Mahasiswa yang berambut gondrong kerap kali distigmakan bukan berdasarkan perilaku, baik dalam akademik, ataupun keseharian mereka. Tidak jarang pula, mahasiswa gondrong dipersulit akademiknya. Padahal, masalah rambut bukanlah hal yang akan menghambat pemahaman mereka pada saat perkuliahan.
Sebut saja, Mahasiswa dari Teknik Arsitektur Farid Faran Azami mengatakan banyak yang menilai dirinya hanya dengan melihat rambut gondrongnya, bukan dari kesehariannya. Banyak yang menilai dia hanya karena rambutnya gondrong. Bukan karena sikap, atau kesehariannya. Bahkan ia pernah mendapat cap anak broken home karena rambutnya gondrong. ”oh, ini dari keluarga broken home, anak tangga bener.”
Farid juga pernah mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari Dosen Penguji ketika hendak presentasi. Bagi Farid, gondrong tidak menentukan kualitas materi yang akan dibawakan, “gini-gini, padahal kan gondrong, sama gak gondrong tidak memengaruhi materi dalam pembawaan saya nanti,” keluhnya.
Bagi Faris, stigma yang ia dapat saat melakukan presentasi, merupakan perlakuan tanpa dasar. Lagi pula, menurutnya, tidak semua dosen melarang gondrong. Peraturan fakultas hanya mengatur sebatas berpakaian rapi. Meskipun, “penampilan rapi” Itu sendiri menurut Farid belum jelas.
“Cuman menurut saya kan konteks rapi ini tuh rapi yang gimana dulu. Misal ni, kalau rambut lurus, panjang, kayaknya bakal terkesan rapi oleh orang lain. Soalnya kan rambutnya lurus. Kalau misal dia memiliki rambutnya ikal, keriting, kribo, kayaknya bakal terkesan berantakan,” sambungnya.
Selain stigma buruk dan banyak hal dituduhkan kepada Mahasiswa berambut gondrong, mereka juga mengalami diskriminasi. Sebagaimana yang dialami oleh Ahmad Danial Isybil, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, “kalau dari Dosen sering ditegur karena rambut saya. Seringkali saya mendapat diskriminasi karena gondrong itu sendiri,” jelasnya (20/06).
Menurut Danial, gondrong sudah seperti identitas baginya. “Menurut saya, gondrong itu identitas ya, buat saya. Bahkan ada juga teman saya yang gondrong itu karena memang dari keluarga sendiri, entah adat entah apa, ya, saya kurang tahu. Tapi karena emang tuntutan,” tutur Danial yang sudah memiliki rambut gondrong sejak awal masuk sekolah SMP.
Jajak pendapat tentang “Mahasiswa Gondrong dan Stigma Buruk Terhadap Mereka” dilaksanakan oleh Redaksi UAPM INOVASI untuk melacak bagaimana stigma dan diskriminasi terhadap mahasiswa gondrong terjadi di lingkungan akademik kampus. Jajak pendapat yang dibuka sejak 18 Juni hingga 30 Juli tersebut melibatkan 19 responden yang berasal dari seluruh fakultas yang ada, dari angkatan Mahasiswa 2017 hingga 2022, dengan mayoritas responden angkatan 2020.
Hampir keseluruhan mendapatkan perlakuan buruk yang mereka terima, 36,8 persen responden (7 orang) mengaku telah dipaksa mencukur rambut. Begitu pula 36,8 persen responden (7 orang) juga mendapatkan diskriminasi seperti dianggap jelek, tidak memiliki pacar dan lain-lain. Dan 15,8 persen responden (3 orang) menjawab telah dipersulit administrasi perkuliahannya. Terakhir, 10,5 persen responden (2 orang) pernah diusir atau tidak boleh memasuki ruangan kelas karena rambut mereka.
Perlakuan buruk yang didapatkan mahasiswa di lingkungan kampus, melalui salah satu responden, mengaku pernah mendapatkannya, bahkan menjurus pada tindakan pencemaran nama baiknya. Sebut saja Biru (mahasiswa gondrong, bukan nama sebenarnya), dipanggil dan difoto saat acara pembekalan Praktik Kerja Lapangan (PKL) Fakultas. Kemudian, foto tersebut dikirim ke grup Whatsapp pimpinan fakultas. Tidak cukup sampai di situ, ia juga mendapat sindiran dalam sambutan Ketua Program Studinya pada acara tersebut, “seolah-olah saya lah yang membuat nama fakultas bahkan nama kampus itu tercoreng,” ucap Biru, padahal, ia tidak pernah melakukan pelanggaran berat selama kuliah dari semester awal hingga akhir.
Baca Juga: Masalah Akademik Mahasiswa (Akhir) dan Kebutuhan akan Dukungan Sosial
Setiap Mahasiswa Semester Lanjut, yang melebihi rentang waktu normal perkuliahan – selama 8 semester – sebagaimana lazimnya Mahasiswa yang lulus dalam menyikapi kondisi psikis berbeda-beda. Namun pola setiap Mahasiswa menyikapi masalah ini, hampir tidak berubah. Termasuk antara lain, ada Mahasiswa yang memutuskan harus bunuh diri demi menyelesaikan masalah akademiknya.
Awal Mula Stigma Rambut Gondrong
Dalam buku “Dilarang Gondrong” yang ditulis oleh Aria Wiratma Yudhistira, orang rambut gondrong sudah distigmakan sejak pemerintahan Masa Orde Baru. Mereka dianggap sebagai salah satu ancaman. Sebut saja salah satu kelompok counter culture yaitu hippies, penampilan mereka berambut panjang, jenggot yang dibiarkan tak dicukur, memakai pakaian longgar aneka warna, sandal, mengenakan manik-manik, serta kaum perempuannya tidak memakai bra.
Pemerintah pada saat itu pun kerap kali melakukan razia, bahkan melibatkan anggota pasukan teritorial. Sebut saja, ketika Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, memerintahkan untuk melakukan razia terhadap masyarakat yang berambut gondrong. Ia berpandangan bahwa gondrong “Harus menyesuaikan dengan norma yang baik” walaupun ia pribadi menyadari bahwa perihal gondrong adalah hak asasi manusia (dikutip Kompas, 15 Januari 1968). Sebelum ia mengeluarkan perintah tersebut, Pemerintah melalui Orde Baru telah melakukan razia rambut gondrong pertama kali pada 8 Desember 1966 di depan stasiun Tanah Abang Jakarta. Selepas itu, razia mulai dilakukan di kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya.
Dalam lingkup institusi perguruan tinggi, pelarangan berambut gondrong termasuk dalam persyaratan calon mahasiswa baru pada tahun 1977 di Universitas Sumatra Utara (USU), Medan. Dengan kata lain, panjang pendeknya rambut menentukan kelulusan seseorang yang hendak melanjutkan pendidikan tingginya di kampus tersebut.
Arief Budiman, dalam buku Aria tersebut juga sempat memprotes kebijakan dari Ali Sadikin. Menurutnya, perihal rambut gondrong masuk dalam ranah selera seseorang, serta tak dapat dirumuskan bahwa berambut gondrong tidak mengganggu ketentraman umum. “Dan dalam masalah selera, bila selera umum yang dianggap dianggap hukum yang sah untuk menindak selera yang khusus, maka yang terjadi adalah bukan lagi demokrasi, melainkan semacam ‘diktatur kolektif?’” tulisnya melalui Kompas, 22 Januari 1968.
Kini, jauh setelah lengsernya pemerintahan Orde Baru, mereka yang gondrong di luar sana masih mengharapkan perubahan penilaian orang-orang kepada mereka, “harap dimaklumi dan tolong dimengerti kalau kami ini gondrong,” harap Danial. Begitu pula, Farid berharap bahwa ia dan teman-teman gondrong lain seharusnya dipandang sama dengan orang-orang pada umumnya, “sama kayak ngobrol sama orang-orang biasa atau orang yang rapi,” pungkasnya. []
Reporter : Nurul Luthfiyyah
Editor : Wildan Firdausi
Last modified: 03 Agustus 2023