Written by Ihsanul Mukminin 16:51 Berita, Straight News

Mempertanyakan Independensi Media Massa Menjelang Pemilu 2024

independensi media massa 2024

Kebebasan Pers menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) kembali menjadi pembahasan lantaran independensi kepemilikan media massa di Indonesia. Pembahasan tersebut muncul dalam Diskusi Publik Jurnalistik Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIANNS dengan tema “Independensi dan Kewajiban Publik dalam menghadapi Tahun Politik 2024”. Eko Widianto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini.

Kegiatan Diskusi ini dilakukan di Aula Lantai 3 Gedung C Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya pada minggu pagi (29/10). Pada diskusi ini, selain tentang independensi media massa 2024, Eko menyampaikan, media massa mempunyai kewajiban untuk mengedukasi pemilih dan kontestan pemilu mengenai hak dan kewajiban terkait pemilu yang demokratis, mengedukasi pemilih dengan menyediakan forum debat dan diskusi bagi para kontestan, serta mengedukasi mengenai hal-hal teknis dalam pemilu. Begitu pula, media memiliki peran untuk mengawasi jalannya pemilu, menjadi mekanisme hingga pencegahan dan penyidikan dugaan pelanggaran.

Baca Juga: Konflik Sawit di Seruyan, Jaringan Solidaritas Bangkal (JSB) Gelar Aksi di Depan Gedung DPRD Kota Malang

Kamis (12/10) – Jaringan Solidaritas Bangkal (JSB) melakukan aksi solidaritas di depan Gedung DPRD Kota Malang. Aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap unjuk rasa Masyarakat Desa Bangkal yang menuntut PT. Hamparan Masawit Bangun Persada 1 (HMBP) agar segera menyerahkan lahan plasma sawit yang dijanjikan sebesar 20% sejak tahun 2006.

Dalam Catatan Akhir Tahun AJI 2014, pemilu 2014 menjadi saksi ancaman kebebasan pers. Ancaman ini muncul dari para penanggung jawab media itu sendiri. Pada saat itu, pemilik media terlibat dalam pertarungan dalam pemilihan presiden. Yang akhirnya, menurut Eko, AJI memutuskan musuh kebebasan pers adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, TV One, dan Metro TV karena telah menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok.

Contohnya, pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017, media televisi menjadi salah satu media yang banyak memberitakan pasangan calon secara berpihak. Hal ini didasari oleh kepemilikan Hary Tanoesoedibjo selaku Ketua Umum Partai Perindo yang mendukung pasangan Anies-Sandiaga. Sedangkan Metro TV dengan Surya Paloh sebagai pemiliknya sekaliagus Ketua Umum Partai Nasdem mendukung pasangan Ahok-Djarot. Bahkan TV One memiliki kecenderungan berpihak pada pasangan Anies-Sandiaga. Pembahasan perihal tersebut dijelaskan dalam buku Relasi Kuasa Media Politik karya Mohammad Zamroni.

Demikian pula, hubungan antara media, ekonomi dan politik, menurut Gun Gun Hernyanto dalam prolog buku tersebut, seringkali dianggap biasa. Padahal Media memiliki kekuatan penting dalam dua hal, yaitu sebagai media pengkontruksi realitas dan media sebagai pembentuk opini publik. Lalu, ketika kekuatan ini dihubungkan dengan kegiatan politik, jelas bahwa konstruksi realitas dan pengiringan opini publik menjadi hal yang sangat penting dan menentukan.

Alfian Rizki Riyansyah, selaku Ketua Pelaksana, mengungkapkan alasan acara ini buat adalah karena peran media pers cukup penting atau vital dalam menghadapi tahun politik, terutama bagi persma.

Baca Juga: Mengenang Tragedi Kanjuruhan: Doa Keluarga Korban untuk Keadilan dan Memprotes Renovasi Stadion

Sabtu (16/09) sore, keluarga korban tragedi Kanjuruhan dan masyarakat berkumpul dan menggelar doa bersama di Stadion Kanjuruhan, untuk mengenang setahun tragedi tersebut serta menyuarakan tuntutan akan keadilan. Mereka juga turut memprotes terhadap rencana renovasi stadion yang dianggap dapat menghapus bukti-bukti penting tragedi ini.

“Karena bergeraknya [persma] di media jadi perannya cukup vital di masyarakat, terutama untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi masyarakat yang mungkin saja nggak dijembatani gitu oleh media-media yang cukup besar,” ucap Alfian. Alfian menambahkan bahwa acara ini juga bertujuan menjadi salah satu bentuk pendidikan politik bagi pemilih pemula, terutama mahasiswa.

Lia Alfiatun, yang turut menjadi peserta diskusi, memberikan pendapat bahwa pemilik-pemilik media besar sah-sah saja menjadi aktor dalam kegiatan politik, asalkan dipakai secara baik dan tidak condong ke sejumlah partai atau kelompok. “Tapi kalau misal dia memiliki itu [pemilik media] nggak condong, itu menurut saya itu baik-baik saja sih,” jelas mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Jurusan Administrasi Publik UB tersebut.

Senada dengan Lia, Fatwa Azis Wicaksono dari LBH Rumah Keadilan menyatakan hal yang senada, bahwa sebenarnya menjadi aktor politik ini memang hak dari setiap warga negara, meski ia adalah seorang pemilik media masa. “Kalo memang undang-undang negara memperbolehkan, ya tidak masalah,” tambahnya. []

Editor : Wildan Firdausi

(Visited 161 times, 1 visits today)

Last modified: 01 November 2023

Close