Written by Salma Luklu'ul Aini 14:10 Puisi, Sastra

Puisi-puisi Salma; Terusir dari Tanah Sendiri, Dara

Terusir dari Tanah Sendiri

Musik perkawinan dilantunkan dengan mesra

dengan riuh bisingnya suara orang yang berbahagia tertawa

Bersatu jadi lebih utuh

dengan terihat duduk di singgasananya

Sedangkan aku?

Aku asik bermain dengan sepi

Menjadi pendengar mereka yang berbicara lirih

Mengusut semua yang terjadi pada ibu pertiwi

Ini bukan duka ataupun lara

Bukan pula senang atau bahagia

Ini iba

Cerita-cerita tentang kejayaan kerajaan yang tertulis pada kitab yang lalu

Hancur lebur bersama negeri yang dibangun dengan asa

Menelisik negeri ibu pertiwi

Jiwa-jiwa kelana ingin berpindah

negeri ini tak damai  lagi katanya

Ada anak gadis berbaju merah pulang dari sekolah

tak dapati apa-apa di meja

Ibunya pulang dari pasar

dengan raut wajah biasa

karna utang menggunung

dengan laba yang tak dapat untung

Bapak ke sawah didapatinya cukong-cukong tanah rampas haknya

Ah sudahlah,

Barangkali inikah yang dijuluki damai ibu pertiwi?

Barangkali inikah pemandangan favorit tirani?

Penghuni negeri sengsara di negeri sendiri

 

Dara

Bajingan,

disematkan pada lelaki paruh bayah dengan wajah datar

yang menyusuri tiap ingatan

Setiap detiknya dapat dirasa

oleh saban gadis cantik dan molek tubuhnya

Kala itu hawa  dingin selubungi  senandung petaka

membuatku terlelap dalam pangkuannya

Indah kata-katanya berbisa gairah bejat

Dengan sedikit berbisik ke telinga

mengucapkan aksara-aksara yang kudengar seperti bencana

Terdengar risih, tapi aku tak ada lagi kendali.

Dia seperti tuhan ku satu malam.

Aku sangat mengetahui,

malam itu aku akan padam,

sebagai wanita perawan yang diagung-agungkan

Tangannya susuri tiap bagian diriku

Menjelma seperti angin

menjamah dengan bebas

Kuingat sepenuhnya

sampai dara ini benar-benar hilang

Aku mencoba memulihkan tiap ingatan,

tak ada lagi harga

tak ada lagi makna

Yang bisa kutemukan adalah ingatan terakhir yang kuharapkan

ketika dara ini kokoh

sebelum binasa oleh berahi bajingan itu.

 

 

Sundal

 

Sundal adalah kata yang cocok

pada langkah kakiku yang menyusuri dalam desa

Ke khilafan masa muda sebagai sebab

Aku dengan tubuh tak lagi muda

masih saja tidak lupa setiap sekonnya

setiap hitungan hangat tubuhmu,

dan kecupan-kecupan demi kecupan

kau sematkan pada bagian tubuhku

Hingga kita diambang batas gairah

Kemalangan jadi nasib

merusak mimpi  yang tertata

Anak ‘haram’, kata mereka

lahir dari rahim ibu muda yang pernah zina

Ku kembalikan namaku pada mereka

masih tersemat ‘sundal’

Aku gagal dalam usahaku

Apa yang baik dari mereka yang menyematkan kata itu padaku?

Apa yang diterima sundal ketika merampungkan nasibnya?

Tetap saja,

hanya sumpah serapah yang mulai biasa ku dengar

 

 

Mereka Diam

 

Kembang itu hancur ketika tanganmu memasukkannya

Aku dengan akal setengah gila

mencoba mengembalikan asa yang kutumpuk sempurna

Semua suci yang terjaga, terambil seluruhnya tanpa permisi

ataupun memohon diri

Direnggut binatang-binatang berkaki dua bernafsu bejat

Ku suarakan sialku pada orang-orang penegak

pelindung rakyat, katanya

Mereka hanya sebagai pendengar

tanpa upaya dan usaha melindungi.

Banyak kasus, jadi alasan

Satu hari

Dua hari

Satu bulan,

tak ada warta bahagia

bajingan itu masih bebas lalu lalang dan tertawa

Aku benar-benar jadi mantan perawan yang gila

tangis jadi mati rasa

Apa guna aku hidup?

Aku menjauh dan semakin menjauh dari kenyataan

Mati jadi pikiran yang terus aku impikan

Aku bersanding bersama kefanaan

Hingga damai dan sial menjadi alasan

yang lebih baik menuju Tuhan. []

(Visited 233 times, 1 visits today)

Last modified: 27 April 2019

Close