Surat untuk semua yang membaca tulisan ini,
Untuk semua teman yang membaca tulisan ini. Aku coba berbagi pengalaman yang menurutku tidak layak aku alami dalam kehidupan kampusku. Aku cukup berfikir keras sebelum benar-benar bisa memantapkan diri menulis tulisan ini.
Kepada teman-teman. Barangkali dengan tulisan ini kalian bisa mengupayakan tindakan pencegahan dan tetap sadar akan harga diri kalian.
Aku hanyalah mahasiswa baru yang sadar akan berorganisasi. Keinginanku untuk mengikuti organisasi aku pupuk sudah sedari SMA. Beruntungnya, aku masih dibekali ilmu-ilmu agama sehingga aku bisa menolak hal yang menurutku tidak layak untuk dilakukan.
Kepada teman-teman. Aku tidak meminta kalian untuk bersimpati dan menga-mini apa yang aku tulis. Namun, aku harap kita bisa sama-sama tahu seberapa berharganya diri kita.
Keinginanku untuk mengikuti organisasi membawaku untuk memilih dan mendaftar sebagai salah satu bagian dari salah satu anggota OMEK. Tidak ada tujuan lain, aku hanya berpandangan bahwa dengan mengikuti ini aku bisa berkembang. Namun, ada satu kejadian yang menurutku tidak harus ada.
Baca Juga : Luka Ayu
“ibu-ibu. Anak gadis itu titipan Tuhan yang paling rentan. Hati-hati ya Pak, Bu. Punya anak perempuan itu berat. Kita harus menjaga mereka dari banyak hal. Menjaga tingkah laku, sikap, jangan biarkan mereka pulang malam, berjalan-jalan sendirian.. pokoknya hati-hati ya bu.” Kiai itu berkoar-koar dari atas kursi sofa. Mengingatkan bapak ibu agar menjaga putri mereka dengan sebaik-baiknya.
Malam itu, suasana kampus sudah cukup lenggang dan sunyi. Dinginnya malang menjadi teman yang baru aku kenali sebab aku tinggal di kota yang notabenenya malam pun bisa bikin kita berkeringat. Suasana kala itu pun cukup mendukung mood-ku untuk tetap berkegiatan didalam asrama. Hangat dan nyaman, dibanding suasana diluar tentunya.
Ternyata tidak seperti itu. Kenyamanan yang membawaku bersemangat itu tiba-tiba berubah 180 derajat. Semangat untuk mengikuti organisasi yang kala itu masih dalam masa-masa perkenalan berubah semudah membalik telapak tangan.
Malam itu, menjadi malam yang cukup mengerikan. Pertama kali dalam hidupku, berkenalan dengan seseorang bukan perasaan senang ketika berkenalan, sebaliknya perasaan takut memenuhi pikiranku. Apa memang kehidupan kampus semengerikan ini. Baru saja aku menjadi maba, aku sudah diajak untuk tidur dengan laki-laki. Meski hanya lewat pesan singkat perkenalan. Tapi ini cukup untuk membuatku mengubah pandangan tentang kehidupan kampus. Aku mengira, kehidupan kampus cukup menyenangkan, dengan banyak teman dan relasi yang aku dapatkan tapi dengan pesan singkat itu aku merasa aku harus segera menyelesaikan pendidikanku. Dan mengakhiri kehidupan kampusku secepatnya.
Aku masih belum bisa menceritakan secara detail kejadian yang aku alami. Meski hal ini terjadi 2 tahun silam. Buktinya aku baru bisa menulis surat ini, menceritakan pengalaman singkatku sekarang. Semoga dengan surat ini, teman-teman yang sedang menempuh pendidikan tinggi, mengalami peristiwa yang sama, dan terdampak dengan hal itu. Aku ada Bersama kalian, aku bersimpati dan telah melewati masa-masa tersebut. Mari mencegah dan menahan diri dari kehidupan bebas yang selama ini kita idamkan. Ternyata tidak seaman yang aku kira.
30 November 2021
Salam hangat,
Penulis
Surat ini seolah menampar wajahku. Aku tidak tahu mengapa air mataku mengalir, meski tanpa suara. Aku merasa diriku sudah cukup aman berada dalam ruang aman. Ruang aman yang berusaha diciptakan oleh kampusku. Ternyata, bahkan disekitarku pun masih banyak orang yang tidak merasakan hal yang sama seperti diriku. Aku luput. Luput atas apa yang mungkin baru aku sadari dari surat temuanku. Surat yang kurasa sangat mewakili banyak orang, namun luput dari pandanganku. Yang merasa wajar akan hal yang seharusnya tidak layak bagi lembaga yang sedang mengusahakan ruang aman.
Aku masih ingat beberapa bulan yang lalu. Tepatnya ketika aku masih berkutat dengan tugas akhir studiku. Hari itu, udara dingin masih menyelimuti pagi. Lebih dingin dari malamnya. Kulihat jalanan depan kampus masih cukup lenggang. Rasa-rasanya semangatku yang besar ini menuntunku untuk mengawali hari sedikit lebih pagi dari biasanya. Bagaimanapun di bulan-bulan menjelang kelulusan ini aku mengumpulkan semua tekadku untuk menuntaskan tugas akhir dari kuliahku. Saat itu, dan sampai sebelum aku membaca surat ini, aku tidak cukup tertarik dan terbawa suasana pada apa yang ada disekitarku. Hanya keinginan untuk segera menuntaskan kuliahku saja.
Baca Juga : Tanpa Ada yang Peduli
“Kenapa kalian hanya berdiri, menjadikan teman kami sebagai tontonan saja? Apa kalian tak ada niat sedikit pun untuk menolong kami?” Togar berteriak menanyai orang-orang di sekelilingnya, sesenggukan.
Gerbang megah kampusku mulai terlihat, aku melirihkan langkahku sembari menunggu gerbang yang baru dibuka oleh satpam. Lihatlah, bahkan kedua satpam itu masih mengenakan jaket sisa tadi malam saat sedang menjaga, batinku. Aku menyapa kedua satpam di gerbang sambil melenggang masuk ke dalam kampus. Entah apa yang aku pikirkan kala itu, tidak biasanya aku menyapa satpam kampus. Mungkin saja bayangan akan segera wisuda membuatku sesenang itu.
“Pagi pak, semangat menjalani hari,” sapaku dengan perasaan senang dan tenang. Aku tidak mengharapkan apa-apa. Hanya murni keinginan dan semangat pagi itu yang membuatku menyapa satpam untuk kali pertama. Sampai sebelum aku berfikir bahwa itu adalah pengalaman pertama dan terakhir aku melakukan hal tersebut.
“Pagi dek, iya semangat juga adek. Pagi banget datangnya, emang gak dingin?” ucap salah satu satpam, tak lupa diselingi senyuman dari wajahnya yang masih terlihat mengantuk dan agak lelet. Raut mukanya tak menampakkan tanda apapun, hanya sikap mencoba ramah. Mungkin karena saking dinginnya pagi itu.
“Ya dingin pak, makanya harus cepet-cepet ke kelas,” aku membalas pertanyaannya singkat dengan tergesa-gesa menuju kampus.
“Kalau dingin, ya sabar atuh dek, emang yang paling enak itu dipeluk pagi-pagi” jawabnya sambil mencolek satpam yang satu, kemudian ditimpali dengan kekehan keduanya.
Aku tetap berlalu meninggalkan gerbang kampus. Pikiranku saat itu hanyalah harus cepat-cepat sampai ruangan biar engga kedinginan. Aku tidak memikirkan apapun sampai saat ini. Sehari sebelum aku menuntaskan pendidikan tinggiku. Aku berfikir ulang. Apakah aku adalah orang yang pantas menempati posisi ini. Aku mungkin bisa saja berfikir bahwa apa yang dilakukan mereka adalah suatu hal yang wajar. Wajar dalam maksud yang lain. Namun, juga bisa berarti tidak wajar bila diartikan yang selain itu. Aku tidak sadar ternyata selama ini ada beberapa teman yang tidak bisa menerima hal-hal semacam itu. Dan memang hal itu tidak sepenuhnya bisa diwajarkan secara utuh.
Aku mengingat ulang kejadian yang pernah aku alami. Setelah membaca surat ini aku benar-benar merasa luput. Apa yang membuat mereka tertawa, hingga bagaimana bisa mereka menimpali hal sederhana dengan sesuatu yang mengundang banyak pertanyaan. Apakah menyapa seseorang adalah suatu yang salah. Bagaimana aku bisa berkata tidak, jika aku ikut mengiyakan, bukankah aku semakin membuka jalan buat mereka untuk terus melakukan hal yang membuat beberapa teman merasa tidak aman.
Aku masih tidak berhenti menangis. Besok aku sudah wisuda, tetapi masih banyak teman-teman yang sedang berjuang menghapus ingatannya. Barangkali satu diantara banyak orang tersebut sedang merasakan perasaan yang sama seperti apa yang ditulis dari surat yang aku baca ini.
Aku menutup surat itu, Kurapikan dan kusisihkan dulu persiapanku sebelum wisuda. Aku coba keluar dan berfikir, apa yang bisa aku lakukan untuk meneruskan tulisan ini. Aku berfikir bagaimana caranya agar surat ini masih bisa tetap dibaca dan diteruskan bahkan hingga teman-temanku sudah tidak lagi menghirup udara dingin kota ini. Aku harus bisa menyampaikan bahwa masih banyak orang yang merasa belum bisa mendapatkan ruang aman dari banyak hal yang selama ini aku anggap sebagai hal yang wajar.
Editor : Zahrah Salsabillah
Last modified: 27 Oktober 2023