemilihan rektor. Aturan ini dinilai Nofri, selaku Ketua Umum UKM Kopma (di tahun 2012), sebagai sebuah kebijakan yang semena-mena, karena kampus hanya menjadikan mahasiswa sebagai panitia pendukung acara pemilihan rektor saja.
Namun apa yang terjadi di tahun ini? Jaman semakin maju dan kampus semakin internasional, namun demokrasi semakin sekarat.
Memang ada alasan tertentu mengapa Kementerian Agama menetapkan aturan baru ini. Seperti yang dikatakan Kamaruddin Amin, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Seperti yang dilansir republika.co.id 8 januari 2016, Kamaruddin berpendapat bahwa perubahan mekanisme penetapan rektor ini dilakukan untuk menghilangkan politisasi di lingkungan kampus.
Selama ini, masih menurut Kamaruddin, setiap calon rektor akan berusaha mendekati senat. Dan ketika seorang calon rektor menang, ia cenderung memilih orang-orang yang mendukungnya saja untuk menduduki posisi struktural di lingkungan kampus. Akibatnya, legitimasi menjadi terbatas dan suasana politis begitu kental.
Tapi, bukankah kebijakan ini menunjukkan bahwa, kampus sudah kehilangan kepercayaan kepada masyarakat kampus untuk bersama-sama mengambil keputusan? Memang keterlibatan senat universitas bisa diistilahkan sebagai bagian dari demokrasi. Namun itu bukanlah demokrasi yang sebenarnya. Bayangkan jika lembaga legislatif Indonesia hanya memberi pertimbangan kualitatif kepada setiap calon presiden, lalu ada menteri yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba menetapkan siapa presiden terpilih untuk memimpin indonesia?
Tahun kemarin, sempat ada wacana untuk mengkaji ulang peraturan menteri agama tentang mekanisme penetapan rektor yang dilakukan di Perguruan Tinggi Islam. Menurut Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay, mekanisme ini akan mematikan budaya demokrasi. “Masyarakat awam dipercaya untuk berdemokrasi lewat pileg, pilpres, dan pilkada. Sementara para guru besar yang mengajarkan demokrasi dianggap tidak mampu berdemokrasi…” (republika.co.id 8 januari 2016).
Wacana itu gagal terwujud, entah kenapa. Pemilihan Rektor di Di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, mau tak mau harus menjalankan aturan dari Kementerian Agama. Dewasa ini, kita melihat bahwa sebenarnya negara maupun kampus belum benar-benar siap untuk berdemokrasi, untuk menganggap bahwa kita semua memiliki hak yang setara.
Orang-orang yang punya kuasa, mereka paham apa itu demokrasi. Namun karena kebelet berdemokrasi, peraturan yang kurang demokratis pun tiba-tiba ada dan harus dijalankan. Tidak ada waktu untuk berpikir kembali, mungkin karena hal itu dianggap kurang progresif. Kampus adalah miniatur negara. Begitulah perumpamaan yang entah dari mana datangnya.[Wahyu Agung Prasetyo]
berita kampus demokrasi pemilihan rektor
Last modified: 21 Februari 2017