Maret lalu (26/03), saya mengikuti acara topik dan diskusi Mengadili Angin Kanjuruhan yang diselenggarakan oleh TATAK dan Kontras. Di diskusi itu, saya mendapatkan gambaran yang sangat jelas (sebagai peserta diskusi) bagaimana pengadilan Tragedi Kanjuruhan sangat mencederai nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Yang mana, video lengkapnya bisa ditonton di channel youtube @kontraspublication. Acara tersebut adalah respon terhadap angin kanjuruhan yang menjadi tersangka kasus tragedi kanjuruhan.
Penjelasan secara utuh dan lengkap tentang apa yang sebenarnya terjadi di pengadilan Tragedi Kanjuruhan terdapat dalam video tersebut. Penilaian ini tidak lepas dari narasumber yang sesuai untuk memberikan informasi, yaitu Tommy Welly sebagai pengamat sepakbola, Akmal Marhali sebagai Anggota TGIPF, Tioria Pretty sebagai Wakil Bidang Advokasi KontraS, Imam Hidayat sebagai ketua TATAK, Anis Hidayat sebagai Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, dan Devi Anthok yang telah kehilangan kedua anaknya di Tragedi Kanjuruhan, yang kemudian menjadi saksi di pengadilan tersebut.
Jujur saya tidak bisa dan agak tidak enak untuk mengupas satu per satu kesaksian narasumber dalam video topik dan diskusi tersebut. Namun menurut saya, video tersebut adalah salah satu modal yang penting untuk siapapun yang mau mengerti bagaimana instansi negara dan orang-orang yang ada didalamnya dapat bertindak tidak manusiawi terhadap arti hidup manusia. Jadi, tontonlah video topik dan diskusi tesebut!
Berfikir tentang arti negara dan hidup manusia
Untuk menjawab arti dari negara dan hidup manusia, mungkin akan bisa kita temukan di beberapa buku teoritis atau buku-buku pelajaran lainnya. Tapi, saya sendiri lebih suka memaknai dua hal itu melalui sastra, salah satunya cerpen. Yang mana, dalam sebuah pengantar di buku antalogi cerpen Dari Pemburu ke Terapeutik menyatakan bahwa cerpen adalah sebuah karya yang menjembatani antara peristiwa dan pemikiran. Adapun salah satu cerpen-cerpen yang memuat pemikiran dan peristiwa menurut saya adalah cerpen bersambung yang termuat dalam buku Nasib seorang penebang kayu dan kisah lainnya yang ditulis Soesilo Toer. Dan mungkin buku ini dapat menjawab arti negara dan hidup bagi kita, yang tentunya sebagai alternatif jawaban.
Buku Kumpulan cerita bersambung Soesilo Toer ini sebenarnya adalah kumpulan cerita bersambung yang termuat dalam berbagai majalah di tahun 1952 sampai 1961. Kumpulan cerita ini sebelumnya pernah terbit pada 1963 secara utuh. Lalu pada tahun 2011, cerbung-cerbung ini diterbitkan kembali oleh Pataba Press dengan judul Komponis Kecil. Dan Akhirnya yang muncul dihadapan adalah buku Nasib Seorang Penebang Kayu dan Kisah Lainnya yang terbit pada 2019.
Baca Juga: Menentang Narasi Besar Politik Elektoral Bersama Nietzsche
Negara sebagai ontologi metafisika modern sudah usang, sebab negara tak lagi bisa mewadahi eksistensi individu serta realisasinya terhadap komunitas sekitarnya, kecuali ada momentum besar perayaan Olimpiade, seperti kemenangan Gracia-Nathalie beberapa hari yang lalu, yang tentunya hanya sebagian kelas menengah .
Isi dari buku kumpulan cerbung ini memiliki keistimewaan, yaitu cerpen bersambungnya bisa berdiri sendiri dan juga bisa saling sambung, di mana isinya adalah kisah Henki yang bertemu dengan Meener Kleber alur cerita utama dan kisah-kisah dunia yang diceritakan berikan Meener Kleber kepada Henki menjadi cerbung yang dapat berdiri sendiri. Namun, kembali lagi pada pembahasan arti negara. Menurut saya cerita bersambung yang tepat menggambarkan arti negara dalam buku ini adalah cerita bersambung yang berjudul Cita-Cita yang Gagal (Si Buntung). Cerita ini mengisahkan seorang pemuda bernama Titus yang bercita-cita menjadi petani malah diikutkan masuk ke dalam medan perang oleh negara. Dalam peperangan itu, sang pemuda mendapat luka yang mengharuskan kedua kaki dan tangannya diamputasi. Dengan keadaan cacat ia dibawa ke keluarganya, yang tentu saja membuat keluarganya menangis dan bersedih.
“Negara menghormati kepahlawanannya, sementara keluarga menangisi cacatnya,..” kisah buku ini kepada saya pada suatu bagian paragraf.
Dalam keadaan cacat seperti itu keluarga Titus sabar menghadapi dan melayani Titus, sebagai anak mereka. Akan tetapi, Titus mempertanyakan tentang hidup. Ia merasa menjadi beban, tidak berguna, dan seharusnya ia mati saja. Tak ada lagi harapan menjadi petani. Makan saja ia akan kesulitan.
Lalu dalam buku ini tertulis, “siapa yang salah?” Yang tentu saja membuat kita bertanya-tanya, “Apakah negara yang salah?”
Mungkin itu bisa menjelaskan arti negara secara perenungan, bahwa negara adalah sebuah sistem pemerintahan yang mungkin saja akan berbuat salah dan merebut hal yang paling berharga bagi rakyat dan ada manusia yang bersalah dibaliknya. Hal ini bisa kita refleksikan ke fakta bahwa sistem Negara Indonesia bisa saja menjadi pelindung orang-orang atau lembaga yang menjadi pelaku Tragedi kanjuruhan. Maka selayaknya sistem yang sudah usang, ia dapat dirombak atau diperbaiki. Yang mana pada sejarah bangsa-bangsa,perbaikan itu ada kemungkinan bisa diikuti dengan pemberontakan dan perlawan.
Sedangkan arti hidup dalam buku ini hampir akan menjadi nilai paling menonjol dalam cerita-cerita bersambung ini. Salah satu yang sangat menyentuh dan paling tepat menggambarkan maknanya bahwa Hidup Artinya Ketika Ada Orang Lain yang Kita Sayang, yang menurut saya adalah cerita bersambung berjudul Belum Sah. Cerita ini berisi seorang anak pinggiran kota bernama Henki yang ingin tidur lagi karena tadi malam tidak nyeyak tidur. Hal ini disebabkan ia yang tak kebagian selimut ketika tidur dengan adik-adiknya. Namun begitu, Mpok Ana yang seorang single parent tetap memarahinya karena kesal. Tapi bagaimana pun, Mpok Ana sadar bahwa anak sepuluh tahun inilah yang membuat dirinya masih bisa bertahan hidup setelah ditinggal oleh suaminya yang hilang karena harus ikut berperang untuk negara. Bagi Mpok Ana, sekesal apapun pada Henki. Ia akan tetap menjadi bagian hidupnya. Maka akhirnya Mpok Ana mengijinkan Henki tidur lagi.
“Lalu bagaimana negara memaknai hidup korban 135 orang pada tragedi Kanjuruhan? Bukankah ada keluarga yang sangat kehilangan? Bukankah 135 adalah bagian kehidupan bagi keluarganya, temannya, gurunya, dan lain sebagainya?”, itu adalah pertanyaan saya setelah mengikuti acara diskusi “Mengadili Angin Kanjuruhan.”
Dalam pengatar editor yang ditulis ageng Indra, disebutkan bahwa cerbung-cerbung ini sebenarnya juga menyuarakan semangat paham sosialisme tanpa terang-terangan menyebut sosialisme. Yaitu, orang yang berkerja punya hak “makan” sementara yang tak berkerja semestinya tak berhak “makan.” Yang mana, kerap kali sosialisme di simplifikasikan menjadi “sama rasa sama rata,” dimana setiap orang dapat makan tidak peduli berkerja atau tidak.
Hal yang paling menyenangkan dalam buku ini adalah pembawaannya yang sangat enak dan disaat bersamaan menjadi sangat dalam. Di mana kita akan melihat bagaimana orang-orang kalangan bawah dan termajinalkan dengan segala keterbatasannya akan tetap bahagia.
Mungkin paling saya sayangkan adalah bagaimana kisah Henki dalam kumpulan cerbung ini tidak selesai. Mungkin penulis tidak ingin memberikan sebuah kisah-kisah bagaimana seseorang yang belajar dengan sungguh-sungguh ada kepastian seratus persen akan sukses. Hal itu dikarenakan masih banyak hal yang perlu dikritisi arti sukses bagi masyarakat. Apakah kaya? Apakah punya mobil? Apakah lulus cumlaude? Semua hal itu masih sangat relatif. []
Editor: Wildan Firdausi
Keterangan Buku
Judul: Nasib Penebang Kayu & Kisah Lainnya
Penulis: Soesilo Toer
Penerbit: Pojok Cerpen
Tebal: 118 Halaman
Tahun terbit: 2019
ISBN: 978-602-53503-0-6
angin arti hidup kanjuruhan peran negara Resensi
Last modified: 16 Juli 2023