Written by Ahmad Pujiyono 21:43 Berita, Feature News

Seruan Orang-Orang Seruyan dari Perantauan

Matahari sore belum redup, teriknya sama panas seperti saat panjang bayangan sama dengan panjang tongkat. Seharusnya, bayangan berbelok, matahari perlahan redup, dan suhu mulai turun. Sore itu (12/10), sekumpulan orang-orang dengan pakaian hitam-hitam serta ikat kepala merah berkumpul di depan Balai Kota Malang. “Bentuk solidaritas untuk Gijik!” Kata orang yang berdiri di depan barisan. Gijik yang dimaksud adalah pria 35 tahun yang mati ditembak aparat saat tengah unjuk rasa menuntut janji pemberian plasma 20% yang belum diberikan pihak PT Hamparan Massawit Bangun Persada (HMBP).

Mereka berdiri menghadap jalanan ramai tempat kendaraan melintas tanpa menoleh, seolah acuh kepada kami, dan barangkali juga waktu. Mereka yang berkumpul, berdiri di tepi jalan membawa selebaran tuntutan “Lindungi Tanah Adat”, “Hentikan Penghancuran Hutan dan Wilayah Adat”, “Warisi Mata Air bukan Air Mata” dan beberapa tulisan lainnya yang dibawa orang-orang berikat kepala merah itu. Mereka adalah sekumpulan orang yang berasal dari Jaringan Solidaritas Bangkal (JSB) yang terdiri dari beberapa organisasi dan komunitas yang berada di Malang.

Baca Juga: Sekolah Alam Ramadhani: Di Kota Kediri Kemerdekaan Belum Mati

Di seberang Jembatan, masuk jalan Supit Urang, Mojoreto, Kediri, saya bertemu Ulya. Halaman rumahnya adalah taman. Gubug dan baliho, ayunan, perusutan, hingga kafe kecil berlatar belakang lukisan anak kecil seperti doodle. Ulya orang Kediri jenis lain. Ia bukan buruh, meskipun ia guru

Tingang manganderang into bitie, Enggang menggema di dalam tubuhnya saja. Burung Enggang, burung endemik kawasan hutan Kalimantan. Tempat hidup, tumbuh, besar dan mati sebagian besar masyarakat adat. Enggang menggema di dalam tubuhnya saja, Enggang menggema jika hanya berada dalam habitatnya. Hutan Kalimantan adalah tubuh Enggang, itu kata pepatah Dayak. Enggang dan Masyarakat Dayak, dua hubungan seperti Phoenix dan lambang Kejayaan Romawi. Orang-orang romawi merasa kalah, barangkali jatuh, saat Phoenix tersungkur dari tangan mereka, begitu juga Enggang yang luka, barangkali Dayak hampir jatuh, tetapi Enggang tetap bernyanyi.

Terik matahari sore dan keringat yang membasahi tubuh tak melunturkan semangat mereka, saya membayangkan Enggang menyanyi dalam tubuh mereka. Nyanyian itu bersuara, meski berasal dari Malang, barangkali lagunya sampai ke telinga para korban dan para warga Bangkal yang sampai saat ini masih berjuang untuk mendapatkan haknya. Para massa aksi tetap tegap berdiri membacakan tuntutan-tuntutan atas tindakan represif aparat yang terjadi pada 07 Oktober 2023 dan mendukung penuh terhadap warga desa Bangkal yang sedang memperjuangkan nasibnya.

Jaringan Solidaritas Bangkal (JSB) membacakan tuntutan sikap mereka di depan Gedung DPRD Kota Malang (12/10). JSB juga menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah pada 07 Oktober 2023. Foto oleh JSB/Dokumen Pribadi.

Fahrul sendiri adalah mahasiswa Institut Asia Malang yang berasal dari Seruyan, ia meninggalkan kampung halamnnya ketika lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia merantau ke Malang pada 2017 untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah kejuruan yang berada di Malang. Pada masanya, Fahrul sering keluar-masuk hutan, sebagaimana lazimnya teman sebaya di Kalimantan bermain di Kalimantan.

Usianya hari ini dua puluh tahun lebih. Sepuluh tahun lalu, Fahrul berarti masih Sekolah Dasar— masa riang Fahrul bermain dengan hutan, bercanda di tepian sungai, Ngaruhi ikan Haruan, barangkali. Waktu lepas seperti bulan setengah yang digigit penanggalan, Fahrul beranjak remaja. Hutan yang biasa jadi tempat Fahrul bermain perlahan berubah: sebagian replika tanggal dalam ingatan Fahrul, sebagian yang lain ingatan Fahrul yang baru—hutan mereka berubah menjadi perkebunan sawit yang luas, “ya, namanya kami anak Kalimantan itu ya sering main ke hutan gitu, setelah memasuki usia usia remaja mulai tidak ada lah hutan-hutan yang kami jadikan tempat bermain.” Hutan berubah perusahaan, dan bagi Fahrul, “saya lihat desa-desa di sekitar perusahaan masih begitu-begitu saja, gak ada pembangunan dan gak ada apa-apa.”

Adanya konflik tanah antara perusahaan dan masyarakat, adalah awal mula kesadaran Fahrul saat membaca kasus ini bermula sejak 2008. Fahrul mulai sadar, apa yang terjadi pada hutan tempatnya bermain, tidak menguntungkan masyarakat, dan lebih banyak menimbulkan kerugian. Seperti hilangnya rimba tempat Fahrul dulu bermain. Begitu pula Gijik, dengan kematian ini, Fahrul berharap agar pemerintah dapat lebih kolektif dalam memberikan izin usaha pada sebuah Perusahaan yang akan berdiri untuk bisa mematuhi aturan dan beroperasi sesuai izinnya.

****

Sama halnya dengan Seno Abdul Kamar. Seno Abdul Kamar, dalam bahasa Indonesia berarti, Seno Anak Rembulan. Jauh sebelum Islam, melalui Umar ibn Khattab menyusun penanggalan Qamariyah—penanggalan berdasarkan penghitungan poros perputaran bulan—Dayak sudah mengenal penanggalan ini. Barangkali Seno lahir saat Purnama, saat bulan tampak penuh karena matahari menyorot pantulannya. Dalam tradisi Jawa, Purnama petanda terang bulan, dalam kondisi ini Padhang Bulan, total kesempurnaan Cahaya Bulan menyingkap gelap, dalam momen purnama inilah anak kecil bermain riang di bawahnya, “rembulane e sing awe-awe, ngelingake aja padha turu sore, Yo ‘pra kanca dolanan ing jaba, rame-rame kene akeh kancane, langite pancen sumebyar rina, yo padha dolanan sinambi guyonan” (Padhang Bulan – Sunan Giri).

Sementara Seno bukan di Jawa, ia tumbuh di Tangar Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Masa kecilnya tumbuh dengan adegan konflik yang terjadi di Desa Tangar, salah satu desa yang juga mengalami kriminalisasi oleh Perusahaan sawit tepatnya oleh PT Bumi Sawit Kencana (BSK) yang merupakan bagian dari Wilmar pada tahun 2017 silam. Mengapa Anak Rembulan ini justru dipunggungi bulan? Barangakali memang Bulan di Jawa dan bulan Kalimantan, atau Bulan Dayak berbeda. Di Dayak Ngaju, tempat wilayah mayoritas tempat Seno tinggal, saat Purnama datang, anak-anak diminta agar mencari Utin Tingen. Bagian kecil ujung dari ilalang yang tegak. Fungsinya adalah, dari ujung ilalang yang tajam ini, semoga anak-anak memiliki ingatan yang tajam. Niat mulia berujung petaka, barangkali berlaku untuk Seno. Sebab ingatan yang tajam kini, ia gunakan untuk mengingat konflik masa kecilnya.

Baca Juga: Konflik Sawit di Seruyan, Jaringan Solidaritas Bangkal (JSB) Gelar Aksi di Depan Gedung DPRD Kota Malang

Kamis (12/10) – Jaringan Solidaritas Bangkal (JSB) melakukan aksi solidaritas di depan Gedung DPRD Kota Malang. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap unjuk rasa Masyarakat Desa Bangkal yang menuntut PT. Hamparan Masawit Bangun Persada 1 (HMBP) agar segera menyerahkan lahan plasma sawit yang dijanjikan sebesar 20% sejak tahun 2006.

Kini Seno berada di Malang untuk menempuh pendidikannya, dia diberi kesempatan untuk melihat keindahan kota Malang yang berhiaskan lampu-lampu di sepanjang jalan, gedung-gedung bertingkat yang selalu bertambah namun dia tak bisa menikmati semua suguhan keindahan dan gemerlap kota yang ia tinggali saat ini. Karena semua keindahan dan kemegahan kota yang sekarang ia rasakan menurutnya adalah hasil dari kriminalisasi dan perampasan terhadap masyarakat adat. “Kita mungkin menyaksikan bagaimana Tumpang Pitu, bagaimana pabrik semen di Kendeng, dan seterusnya, itu semua adalah alat dan hasil dari perampasan, hasil kriminalisasi itulah membangun keindahan kota yang kita lihat hari ini.”

Seno juga melihat bagaimana proses masuknya perusahaan sawit mulai menggerogoti sedikit demi sedikit hutan-hutan yang ada dilingkungan tempat tinggalnya saat kecil dulu. Saat ini, setiap kali dia balik ke kampung halamannya, ia merasakan bahwa sekarang hampir tak ada hutan yang benar-benar bisa dikatakan hutan. “Tiap kali balik yang di desa saya itu sudah hampir tidak ada hutan. Bukan hampir lagi, tapi sudah tidak ada struktur atau topografi wilayah yang bisa dikategorikan hutan. Karena hutan yang saya kenal tidak begitu, hutan yang saya tau ya bukan begitu, sekarang ya sisanya ya kelapa sawit semua.”

Pemandangan hutan yang belum tersentuh dan dijarah oleh perusahaan kelapa sawit yang berada di Kabupaten Seruyan. Foto oleh Muhammad Fahrul/Dokumen Pribadi.

Di bawah matahari yang ini, Seno mengenang masa kecilnya, sekaligus mengingat Gijik. Seno berdiri bersama Persatuan Pelajar Mahasiswa Seruyan (PPMS) Malang yang ikut serta dalam aksi solidaritas untuk warga Bangkal. Dia merasakan kesamaan nasib yang dialami oleh saudara-sauadara yang berjuang di bangkal untuk mempertahankan dan meminta hak-haknya kembali yang dirampas oleh perusahaan kelapa sawit.

“Yang dilakukan hari ini di Malang ialah kami yang berdiri dan bergabung dari aksi solidaritas untuk Bangkal dan komunitas Bangkal sebenernya sederhana, bahwa yang ingin kami sampaikan ini adalah gambaran bagaimana urban, struktur kota dan dunia modern yang kita nikmati disini yang kita nikmati di Jakarta, di Surabaya, ialah buah dari konflik, buah dari darah, buah dari penggusuran dan perampasan terhadap masyarakat adat yang ada di luar pulau Jawa, pun juga masyarakat adat yang ada di pulau Jawa.” []

Reporter: Ahmad Pujiyono

Editor: Ajmal Fajar Sidiq

(Visited 72 times, 1 visits today)

Last modified: 14 Oktober 2023

Close