Written by Ajmal Fajar Sidiq 14:13 Berita

Luka, Harapan dan Ingatan Mariyati dari Desa Pakel

Kamis (3/2) selepas Maghrib, Mulyadi, Suwarno, Untung, Ponari dan Hariri menuju Desa Aliyan dengan mobil APV putih. Di Cawang, Rogojampi Selatan, mobil berwarna hitam menyalip mereka, dengan dua mobil lain di belakang mengiringi. Dari mobil yang mengapit kendaraan itu, turun enam orang meminta kelima warga pakel turun dan digiring masuk ke dalam mobil yang berada di belakang mobil mereka. Mereka diculik. Kabar masuk ke Desa Pakel, turun hujan deras, berbondong-bondong warga berkumpul menuju posko. “pokoknya pas malem-malem itu kan warga kumpul di posko itu sampe penuh mas, biasanya kan kalo pas hujan-hujan itu warga sedikit di posko,” tutur Sri Mariyati dalam sesi berbagi cerita bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur (20/2).

Pertengahan cerita, Mbak Mar, sapaan Sri Mariyati menangis mengingat kejadian. Layar yang semula menampilkan wajahnya, hanya menyisakan nama Identitas Pengguna. Kasus penangkapan itu menyebabkan sebagian warga trauma, takut, hingga gambaran sepintas lalu aparat dalam benak mereka. Begitu cerita Mariyati, sambil berkata, “tapi tetep semangat, ya tetep semangat.” Dengan suara senyum tawa singkatnya, yang mengingat bahwa kabar yang terakhir sampai ketiga Warga Pakel tertangkap masih sehat dan tetap memberikan peneguhan, harus semangat. Tangis Mbak Mar kembali lagi, kali ini bagian dari dirinya yang hadir. Tentang kisah Kakeknya.

“Dengan kejadian itu ya mas, merasa setelah kejadian itu orang menjadi takut, seolah sejarah itu gak berubah, tapi berulang, ketika aku waktu kelas 1 SD juga banyak orang yang ditangkap. Jadi aku merasa sejarah itu berulang lagi, berulang lagi, gak berubah. Berulang lagi ke anak-anaknya besok mas.”

Mar menginjak kelas 1 Sekolah Dasar (SD). Tahun itu, tahun 2000. Tahun ketika Warga Pakel mengalami konflik salah satunya dengan Polresta Banyuwangi. Seperti Harun, Warga Pakel yang pernah dipenjara dengan kasus hampir serupa dengan Mulyadi dan dua warga lainnya. Kakek Mar hidup di masa itu. Dengan nada sesenggukan, ia mengenang saat ia baru pulang sekolah dengan kondisi masih berseragam pramuka, ia melihat kakeknya diangkut ke dalam mobil dan Mar sempat ingin ikut kakeknya naik ke dalam bak mobil. Setelah itu, Mar hidup dalam kenangan buruk.

Ingatan Mar menjelang remaja tentang tempat tinggalnya penuh kisah tragis. Kisah ini yang membuat air matanya turun saat bercerita. Saat Kakeknya di bawa, banyak lelaki dari Warga Pakel yang hilang. Mereka membaca arah, kemana harapan bisa ditemukan. Ada yang tidur di atas pohon, ada yang ngumpet di rumput, ada juga yang berjalan hanya mengikuti kemana harapan hidup ada, tanpa kendaraan dan telepon, “mengikuti kemana kaki mereka melangkah,” kata Mar. Di tahun 2000, menurut Mar, Pakel belum banyak kendaraan dan bahkan telepon.

Perempuan yang tersisa, berusaha sebisa mungkin bertahan hidup. Bagi mereka yang sudah memiliki anak, berusaha mencari makanan seadanya, seperti singkong misalnya. Bagi mereka yang merasa kurang mampu menafkahi anaknya, akan kembali ke orang tua mereka. “malah para perempuan itu, apa ya nafkahin anak-anaknya dengan seadanya, adanya singkong ya singkong dimakan”, tutur Sri Mariyah dengan wajah yang masih belum tampak dan tangis yang mulai mereda. Mar menutup kisahnya dengan kisah beberapa orang tua yang dipenjara yang belum sempat melihat anaknya kembali sampai akhir hayat dan beberapa orang yang bahkan hanya sekedar untuk tahlil pun harus sembunyi-sembunyi.

Kendati banyak ingatan menyakitkan, Pakel dan Mar adalah kesatuan. Tumbuh di tanah konflik yang hampir seabad membuat Mar banyak belajar tentang rasa peduli. Sejak Mar hidup, dengan kondisi Pakel yang masih sedikit berinteraksi dengan dunia luar, dan Pakel kini yang memiliki banyak jaringan. Sebagian besar, mereka dipersatukan kesedihan akibat konflik Agraria. Seperti Tukijo, Petani Pesisir Kulonprogo yang memberikan respon agar Warga Pakel jangan patah semangat. “ternyata banyak orang yang di luar itu masih peduli sama kita. Mungkin kalo tanpa dukungan temen-temen di luar ngerasanya kita berjuang sendiri, gitu mas,” tegas Mariyah kembali.

Catatan terakhir Jauhar Kurniawan, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, perkembangan kasus Pakel sebetulnya sudah masuk tahap persidangan Pra Peradilan di hari Jum’at lalu (17/2). Sayang pihak termohon justru tidak hadir dalam sidang ini. Akhirnya sidang justru ditunda 2 minggu lebih lama. Hingga kini, nasib penangkapan tiga Warga Pakel yang dituduh atas dasar penyebaran berita bohong dalam konteks status kepemilikan tanah belum jelas.  Dan, Mariyati masih menunggu.

“Harapanku itu kayak ke aparat ayolah jangan terlalu tajem pada rakyat kecil, masa dengan adanya  penangkapan ini aku ngerasa seolah-olah itu kita dibungkam gitu mas, karena kita orang itu cuma bercerita apa adanya, tapi seolah-olah yang kita omongin itu berita bohong, padahal bohongnya dimana janganlah seperti itu, dan juga harapanku lagi semoga 3 orang ini dibebaskan,” harap Mariyati sambil berterimakasih. []

Editor: Wildan Firdausi

(Visited 191 times, 1 visits today)

Last modified: 21 Februari 2023

Close