Jaringan Solidaritas Keadilan Korban (JSKK) Kanjuruhan menuntut Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai hari Duka Sepak Bola Nasional. Tuntutan tersebut dibacakan di depan Stadion Kanjuruhan oleh Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan pada Minggu siang (01/10). Tuntutan tersebut juga termasuk salah satu dari 17 tuntutan pada peringatan 1 Tahun Kanjuruhan tersebut.
Devi Athok, salah seorang ayah yang kehilangan dua anaknya akibat Tragedi Kanjuruhan, menyatakan kekecewaannya terhadap pernyataan yang dikeluarkan oleh Erik Thohir selaku ketua umum Persatuan Seluruh Sepak Bola Indonesia (PSSI). Ia menegaskan bahwa donasi yang diterima tidak bisa menggantikan keadilan yang seharusnya ditegakkan. Baginya, uang bukanlah solusi untuk mengatasi rasa kehilangan akibat Tragedi Kanjuruhan.
“Kami sangat amat kecewa dengan statement-nya pak Erick Tohir karena kami sudah diberi donasi padahal donasi bukan sebuah kata damai, uang itu bukan menyelesaikan masalah tapi keadilan ini memang yang kami harapkan setelah pak Erick Tohir memberikan hal itu dia menjadi Ketua PSSI dan lupa dengan janji beliau akan menuntaskan Tragedi Kanjuruhan,” katanya
Devi Athok menyampaikan permintaan yang tegas, yaitu agar PSSI menjadikan setiap tanggal 1 Oktober sebagai Hari Duka Sepak Bola Nasional dan untuk tidak menggelar pertandingan sepak bola di Indonesia pada tanggal tersebut. “Ya kita minta pihak PSSI tiap tanggal 1 Oktober dijadikan Hari Duka Sepak Bola dan tidak ada pertandingan sepak bola di Indonesia Liga 1, Liga 2 dan Liga Amatir,” terangnya
Baca Juga: Malang Belum Usai, Malang Masih Berjuang
Di momen ini, barisan massa yang memadati ruas jalan sisi Alun-Alun Malang mulai ambigu. Barisan depan yang bersama keluarga korban mulai merangsek lurus melanjutkan corteo. Ternyata, tujuan mereka adalah Balai Kota, bukan Kayutangan. Namun, barisan belakang yang kebanyakan memakai atribut Arema berbelok ke arah Kayutangan.
Dalam pandangan seorang Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Hatib Abdul Qadir, ia menegaskan hak untuk berduka tidak bisa diabaikan. Baginya, hak untuk berduka sama pentingnya dengan hak-hak dasar manusia. Dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, hak berduka dianggap hilang karena pemerintah memberikan hiburan sebagai gantinya. Dengan kata lain, hak ini diabaikan dan dihapus oleh pemerintah.
“Korban Kanjuruhan saat ini, kalau dalam padangan saya, itu hak untuk berdukanya dihilangkan dengan cara memberikan hiburan yang lain. Dalam kasus Kanjuruhan ini, saya melihat bahwa hak untuk berduka itu sama persis dengan hak untuk makan, hak untuk Anda berpakaian, hak untuk Anda menghirup udara, dan ketika ada saudara Anda yang meninggal, atau tetangga Anda, atau saudara kandung atau adik kandung Anda meninggal, Anda punya hak untuk berduka. Itu sama hal nya dengan Anda hak untuk makan,” jelasnya (29/09).
Hatib menambahkan, pemerintah telah mencabut hak asasi yang paling mendasar, yaitu hak untuk berduka. Mereka melakukannya dengan memberikan hiburan-hiburan kepada korban dan keluarganya. Upaya merekrut anggota keluarga menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu cara yang digunakan. “Jadi ada hak yang paling sipil, dan hak paling asasi di Indonesia saat ini yaitu hak untuk berduka. Itu mulai dicabut sekarang oleh pemerintah!” tambahnya
Ahmad Balya (21), seorang suporter yang turut serta dalam peringatan setahun Tragedi Kanjuruhan pada Minggu (01/10), menyerukan dukungan terhadap usulan yang menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Duka Sepak Bola Nasional. Baginya, ini adalah ide yang baik karena tragedi ini tidak hanya berdampak di tingkat nasional tetapi juga menciptakan dampak Internasional. Dia berharap dengan adanya hari duka ini, kasus serupa tidak akan terulang.
“Ganok pertandingan iku setuju seh. Soale iku guduk digae indonesia tok soale iku wes menyangkut internasional wisan. Mosok sampek teko internasional cuma yowes ngene ilang. Tidak ada pertandingan [sepak bola] itu setuju sih. Soalnya [Tragedi Kanjuruhan] bukan hanya [berdampak pada] Indonesia saja, tapi sudah menyangkut Internasional. Masak sudah sudah sampai Internasional, hanya ya sudah gini, hilang,” harapnya. []
Reporter : Rakhan Wardhanni & Wildan Firdausi
Editor : Wildan Firdausi
aksimalang kanjuruhan sepak bola tragedi kanjuruhan
Last modified: 02 Oktober 2023