Written by Yonanda Kumala Nasrilia 18:45 Cerpen, Sastra

Mencari Bintang dalam Kakinya

Di detik kesembilan, detak bahagia berhenti, dan bunga mawar ikut terdiam. Mereka menanyakan keberlanjutan kisahmu dengan seorang yang kemarin kamu banggakan di podium dan di telingaku. Lantaran kemarin, kau masih menari ceria bersama nona cantik itu di atas panggung, dengan gaun merah darahnya, terasa seperti melihat film Clark. Film romantik kesukaaanmu.

Kamu menoleh ke arahku, mengisyaratkan sebuah perjalanan panjangmu yang akan menelisik seluruh dunia untuk menemukan Bintang. Dalam setiap langkahmu, Bintang meninggalkan jejak kaki kecil. Bintang adalah petunjukmu menemukan kembali peluk hangat nona kecil yang hilang dan entah, apakah masih sehangat dulu jika kamu berhasil menemukan dirinya. Hidup adalah perjudian, pengembaraan dimulai di menit pertama.

“Adam, aku akan melihatmu di mercusuar tengah,” ujarku, menolak ikut dalam pencarian nona muda kesayangannya. Kamu mengangguk kecil, melangkah ke barat laut, arah ke rumah Bintang.

Rumahnya ada di ujung bukit hijau dengan bunga pacar air mekar berwarna-warni. Di sebelahnya, sawah membentang hijau dan tumbuh subur berkat para petani yang rajin seperti ibu Bintang. Kamu mengetuk pintu rumahnya, tiga kali dalam sekali irama. Bintang tak kunjung muncul, semua tiba-tiba lenyap. Ibunya, ayahnya, ia, dan petani yang lainnya. Di bukit yang indah itu hanya tersisa kamu, yang tak tahu harus bertanya kepada siapa selain dirimu sendiri. Tak menyerah, kamu berteriak meminta maaf dan mengajak Bintang menari kembali seperti kemarin, tarian Tango yang tak pernah kamu kuasai dengan sepenuhnya, tarian Gambyong yang soleknya tak pernah sanggup diikuti tubuhmu, bahkan kau coba gerakkan agar ajakkan itu diterima.

Kamu sudah meminta maaf untuk keseribu kali, tetapi menolak untuk beranjak dari depan pintunya hingga kerongkonganmu penuh ejaan huruf pembangkit kata ‘maaf’ dan ‘ayo kembali’. “Coba di utara, mungkin ia ada di sana,” sapaku dalam keheninganmu di depan rumah Bintang. Butuh waktu lima jam untuk kamu setuju. Penyangkalanmu, adalah kamu tidak mengakui kehilangan dirinya yang masih berpendar seperti pelita di ujung jalan. Meskipun pada akhirnya, katu tetap berjalan menuju utara, ke sebuah pasar dimana Bintang biasa menjual hasil panen bersama keluarganya.

Baca Juga: Luka Lama

“Ya, selama ini aku merasa sendirian menghadapi semuanya. Kau tidak pernah ada di saat aku punya masalah. Kau sibuk dengan masalahmu sendiri.”

Sebuah pasar kecil di tepi pantai adalah kesukaan Bintang. Seperti di Gongjin, mayoritas penjual di sana adalah para nenek tua dan penjual ikan yang baru saja tiba dari tengah lautan. Cumi-cumi kering yang diolah secara mandiri oleh nenek Bintang adalah makanan kesukaanmu. Bintang biasa datang dengan troli besar hanya untuk membeli makanan asin itu untukmu. Kamu mendatangi kedai milik Bintang, tutup. Tertulis di depan jendelanya bahwa ia tak lagi berjualan di sana, selamanya. Dengan kakimu yang penuh lumpur jalanan pasar lepas hujan lebat, mereka mendarat di salah satu kedai kelontong berwarna merah terang dengan hiasan manusia kayu, kedai milik bibi Bintang.

“Bintang hilang sejak kamu bertengkar dengannya. Seharusnya kamu lebih perhatian,” kata bibinya setelah kamu menanyakan keberadaan Bintang.

“Bibi, aku sudah berjanji kepada Tuhan aku bakal memperbaiki tabiatku.”

“Janjimu ke Tuhan, bukan ke Bintang, pergi saja dia sudah angkat kaki dari pasar ini. Cumi-cumi kering tiba-tiba punah, pembuatnya mati setelah tahu Bintang tak mau kembali.”

Janji kepada Tuhan, kepada diri sendiri, kepadaku, kepada nenek Bintang, kepada Bintang, gagal mengembalikan nona muda. Aku penasaran penawaran apa lagi yang akan kamu berikan selanjutnya kepada pasar kecil yang penuh sesak aroma nenek-nenek ini. Kamu kembali menatap kedai miliknya, hampir sepuluh jam melakukan penawaran dalam hati sampai pasar berubah menjadi ladang lalat karena ikan yang mulai membusuk di tempat pembuangan.

“Mau coba ke timur laut?” tawarku, masih menggunakan pengeras suara milik mercusuar.

“Padahal aku sudah berjanji akan hidup normal setelah menemukan Bintang,” ocehmu sambil berlalu mengambil lajur kanan jembatan menuju timur laut. “Tawaran mahal yang seharusnya diterima Bintang.”

Di timur laut, pegunungan penuh sungai lava seperti menantimu dengan segera. Tak ada pijakan yang benar, semuanya berbatu empuk bekas lava yang mengeras. Magma di sini tak pernah mau berhenti menyambut dunia luar di planet merah, hak kepemilikannya pun akan berpindah ke planet sebelah bulan depan.

Kamu menemukan Bintang di sana, akhirnya. Tetapi kuyakin itu adalah bentuk ilusimu yang menginginkan Bintang ditemukan di sana. Ia penuh api dan berubah menjadi selir Hades. Tak kenal lagi akan kekasihmu yang lalu, kamu memaki Bintang yang lain dengan seenaknya. Merona merah padam, siapa yang menyangka itu adalah tawa dari para setan yang menginginkan adam dan hawa saling beradu dusta? Tak kulanjutkan pengamatanku, aku tak mau dibilang penguntit kemesraan orang, yah walaupun sebenarnya saat itu aku terus melihat kalian sampai drama murka itu usai.

Masih aku duduk di ujung paling atas mercusuar, aku melihatmu marah kepada dunia, kepada keadaan, kepada pemegang tanah, kepada kusir kuda, kepada petani muda, kepada wakil rakyat, kepada angin topan, kepada semut merah, kepada tungku padam, kepada Bintang, kepada … mungkin tuhanmu? Tentang semua hal yang belakangan membuat amarahmu memuncak dalam jiwa, menyeruak hingga kerongkongan, sebentar lagi muntah dengan ucapan serapah seperti kebun binatang. Kenapa kamu semarah ini? Padahal, kamu yang menciptakan suasana itu, skenario itu, jalan itu, dan mungkin takdir itu.

“Ini adalah Bintang yang lain, bukan Bintang yang kamu cari.” Aku berteriak kesal dengan pengeras suara yang bisa terdengar hingga kutub selatan. Ide menawarkan utara kepadamu adalah ide terburuk yang pernah kupikirkan. Kamu masih tak mau mendengarkan, sibuk beradu serapah.

Sedang telingamu terbakar, nona muda tertawa riang. Ia tak berhenti menatap telingamu yang terbakar habis, malahan tangan kanannya membawa kayu kering dari bukit di belakangnya. Rautnya tak lagi bisa kuceritakan, sangat jahat dan penuh dendam. Sebenarnya mereka ini sedang beradu sandiwara tentang gelak atau murka?

Pada akhirnya aku menyeretmu keluar dari gunung berbatu itu, menggunakan kail pancing milik mercusuar. Telingamu melepuh dan kakimu hancur melebur, terpaksa aku mendorongmu menuju bak air di sebelah mercusuar sampai telinga dan kakimu tumbuh kembali. Kamu terdiam, lava yang tertinggal di kepala ikut mengeras dan pecah dengan sendirinya.

“Bagaimana kalau barat daya?” tanyaku, setelah seharian kamu berendam di bak air milik sungai Yamuna. Kamu mengangguk, dengan lemas melanjutkan perjalanan ke arah barat daya, ke arah padang kekosongan.

Jalan setapak tak jauh berbeda dari pegunungan tadi, hanya saja batu besar telah berubah menjadi kerikil kecil dan ilalang tumbuh dimana-mana. Rumput kering menjadi teman perjalananmu, aku tak melihat semangatmu di sana, belenggu putus asa mulai dipasangkan oleh malaikat maut sebagai hukumanmu mencaci selir iblis bawah tanah. Kamu melihat sebuh gubuk kecil yang hampir roboh di tengah padang kekosongan, konon manusia hanya bertahan dua hari sampai ia mati karena kesepian di sini. Hanya ada satu serigala tua penunggu pohon beringin tanpa dedaunan di sebelah gubuk yang akan menemani putus asa manusia sampai mengajaknya menjadi tengkorak bersama.

Baca Juga: Tanpa Ada Yang Peduli

“Kenapa kalian hanya berdiri, menjadikan teman kami sebagai tontonan saja? Apa kalian tak ada niat sedikit pun untuk menolong kami?” Togar berteriak menanyai orang-orang di sekelilingnya, sesenggukan. 

Di belakang gubuk, sebukit tulang belulang manusia ditata apik selayaknya tempat ibadah. Kamu menepi di teras gubuk itu, menyenderkan kepala di tiang yang tak akan bertahan lima jam lagi. Serigala tua itu menghampirimu, seluruh dagingnya habis termakan belatung yang berlompatan di punggungnya.

“Bintang sudah mati, bersama tulang manusia yang lain,” katanya. Kamu tak lagi memikirkan Bintang. Ucapan serigala itu tak membuatmu bersedih. Bintang sudah pergi, dan tak sudi menari denganmu, menciptakan sebuah penyerap energi kehidupan yang berhasil menjadikanmu merasa bahwa kamu manusia paling tak berdaya di dunia.

“Mungkin seharusnya aku tak perlu mendapatkan hidup normal,” ujarmu, menimpali ucapan serigala tua itu. “Berkabung selama ini membuatku jadi manusia yang baru.”

“Apa?” tanyaku menggunakan pengeras suara, masih milik mercusuar. Kamu benar-benar mengubah diri menjadi Adam yang baru. Tubuhmu kembali meregenerasi sel menjadi manusia lain yang lebih jelas rupanya, rambutmu ikal meluruskan sendiri ia, rahangmu bergeser menjadi manusia mongol. “Bintang sudah hilang dari benakmu?”

Kamu mendongak ke arahku, “Sudah saatnya pergi dari masa depresi ini,” keluhmu. Kamu berdiri dan meraih kaki serigala tua yang masih kebingungan sebab gagal membuatmu memenggal kepalamu sendiri. “Aku pergi.”

Siapa yang menyangka masa depresimu hanya lima menit, setelah kejadian telinga itu terjadi. Kulihat kamu tak perlu suaraku untuk membimbing kaki kecil baru itu menuju kaki Bintang yang terakhir. Kamu dengan lapang hati menuju tenggara, kaki terakhir Bintang yang jarang dikunjungi manusia lain di seluruh dunia. Aku bisa jamin Brahms menemukan keikhlasannya menghadiri pernikahan Clara dan Schumann di sini.

Di ladang bunga yang lebat ini, aku melihat bayanganmu menghembuskan napas lega lepas penat mengejar yang tak seharusnya. Bunga matahari, mawar, anggrek, melati, ceplok piring, menyambutmu di gerbang masuk taman berbunga. Mereka menawarkan aroma yang menenangkan, kamu adalah juaranya mengalahkan duka. Tak lagi kulihat sorot mata hijau itu mencari keberadaan Bintang. Sepertinya kamu akan baik-baik saja tanpanya, aku tersenyum lega. Biaya sewa mercusuar tak akan sebanding dengan pertunjukan dramatismu yang berhasil melewati lima kaki Bintang, lima tahap kehilangan.

“Sudah ya, aku mau belajar memasak cumi-cumi kering,” kataku dengan pengeras suara untuk terakhir kali. Kamu menoleh senang, telah terencana sejak awal aku membayar tiket teater kehidupan ini, perjalananmu yang selanjutnya adalah mencari afeksi hawa yang lain.

Editor: Zahrah Salsabillah A.

Ilustrasi: Muhammad Rizaldy Pratama A. P

***

Pengumuman: Redaksi UAPM INOVASI menerima tulisan Opini, Esai, Sastra (Cerpen & Puisi) dan Resensi dengan ketentuan sebagaimana yang tercantum di www.uapminovasi.com/mari-berkontribusi. Kirim tulisan tersebut ke Email: redaksi.uapminovasi@gmail.com dengan disertai biodata ringkas kontributor.

(Visited 100 times, 1 visits today)

Last modified: 10 Agustus 2023

Close