Written by Nurul Luthfiyyah 14:45 Cerpen, Sastra

Lucid Dream

lucid dream kampus hijau

Lucid Dream oleh Nurul Luthfiyyah/UAPM INOVASI – Kasur di asrama terasa berkali-kali lebih empuk, kubergeser pun tak terdengar suara lapukan kayu ranjang. Aku tersadar sedikit, apakah ini dia? Kupastikan dengan berguling ke samping. Lalu, ya! Hal itu terjadi. Aku terbang!

Aini, panggilan orang-orang padaku. Saat ini adalah tahun pertamaku di Kampus Hijau kota Malang. Klip memori saat di Malang kusimpan dengan baik, apalagi untuk malam ini. Pertama kalinya aku mengalami Lucid Dream. Di mana aku mempelajarinya setelah menyukai lagu Juice Wrld berjudul sama. Keadaan di mana seseorang bermimpi dan si pemimpi dapat mengendalikan mimpinya. Aku tak membuang waktu lagi, sebelum terdengar ketukan pintu kamar beruntun dan suara pendamping yang menggelegar, kucoba melayang. Hanya terdapat cahaya yang remang, kukendalikan tubuhku menuju teralis. Masih dalam keadaan melayang, tiba-tiba kutersentak dengan bayangan yang terlihat di samping, walau kami belum berhadapan.

Terlintas situasi apa yang terjadi saat ini, sleep paralysis? Oh, tidak! Aku tak sanggup membayangkan mulut ini terbekap tangan makhluk terkutuk itu.

“Tenanglah, Aini. Ini mimpimu dan kau menyadarinya. Kendalikanlah!” titahku untukku.

Baca Juga: Pelajaran Tambahan Dari Mengenal Ruang Aman

Surat ini seolah menampar wajahku. Aku tidak tahu mengapa air mataku mengalir, meski tanpa suara. Aku merasa diriku sudah cukup aman berada dalam ruang aman. 

Kelopak mata tertutup, hatiku menjerit, Pindah! Pindah! Tamparan angin membuatku membuka kelopak mata kembali.

Yah! Apa-apaan! Aku malah dibawa ke lorong gelap asrama . Tanpa cahaya sedikit pun! Anehnya aku tahu ini di mana. Tapi, lebih aneh jika aku memikirkannya, karena ini hanyalah mimpi!

Sembari menulusuri lorong-lorong asrama, berharap tiba di ujung dan melihat cahaya bulan. Tapi, terasa sangat lama untukku bahkan pikiranku mulai lelah.

Selalu berharap merasakan Lucid Dream untuk terbang melihat dan menggapai langit apalagi berwarna ungu jingga dan melakukan hal mustahil lainnya yang menyenangkan, bukan seperti ini.

“Tenang, mintalah dengan benar!” Aku memaksa diriku lagi.

Hatiku kembali menjerit, Terbang! Bebas! Tanpa sekat. Ya, ke langit!

Aku menutup mata, menunggu dan membuka mata kembali. Semua ini kulakukan dengan tanpa mengetahui prosedur yang sedari awal tidak ada, aku hanya melakukannya bagai air yang jatuh bebas tanpa melihat ke mena akan jatuh.

“Ah, aku berhasil!”

“Iya?!” Sayangnya tidak. Aku malah mengambang di langit malam yang gelap gulita! Tanpa warna ungu sedikit pun.

“Oh, Aini. Harusnya teriak Purple sky!” Aku terus merutuki diriku hingga terlihat di bawah jalanan kota Malang. Apa aku sudah berpindah lagi? Oh, ayolah ini Lucid Dream apa bukan?!

Fokusku langsung teralihkan ke arah Bapak-bapak yang baru saja keluar dari tempat pengambilan uang, ia menaiki motornya dan segera berlalu.

Sebentar, seperti ada yang salah, bukan?

“Di mana orang yang menagih kita saat mengambil kendaraan?”

Terlihat pula sepasang kekasih yang sudah menua, mereka bergandengan ingin menyebrang. Aku berniat turun dan membantu mereka, mengingat jalanan kota Malang tak pernah sepi di daerah ini. Namun, niat itu kuurungkan, seluruh kendaraan baik roda dua dan roda empat bahkan delapan berhenti. Terlihat bak memersilakan raja dan ratu berjalan di atas karpet merah.

“Sejak kapan pejalan kaki diperlakukan seperti ini? Apakah ini negara Anime?”

Kepalaku mulai sakit, aku ingin tertawa melihat kadaanku sekarang. Melayang? Pfft. Lucu sekali. Inikah efek sering menyaksikan genre fantasi?

Aku terbang lurus ke arah depan, lalu sadar aku berada di atas alun-alun kota Malang.

“Ha? Ini alun-alun?” monologku. Lagi-lagi ada yang aneh.

“Di mana sampah-sampahnya?”

Shollu! Shollu!”

Netraku terbuka dan tubuhku tersentak kaget. Memang benar, teriakan pendamping hampir menandingi teriakan Ibuku. Aku bangkit dan mulai melakukan aktivitas seperti biasanya.

Baca Juga: Mencari Bintang dalam Kakinya

Di detik kesembilan, detak bahagia berhenti, dan bunga mawar ikut terdiam. Mereka menanyakan keberlanjutan kisahmu dengan seorang yang kemarin kamu banggakan di podium dan di telingaku.

Setelah memakai mukena, aku bersama temanku Danis berjalan menuju aula untuk melakukan salat berjamaah. Masing-masing kami menenteng buku saku bertuliskan “Taqorrubat.”

“Nis, tadi malam aku Lucid Dream,” kataku. Danis adalah mahasiswi Psikologi, tidak heran dia sudah mengetahui apa itu.

“Hah?! Hah?! Jadi, apa yang kamu lakukan di mimpimu, Ni?” tanyanya.

Ish, aku cuma minta terbang-terbang, gitu. Harusnya aku minta yang jelas, aku ingin purple sky!” keluhku dengan menghentak pelan kaki.

“Yah, coba lagi nanti. Kamu pakai metode apa? Dild? Atau Fild?” tanya Danis.

Aku yang ingin menjawab terdiam karena melihat ke arah luar aula. Kampus Hijauku tampak berbeda. Aku berlari menuju balkon, “Megah sekali!” teriakku lalu tertawa.

Kampus Hijau ternyata disulap seindah ini, daerah yang lebih luas cat tembok yang tak lagi mengelupas, aku juga baru tersadar berpijak di atas lantai marmer. Bahkan, hal yang Anak-anak Inovasi bicarakan, CCTV terdapat di seluruh sudut bangunan kampus. Tentu saja lampu merahnya menyala.

Tubuhku bergeming. Tanganku mengucek netra. Netraku melirik ke bawah, Anak-anak kamar sedang sarapan di lantai kamar.

“Ah, ternyata aku baru terbangun.”

Editor: Zahrah Salsabillah Ashari

(Visited 158 times, 1 visits today)

Last modified: 29 Oktober 2023

Close