Written by Moh. Wildan Firdausi Romadhani 13:01 Berita, Feature News

Malang Belum Usai, Malang Masih Berjuang

“Ganti Polisi wae… Ganti Polisi wae…,” mereka meneriakkan beberapa massa yang masih menyanyikan chant provokatif, menyenggol ‘rival’ suporter Malang; Bonek, untuk menggantinya dengan kata ‘Polisi’. Begitulah pemandangan awal saya ketika tiba di titik kumpul corteo 36 tahun Arema di Stadion Gajayana, malam itu (10/08).

Sepertinya kurang tepat juga, kata ‘rival’ masih disematkan pada suporter klub sepak bola di Surabaya tersebut. Mengingat, pasca Tragedi Kanjuruhan, perseteruan antar kedua suporter itu telah diakhiri oleh orang-orang Malang itu sendiri; Arek-Arek Malang, yang meminta maaf kepada Bonek Mania sekaligus suporter seluruh Indonesia di depan kantor Arema FC.

Perseteruan antar supporter telah usai. Bapak dari keluarga korban Tragedi Kanjuruhan, Pak Midun, memutuskan gowes “sepeda keranda” ke Jakarta untuk tetap menolak lupa Tragedi Kanjuruhan. Saat ia mengayuh dan sampai di Surabaya, justru ia disambut hangat oleh Supporter Surabaya (04/08). Lalu mengapa masih ada chant provokatif di malam itu? Apakah Tragedi Kanjuruhan masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa permusuhan adalah hal yang paling sia-sia? Mereka yang mengharap perdamaian, justru kecewa atas sikap ini nantinya.

“Sangat kecewa, mereka tidak tahu, padahal kami itu memperjuangkan hak-hak mereka juga,” ungkap Devi Athok, salah satu keluarga korban, yang turut menjadi bagian dari ribuan massa itu. Ia juga ditemani oleh beberapa keluarga korban di barisan terdepan sambil membawa foto keluarga mereka yang ‘dibunuh’ dalam tragedi ini.

Ketidaktahuan yang dimaksud Devi adalah, mereka yang masih menyerukan kebencian dan fanatisme masih belum juga sadar—untuk tidak mengatakan kapok—bahwa klub yang mereka dukung tidak peduli sama sekali dengan tragedi yang telah terjadi. “Tambah memusuhi kami, keluarga korban dan aremania yang di penjara, 8 orang itu. Mereka tidak tahu itu,” keluh bapak dari Tasya dan Lala itu. Keduanya meninggal dalam tragedi tersebut.

Sekilas, massa yang hadir kala itu bisa dikenali sikap masing-masing yang hadir, mana yang benar-benar sudah ‘mati rasa’ dengan semua identitas Arema (sebagai klub sepak bola di Malang) dan yang masih bergembira ria merayakan hari kelahirannya.

 

Massa dengan atribut suporter bola Arema berkumpul di sekitar Patung Tentara Genie Pelajar (TGP) Gajayana, Kamis malam (10/08). Foto oleh Asa Amirsyah/LPM Kavling 10

Di sepanjang pelataran Idjen hingga jalan menuju Stadion Gajayana, tampak massa yang beratribut Arema; baju biru, bersyal, bendera hingga kaos dengan logo Arema. Lalu, ada banyak massa lainnya berbaju hitam-hitam, tanpa atribut Arema apapun, namun dengan membawa bendera dengan berbagai macam seruan terkait tragedi kanjuruhan. Massa pertama mengerubungi patung Gajayana, sedangkan yang kedua memilih untuk berada di garis depan corteo, termasuk keluarga korban. Massa pertama inilah yang melontarkan chant-chant provokatif di awal.

Melewati Jl. Kawi sepanjang lima kilometer, sekitar pukul sepuluh malam, corteo bergerak menuju Alun-Alun Kota Malang.

Baca Juga: Tim Bantuan Hukum Malang Bersatu: Polresta Malang Melanggar Prosedural Penanganan Anak

setidaknya ada 129 orang peserta aksi yang ditangkap oleh pihak kepolisian dalam aksi unjuk rasa tersebut. Tujuh belas di antaranya merupakan anak di bawah umur, lima orang perempuan, dan sisanya adalah mahasiswa dan warga sekitar.

***

“Maju… Maju…,” seru beberapa orang yang  memberi komando corteo tersebut, setelah cukup lama barisan berhenti sambil menyanyikan lagu “Buruh Tani” di perempatan Jl. Basuki Rahmad.

Berdasarkan catatan perencanaan rute aksi massa, seharusnya setelah lewat jalan Basuki, mereka akan berbelok ke kiri menuju Kayutangan. Tetapi rute berubah maju ke arah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Alun-Alun Malang, arah ke Jl. Merdeka. Sambil berjalan, kumandangan solawat Laailaha Illallah mengantar mereka berhenti di depan JPO, dengan kibas koreografi hitam-putih raksasa yang terbentang lebar. Koreografi besar bertuliskan “PSIKOPAT” dengan gambar seorang pembunuh berseragam, memegang selongsong gas air mata. Barisan berhenti di sana, dan keluarga korban di depan untuk berfoto sebentar.

 

Koreografi raksasa, dengan tulisan PSIKOPAT dan gambar pembak gas air mata dibentangkan di JPO Alun-Alun Malang (10/08). Foto oleh Asa Amirsyah/LPM Kavling 10

 

Devi Athok dkk., keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang turut serta di malam 11 Agustus 2023 (10/08). Foto oleh Asa Amirsyah/LPM Kavling 10

Di momen ini, barisan massa yang memadati ruas jalan sisi Alun-Alun Malang mulai ambigu. Barisan depan yang bersama keluarga korban mulai merangsek lurus melanjutkan corteo. Ternyata, tujuan mereka adalah Balai Kota, bukan Kayutangan. Namun, barisan belakang yang kebanyakan memakai atribut Arema berbelok ke arah Kayutangan.

Kejadian tersebut persis sebagai gambaran bagaimana perpecahan itu terjadi pada massa yang berkumpul pada malam itu, sekaligus menggambarkan bagaimana perpecahan itu ‘biasa’ terjadi hingga kini di kalangan suporter Malang. Mengingat, konflik horizontal di antara orang-orang Malang memang sering kali terjadi, dan nampaknya terpelihara.

“Karena itu kan ya, pihak pemerintahan, pihak manajemen memang diciptakan seperti itu agar Arek Malang tidak bersatu. Mereka kan ketakutan kalau Arek Malang bersatu; ya terbuka semua aib-aibnya manajemen Arema FC, aibnya kepolisian, dan kejadian ini kan,” jelas Devi Athok.  Ia sangat berterimakasih kepada pihak-pihak yang masih berjuang dan memiliki sikap bahwa bahwa kemanusian di atas segalanya. Namun ia masih berharap, persatuan pasti akan terwujud suatu hari nanti.

Gak onok iki pihak A, pihak B, pihak iki. Gak onok. Iki kabeh Arek Malang!” serunya dan disambut tepuk tangan dari massa yang memadati Balai Kota.

Baca Juga: Peringatan New York Agreement: Menuntut Kebebasan Menentukan Nasib Sendiri

Massa aksi merupakan gabungan dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP). Massa aksi terdiri dari 43 orang. Mereka berkumpul pada pukul 08.30 WIB lantas melakukan longmarch dengan tujuan akhir Balai Kota Malang. New York Agreement merupakan perjanjian antara Indonesia dengan Belanda tentang kekuasaan atas wilayah Irian Barat (Papua) yang dimediatori oleh Amerika Serikat dan ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962.

Melawan Politik Pelupaan

Tiga hari sebelumnya, pihak yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Kabupaten Malang menyatakan sikap mendukung renovasi Stadion Kanjuruhan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPRD Kabupaten Malang.

“Prihatin terhadap nasib Stadion Kanjuruhan saat ini dan keberlangsungan persepakbolaan dan olahraga di Kabupaten Malang. Prihatin atas nasib ataupun kesejahteraan pelaku usaha kuliner, warung, cafe dan usaha lain di areal Stadion Kanjuruhan. Bahwa kami mendukung ataupun menyetujui rencana pembangunan atau renovasi Stadion Kanjuruhan,” Ahmadi, Juru Bicara Aliansi Masyarakat Kabupaten Malang ketika membacakan dukungan, dikutip dari Times Indonesia (07/08).

Sikap tersebut tentu sangat memukul perjuangan keluarga korban yang menolak renovasi stadion. Bagi mereka, Stadion Kanjuruhan merupakan bagian yang sangat krusial dalam proses penegakan keadilan, mengingat tempat tersebut adalah di mana 135 nyawa meninggal dalam suatu pertandingan sepakbola. Kepolisian juga sampai sekarang belum melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) di tempat tersebut. “Karena yang olah TKP di Surabaya, di Lapangan Brimob itu kan mereka tidak mengakui penembakan di tribun. Padahal saksi mata banyak. Teman-teman semua ada di stadion. Merasakan tembakan ke tribun,” terang Devi.

 

Menolak lupa: barisan depan corteo Malang Belum Usai (10/08). Foto oleh Asa Amirsyah/LPM Kavling 10

Adanya upaya merenovasi Stadion Kanjuruhan, yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang terkait termasuk juga manajemen klub selangkah berusaha menutup pengusutan tragedi tersebut sedikit demi sedikit. Muhammad Raffi Azzamy, Arek Malang, menyebutnya sebagai politik pelupaan.

Malam 36 tahun Arema ini menurut Raffi seharusnya bisa menjadi media untuk melawan politik pelupaan tersebut sekaligus mengesampingkan pernak-pernik klub asal Malang. “Hari ini kita pakai baju hitam karena memang bagi kami Arema FC ataupun Arema-Arema yang berbasis manajemen dan oligarki itu telah bubar di mata kita dan hari ini momentum kita, bahwasanya di sebelas agustus lahir sebuah klub yang membuat 135 nyawa melayang di salah satu pertandingannya,” terangnya.

Apa yang dikatakan Raffi jelas berdasar. Delapan Arek Malang yang getol menuntut pertanggungjawaban sekaligus menyuarakan Tragedi Kanjuruhan dipenjarakan oleh manajemen Arema FC, buntut terjadinya pengrusakan terhadap kantor klub tersebut. “Alih-alih bertanggungjawab, mereka justru hendak menghilangkan rasa bersalah mereka dengan tetap berlaga,” lanjut Raffi.

Padahal, salah satu yang ditangkap oleh kepolisian tidak terlibat dalam aksi demo Arek Malang pada 29 Januari 2023 lalu. Pihak klub pun, dilansir oleh viva.co.id, tidak mau menerima mediasi dalam usaha restorative justive dan mencabut laporan yang diajukannya. Hingga kini, proses persidangan terhadap delapan tahanan tersebut masih terus berlanjut.

Sikap yang ditunjukkan pihak klub tersebut seharusnya menurut Raffi cukup menyadarkan kepada siapa saja yang masih mendukung klub bahwa pihak klub tidak akan pernah peduli dengan nasib fans mereka. “Mereka hanya peduli atas profit.” Ia juga menekankan bahwa Malam 36 tahun ini menandakan bahwa kesadaran akan telah matinya klub-klub sepak bola Malang (yang berbasis manajemen) ini mulai muncul.

***

 

Situasi selepas malam dini hari (11/08) di depan Balai Kota, setelah ada massa dari aliran Kayutangan. Foto oleh Asa Amirsyah/LPM Kavling 10

Langit malam dini hari itu semakin riuh, massa yang awalnya berada di Kayutangan mulai merangsek menuju bundaran Tugu Malang. Mereka lah yang sedari awal nampaknya menikmati euforia malam; melempar chant-chant kebanggaan, diiringi tabuhan drum bass, tanpa adanya rasa berduka atas tragedi Kanjuruhan. Sedangkan, kira-kira beberapa meter di depan, massa yang dari awal di Balai Kota mencoba untuk menahan diri. Mereka masih satu nuansa, berkabung atas korban-korban yang sudah tiada.

Salah satu orator kemudian berdiri di tengah-tengah mereka, bersuara lantang berusaha menyaingi suara tabuhan drum lepas tanpa komando itu.

Lek suatu saat awak dewe onok butuhe nang luar kota, pasti mereka sing nulungi, duduk arek-arek dewe. Betul opo nggak? Jadi mohon kita saling mengerti satu sama lain. Kita saling paham mana kawan mana lawan. Kawan-kawan kita yo podo arek Malange, podo suporter e, baik iku sing ndek Malang ataupun luar kota.

Musuhe awak dewe podo, ketidakadilan. Betul opo nggak? Gak onok musuhe awak dewe, arek-arek malang, iku suporter A, suporter B, Suporter C. Takono keluarga korban, keluarga korban melok ngawal Pak Midun, yopo mereka disambut di Suroboyo, takono keluarga korban. Jadi tolong sekali lagi, hargai. Hargai perjuangan keluarga korban. Hargai kehadirannya di sini. Hargai semangat dan waktu pengorbanannya untuk mengawal semua.

Di usia arema yang ke 36, arema sedang terluka. Superter e seng 135 iku dibunuh. Dan ayo menyembuhkan luka iku dengan perjuangan dan keadilan. Ayo menyembuhkan luka iku dengan semangat solidaritas dengan mendukung keluarga korban supoyo ga berjuang sendirian. []

Reporter : Wildan Firdausi
Editor : Ajmal Fajar Sidiq
Foto    : Asa Amirsyah/LPM Kavling10

(Visited 245 times, 1 visits today)

Last modified: 12 Agustus 2023

Close