Senin (27/01), para penghayat kepercayaan bercerita tentang diskriminasi yang mereka alami melalui sebuah film dokumenter yang berjudul Atas Nama Percaya. Film ini diambil dari Suku Marapu di Sumba, diproduksi oleh Watchdoc yang bekerjasama dengan Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) UGM dan the pardee school of global studies Boston University. Pemutaran film ini diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Siar, Universitas Negeri Malang. Dihadiri oleh mahasiswa, AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Malang, serta para penghayat kepercayaan dari HPK (Himpunan Penghayat Kepercayaan).
Asra Bulla Junga Jara, yang merupakan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME merasa aturan hukum yang ada masih belum terlaksana dengan baik dan merata di wilayah Indonesia seperti daerah pulau Sumba. “Memang sudah ada regulasinya, tapi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME di sana belum tahu dengan jelas karena sosialisasinya kurang dari Pemda (pemerintah daerah),” tegasnya.
Mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang ini pernah mengalami tindak diskriminasi dalam pelayanan administrasi kependudukan serta dalam pelayanan pendidikan. Saat mengurus Kartu Tanda Penduduk dan akta kelahiran ia dipaksa untuk mengisi kolom agama. “Serta belum ada pemberian mata pelajaran yang berhubungan dengan Budi Pekerti di sekolah,” imbuh laki-laki asal Sumba ini.
Telah diatur dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi) nomor 97/PUU-XIV/2016 bahwa para penghayat diperbolehkan untuk mengosongkan atau mencantumkan kepercayaannya pada kolom agama di KTP dan KK. Layanan pendidikan juga sudah diatur dalam Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) Pasal 1 ayat 1 nomor 27 tahun 2016. Aturan tersebuat berbunyi: Layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan YME yang diberikan kepada peserta didik penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME
Pemerintah juga telah membuat dasar hukum perlindungan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dan lembaga adat yang tertuang pada Permendikbud nomor 77 tahun 2013. Pada pasal 1, ayat 1 berbunyi: Pembinaan lembaga kepercayaan dan lembaga adat adalah proses, cara, usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Senada dengan Asra, Hadi Prajoko selaku pembicara diskusi mengatakan, “ngurus KTP tidak dilayani, mengadakan perkawinan tidak mendapat surat kawin, tidak dapat sekolah karena tidak ada pelajaran tentang kepercayaan.” Ketua HPK ini juga menjelaskan bahwa para penghayat yang meninggal tidak dikuburkan di pemakaman umum.
Hadi menilai hal itu bisa terjadi karena beberapa sebab. Salah satunya adalah adanya ketidakmerataan pelaksanaan hukum. “Pelaksanaan hukumnya tergantung pemerintah daerah masing-masing, karena adanya permainan partai-partai politik bernuansa agama,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Abdul Lathif Bustami, dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Malang. “Komponen bangsa masih terjebak stigma negatif yang bersifat peyorasi, politisasi agama, serta kuasa serba agama yang diadopsi oleh negara,” tuturnya.
Menyadari adanya hal tersebut, Hadi juga mengungkapkan bahwa ia dan para penghayat kepercayaan telah melakukan beberapa perjuangan. Antara lain, “mulai doa bersama dengan berbagai macam umat agama, memberikan perlindungan, dan motivasi pada pihak terdiskriminasi hingga melakukan gugatan hukum.”
Abdul kemudian menjelaskan bahwa, “baik agama dan kepercayaan memiliki substansi yang sama.” Adapun substansi yang dimaksud oleh Abdul Lathif Bustami mencakup; kesadaran akan adanya Sang pencipta (creed), tata cara peribadatan (cult), pedoman buku atau kitab peribadatan (code), dan orang yang mempercayai (community). Sehingga, harusnya agama dan kepercayaan tidak saling tumpang-tindih.
Abdul kemudian mengungkapkan harapannya, “semoga ke depannya negara lahir batin memberikan layanan yang bersifat setara, inklusif, dan demokratis kepada semua warga negara.” Senada dengan Abdul, Hadi juga berharap, “akan ada badan kementerian tersendiri yang bersifat melindungi, membina dan menaungi HPK,” tutupnya.[]
agama atas nama percaya diskriminasi kemanusiaan pendidikan toleransi
Last modified: 31 Januari 2020