Seperti Gunung pada umumnya di seluruh dunia, Gunung selalu suci dan dianggap sebagai tempat dewa bersembunyi, tempat dunia bermula, dan tempat dunia menandai kapan manusia harus punah dari muka bumi. Hormati Gunung, tak ada yang lebih tinggi dari Gunung, meski pengetahuanmu menjulang langit. Sutisna mengingatnya, pada hari ketika Hujan Es turun di Gunung Ciremai. Orang-orang Pegunungan yang selalu ia temui semasa kecil dan teman-teman bermainnya sering mencari demit adalah para pemburu yang sering membuatnya takjub. Dunia yang kita kenal, hanya lapis layar terluar, masih ada yang lebih dalam, yang gaib, kata para pemburu sambil menunjukkan jalur setapak bekas Macan Putih Siliwangi yang masih hidup kala itu. Hari ini, di Gunung Matebian ia membayangkan macan yang lain.
Sutisna teringat suatu malam yang kejam di Matebian saat bedil di tangannya hampir lepas ketika Lorenzo Lopes tumbang di antara kedua kakinya. Dua butir peluru tembus dari pelipis kirinya, dan kepala Lopes hancur di Pertempuran jarak dekat. Dua batalion pasukan Indonesia pergi ke Gunung Matebian.
“Ingat baik-baik nama itu, Fretelin! kejar kepalanya, penggal, selesai sudah pertempuran kita,” kata Denny Moerjani, Komandan Pleton yang memimpin pasukan dari distrik utama.
Gunung itu penuh bebatuan besar, sebagian batu penuh oretan penanda bergantinya musim hujan ke musim tanam, musim kemarau ke musim hujan dan juga tempat melacak singgasana Dewa. Bahkan, Sancho Dominguez rekan kerja dekat Sutisna meyakini dahulu Yesus pernah singgah di sini sembari menggiring babi-babi melintasi Samudera Pasifik. Semua gunung itu suci, Sutisna mengingat nasihat moyangnya. Sementara di sela kakinya, ia merasa telah menodai Gunung dan kepala Lopes yang terpenggal di antara kedua kakinya, mengucurkan darah ke bebatuan. Di sekeliling bebatuan seratus mayat gerilyawan lain yang tak dikenalinya tewas. Nama-nama yang hilang di gunung suci, semoga Tuhan memberkati mereka, batin Sutisna. Berdosakah diriku? Tidak, Sutisna ingat sebelum perang, Sang Komanda Denny Moerjani pernah berkata, dalam medan tempur, tugas anda hanya bertahan hidup, siapa yang mati akan kami larung, dan yang hidup akan kembali melihat Jawa. Sebagai Sersan, Sutisna mengerti ini hanya urusan dorongan semangat pertempura. Membunuh atau dibunuh. Gunung tetap suci, akulah yang pemuh noda batin Sutisna.
Sutisna menganggap perang yang berjalan berbulan-bulan lamanya ini seperti kapal yang kehilangan sauh, hanya perlu satu peristiwa kecil untuk membuat kapal itu karam dimakan badai. Seperti Badai El Nino yang tak masuk catatan resiko Nahkoda. Seperti hari ini, kumpulan serdadu gerilya yang dahulu bergerak dari Ujung Utara ke Selatan sebanyak 20 ribu lebih telah hilang jejak. Padahal, bulan-bulan yang lalu senapan dan suara granat masih sering terdengar seperti musik harian yang diputar di kedai-kedai. Hari ini, di atas Gunung Matebian genderang perang hilang, takkan ada lagi mayat baru, hanya ada bebatuan purba dan hamparan Samudera yang luas. Ia duduk di Selatan Gunung, menyaksikan laut dan ombak saling seteru di antara banyaknya kehidupan laut yang entah apakah mereka peduli tentang Perang Manusia. Barangkali kehidupan di laut sama dengan dirinya, barangkali mereka memiliki pernagnya sendri, barangkali memang hidup hanya perang tanpa akhir, sementara semesta yang luas belum mampu kita baca kita hanya kita tinggalkan di Planetarium. Ia menghisap tembakau lintingannya. Tembakau adalah perbekalan yang harus siap sedia digunakan ketika medan tempur semakin panas. Kata Asep, a.k.a Florentino, rasa cemas bisa tertolong tanpa bius, sebagai alternatif, ketika cemas mendekapmu sementara perang masih berlansung, linting saja tembakau, bakar, hisap lalu keluarkan pelan-pelan. Untuk mendapatkan rasa maksimal, Asep menyarankan tempo hisap keluar asap dari paru-paru ke udara lepas harus terjadi dalam 3/3 detik Dengan cara itu, aliran darah dapat bekerja dengan tenang.
Di balik batu yang tinggi, sambil menghisap tembakau yang belum habis, Sutisna melihat seorang Prajurit Baru dengan seragam loreng yang warnanya mulai pudar karena darah. Prajuit itu adalah pasukan cabutan yang diancam berpihak pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rambut ikal dan kulitnya yang berwarna sawo matang, menandakan ia sebetulnya Pribumi. Hanya pribumi yang menjadi mesin pembunuh peranglah yang bisa selamat dengan seragam loreng hitam hijau, karena dengan cara itu ia dianggap tidak memihak gerombolan komunis. Alvaro Goncalves, lelaki berusia 19 tahun yang masuk dalam prajurit yang dididik Sutisna. Alvaro ikut bersandar pada batu besar di samping Sutisna. Di sampingn kakinya, teradapat AK-47 yang bau mesiunya perlahan hlang pertanda butir peluru terakhir dan pertanda perang telah usai. Ia prajurit yang cakap, Sutisna berpikir Alvaro harus pergi ke Jakarta, barangkali suatu waktu dalam situasi genting, ia berpotensi menjadi komandan pleton.
Alvaro dipingit pada suatu malam rumahnya hancur terkena granat. Ia selamat karena sedang menimba air 3 kilometer dari rumahnya. Saat pulang, rumahnya hancur, keluarganya tertimbun dan hanya menyisakan jasadnya. Nyawanya entah kemana. Alvaro seorang pribumi yang memiliki Indra yang tajam. Suatu hari ketika ada Latihan gerilya hutan, ia meloncat tanpa tali dari cabang ke cabang pohon-pohon yang besar. Seperti bajing sungguhan. Tak ada satupun yang mampu menandingi ketangkasan Alvaro dalam melompat.
Baca Juga: Alan dan Angkasanya
“Sebenarnya aku tidak terlalu mengetahui tentang apa itu Angkatan Udara, yang kutahu mereka hanya menghabiskan waktu di atas awan. Tapi setelah melihatmu tadi rasanya aku ingin menjadi sepertimu,” ucap Alan dengan polosnya disambut dengan sedikit tawa dari Letnan Antoni.
“Gila betul kau. Belajar dari mana?”
“Saya terbiasa bapak. Sejak kecil kami berlari dari ranting ke ranting pohon kayu merah. Sekali waktu, saya dan kawan-kawan kecil saya mampu menangkap burung gelatik yang terbang nakal hanya bermodal ketapel dan duduk di batang pohon,” Alvaro bercerita tentang masa kecilnya, seolah ia lupa keluarganya telah dibantai pasukan yang kini ia tempati.
Alvaro menghisap tembakau, Sutisna menghampirinya dan membawa tembakau jenis lain.
“Ambil ini!”
“Apa ini bapak?”
“Tembakau Probolinggo. Kiriman seorang teman Akademi,”
Mereka melinting bersama dan menghisapnya pelan perlahan.
“Jadi seperti ini rasanya berperang bapak”.
“Ya begitulah, dibunuh atau terbunuh”.
“Sudah biasa berperang”.
“Sudah. Pernah ditempatkan di bagian logistik, persediaan yang saya bawa hancur ditembak senapan. 5 bulan lalu, di Irian Barat”.
“Apa yang bapak peroleh dari Perang?”
“Entah”.
Keduanya mentap laut yang sama. Laut dari Samudera Hindia yang lepas. Matahari mulai redup keduanya duduk di antara tumpukan mayat.
“Masih ada yang tersisa bapak, mereka lari jauh ke Utara”.
“Biar, kita istirahat untuk semalam ini. Di kompi ada tuak, mari minum”.
Mereka meninggalkan tumpukan mayat, turun lima puluh kaki dari puncak gunung, lalu minum bersama.
Gunung memiliki misterinya sendiri. Sebelum daratan tenggelam oleh separuh lautan, Gunung tempat manusia berlari ketika bala datang. Sutisna keluar tenda, sementara prajurit kompinya masih tidur. Hari sudah menjelang fajar. Alvaro masih tertidur nyentak di atas tumpukan tas persediaan logistik perang. Sutisna bermimpi buyutnya mengikat macan dan pergi ke gunung jauh, terasa samar. Sutisna segera pergi memastikan pertanda apa, lalu ia pergi sendiri ke Matebian. Burung-burung Cikukua sudah terlihat berkumpul mencari makan. Belum sampai puncak, Sutisna merasa tak ada apapun. Hanya mimpi yang samar.
Perlahan langkahnya membawanya turun dan berhenti di dekat perkampungan yang masih asing baginya. Hanya terlihat lima puluh rumah di depannya. Desa ini tidak masuk dalam rencana titik serbu strategi perang yang sudah pasukannya susun. Di setiap rumah, masih ada burung-burung yang bernyanyi di seberang kandang babi. Seolah si burung mengejek babi yang hidup di kendang dan tak mampu keluar terbang melihat hamparan bumi yang luas. Sutisna hanya sekedar berkeliling di masa tenang, waktu yang mustahil ia temukan ketika perang meletus. Hampir lima bulan Sutisna merasa cukup belajar Bahasa Tetum. Saat langkahnya sampai di tengah pemukiman, tiba-tiba ia merasa melihat gereja aneh. Berbeda dengan gereja di Dili yang gotik, di kampung itu gereja seperti rumah, hanya yang membedakan salib terpampang di pelatarannya. Di samping gereja, ada rumah dengan halaman luas berisi kendang babi. Seorang perempuan ikal sedang berdiri semampai memberi makan babi-babi itu. Sutisna perlahan mendekati.
Selangkah menuju pelataran, Sutisna kaget dan diam sejenak. Perempuan itu tidak memberikan babi makan, tapi menyusuinya.
“Mama, apa yang sedang mama lakukan”.
“Babi ini sudah lama tidak menyusu”.
“He, Mama itu bukan anakmu untuk apa kau berikan susumu?”
“Agar tubuhnya sehat”.
Sutisna keheranan, untuk kedua kalinya ia ingat suatu malam kakeknya pernah mengajarkan jika babi itu haram. Bahkan sekedar menyentuhnya pun tidak diperkenankan. Seorang yang menyentuh babi, harus mencuci kulitnya dengan basuhan tujuh air dan dicampur dengan baluran pasir. Mengapa babi ini justru diberikan ASI? Sutisna khawatir kelak Mama ini masuk neraka, tetapi bagaimana caranya agar dirinya berhenti menysui. Ia mencari ingatannya yang pudar tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang tak ditemukannya juga. Ia mencari dalil lain yang sukar ditemui. Yang ia ingat hanya serapah masa kecilnya, setiap dari pemakan babi akan masuk neraka. Dirinya tidak tega mengatakan itu. Seorang pemakan babi pasti adalah seorang Kristen, hanya itu yang mampu ia ingat. Tiba-tiba ia membenci Mama dan babi itu, bagaimana mungkin seorang manusia yang memiliki ASI bersih menyusui babi yang isi tubuhnya dipenuh cacing.
“He, Mama kau tahu di dalam tubuh babi itu ada apa?”
“Berisik kau! Sini kuberikan daging babi yang baru kusemur”.
“Tidak, saya tidak menyukainya”.
“Begini Mama, Babi itu hewan, kau sembelih lalu dimakan. Buat apa kau berikan dia ASI. Begini saja, bandingkan dengan anakmu, ia kau beri ASI tumbuh jadi manusia yang akan membantumu di masa tua, sementara Babi yang kau beri ASI akan kau makan sendiri, lalu apa untungnya?”
Baca Juga: Mencari Bintang dalam Kakinya
“Adam, aku akan melihatmu di mercusuar tengah,” ujarku, menolak ikut dalam pencarian nona muda kesayangannya. Kamu mengangguk kecil, melangkah ke barat laut, arah ke rumah Bintang.
Mama itu menutup payudaranya. Ia berhenti menyusui lalu pergi ke dalam rumah. Sutisna puas, seolah merasa dirinya mampu menjalankan salah satu misi kenabian yang ia yakini. Matahari mulai membiaskan bayangan tubuhnya, ia pergi dari kampung itu dan kembali ke tenda tempat prajuritnya berkumpul.
Sampai di pelataran tenda, para prajurit kompi sudah tegak rapih berbaris berkumpul. Denny Moerdjani di depan barisan sedang bicara. Sutisna datang melapor hasil temuannya, lalu berdiri di samping Denny Moerdjani.
“Fretelin belum mati! Kemungkinan perang akan berlanjut”.
Sutisna kembali membayangkan mayat, darah dan kepala Lopes. Tiba-tiba dari kepalanya muncul Kakeknya.
“Mau membunuh lagi?”
“Maafkan saya, kewajiban seorang Prajurit. Demi Negara dan Bangsa kita”.
“Bangsa yang mana. Apa yang sebetulnya benar-benar kau perjuangkan?” lalu ia menghilang.
Sebelum mendaftar akademi Tentara, ia ingat kejadian kampungnya. Masa kecil Sutisna seperti Alvaro. Kampung penuh pemandangan darah. Malam itu, malam paling dikenal Sutisnya, seolah gelap dan petromak bercampur warna menjadi kuning merah keemasan. Ada bercak dimana-mana. Di tembok langar tempatnya mengaji, kaki yang ia kenali tergantung tanpa tubuh. Ada bercak dimana-mana. Di balik langar, baru ia temukan milik siapa kaki itu. Kakeknya guru ngaji tewas dalam peristiwa pembantaian semalam. Ia ingat hari itu 30 September, yang kelak ia namai festival tumpukan mayat-mayat dari langit.
Ia membayangkan mendiang Kakek. Hampir tujuh bulan, hanya hari ini kakeknya baru muncul di mimpinya.
“Kita kembali ke Dili!” kata Denny Moerdjani.
“Kau, Sutisna pimpin satu Batalion pergi ke sana”.
Ia teringat sumpah prajurit pertama kali menjadi serdadu. Kewajiban adalah kewajiban, kehidupan adalah Negara. Demi Negara dan Bangsa kehidupan itu berjalan. Ia bergegas pergi ke Dili bersama rombongan batalionnya. Di sepanjang jalan, ia membayangkan kepala kakeknya berada dalam tas.
Tak pernah benar-benar ada Dili. Dalam perang, wilayah hanya ilusi, karena liang kuburlah yang lebih dekat, Itulah yang dipikirkan oleh para serdadu. Sutisna tak ingin mati hari itu. Ia ingat kepala kakek, ia ingat istri dan anaknya di Bandung, ia ingat misinya dalam tentara sudah selesai. Apa yang terjadi pada tahun 65, itulah yang membuatnya masuk dalam dunia tentara. Saya hanya ingin mengerti mengapa kakek dibunuh, saya ingin memahami sejarah. Sayang Sejarah tidak memilih Sutisna. Beberapa orang diperkenankan membentuk Sejarah, seperti raja agung dari Makedonia. Sejarah menipu Sutisna. Sejarah adalah naskah orang-orang kalah yang diberikan ruang sinis oleh pemenang, kata Sutisna pada suatu waktu ketika ia membelot dari pasukan.
Pergi serentak ke Dili bersama divisi Siliwangi. Ia memeriksa segala persiapan dari peralatan perang, peraga penyamaran dan logistik. Tapi tak pernah benar-benar ada Dili. Orang-orang akan mati di Santa Cruz. Sebelum Santa Cruz, ia membelot dari pasukan. Kepala Kakek terasa benar-benar nyata. Satu pasukan batalion ia biarkan pergi begitu saja. Sutisna keluar dari barisan untuk memutus mimpinya menjadi Jenderal. Ia menepi ke Gereja, tempat Romo Ubelo tinggal. Seorang kawan masa perang yang sering menjadi lawan bermain catur.
“Tolong basuh dosa saya. Saya akan pulang,” Ujang memohon pada Romo.
Sutisna kabur, setelah kabar datang ia takkan bertemu dengan istri dan anaknya lagi. Ia akan diorganikkan menjadi penduduk asli. Ia mencegat kapal pedagang, sembunyi di geladak lalu pergi ke Jawa. Sebagian teman di akademi yang masih berteman dekat ia hubungi. Ia berikan kabar keputusannya. Namanya hilang dari sejarah tentara, hanya ada kisah para pemenang, hanya sejarah-sejarah yang ditulis yang ada. Sutisna pergi ke Gunung, ia ingin hidup dalam misteri. Di ujung hutan, ia membangun pondok, menyepi dan menjadi petani. Ia hanya ingat kematian, ia hanya ingat kepala sang kakek. Bertahun-tahun kemudian, ia mengingat tak ada lagi Sutisnya. Hanya ada veteran serdadu yang kabur, pergi ke ujung Gunung, dan ialah Ujang.
Di Gunung yang itu, ia mengingat Lopes, ia mengingat Alvaro, ia mengingat Romo dan ratusan mayat yang dibunuh di Santa Cruz. Ia mengingat Tuhan yang entah. Ia mengamati bintang bersama istrinya di atas bilik jauh di ujung hutan, tanpa listrik dan penerangan.
“Tuhan, basuh dosa saya”
Penulis: Ajmal Fajar Sidiq (Kontributor)
Editor: Zahrah Salsabilla
Last modified: 08 Maret 2024