“Makin dirugikan! Undang-undang Cipta kerja itu adalah regulasi yang memastikan pemiskinan dan pelemahan bagi buruh,” ucap Andy irfan, Ketua Komite Pusat Serikat Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI) di Balaikota Malang, pada Rabu (01/05/2024), saat melakukan aksi pada Hari Buruh Internasional, atau yang lebih dikenal dengan May Day.
Ia juga menambahkan bahwa UU Cipta Kerja lebih banyak digunakan untuk memastikan investasi secara masif di semua sektor, baik sektor manufaktur sampai sektor pertambangan. Pada sektor manufaktur, melalui Cipta Kerja pengusaha diberi kesempatan untuk mempermudah Pengakhiran Hubungan Kerja (PHK) dengan pesangon yang rendah, kontrak kerja yang longgar, dan juga upah yang rendah pula. Kemudian di sektor pertambangan, pengusaha diberi keleluasan dalam mendapatkan Surat Izin Usaha Pertambangan (SIUP) tambangnya.
“Kalau kita datang ke Sulawesi, bagaimana eksplorasi nikel itu menghancurkan pulau ini. Di Papua, eksplorasi emas menghancurkan pulau ini. Di Kalimantan batubara menghancurkan pulau ini. Di Sumatera, banyak hutan ditebang juga dengan payung hukum Cipta Kerja. Di Jawa sebagai pusat manufaktur, buruh dibayar murah dengan Cipta Kerja,” ucap Andy.
Satria Naufal, salah satu massa dari elemen mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Suara Rakyat (Asuro) yang menuntut dicabutnya UU Cipta Kerja, juga menyatakan bahwa masyarakat jangan sampai lupa apa yang terjadi ketika penetapan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Kita juga perlu ingat sekali lagi bahwa proses daripada pembentukan Perppu Cipta Kerja pun bermasalah, tergesa-gesa, dan tidak transparan,” ungkapnya.
Baca Juga: Buruh Tidak Ikut Tetapkan UMK
Dilansir dari LBH Jakarta (14/11/2015), “Dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi-JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam kenaikian upah minimum. Ini bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan”
Proses Penetapan UU Cipta Kerja
UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Sepuluh ruang lingkup UU ini, meliputi peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi; investasi Pemerintah Pusat dan percepatan Proyek Strategis Nasional; pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.
Kemudian UU No. 11 tahun 2020 ini dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Namun, Presiden Jokowi tetap mengupayakan Cipta Kerja, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang memiliki ruang lingkup berisi peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan; kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi; investasi Pemerintah Pusat dan percepatan Proyek Strategis Nasional; pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan pengenaan sanksi.
PERPPU ini kemudian disahkan menjadi UU No. 6 Tahun 2023, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Setelah MK membatalkan pengajuan pengujian formil yang diajukan oleh Konferensi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) terhadap Perppu tersebut .
“Ketika itu dibatalkan MK, dibuatkan Perppu, disahkan kembali” tambah Andy ketika ditanya perihal keterkaitan penindasan terhadap buruh yang meminta haknya terpenuhi dengan UU Ciptaker.
“Kayak begitulah sekarang, lawan kita kan kriminalan, penjara, dan kemiskinan ini. Negara menggunakan tangan besinya melalui Undang-undang,” Ucapnya.
Warisan Pemerintahan Jokowi
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar yang turut hadir sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan terhadap uji formil terhadap UUD Republik Indonesia Tahun 1945 pada Rabu, 26 Juli 2023, menyampaikan Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) harus memenuhi unsur kegentingan memaksa.
Sementara UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja), menurutnya, tidak memenuhi hal unsur mendesak dan darurat, maka Penetapan UU tersebut merupakan produk hukum yang melanggar nilai konstitusi.
“Saya kira perdebatan kita, Perppu yang dikeluarkan oleh pemerintah ini, kita tidak mendapatkan logika hal ihwal kegentingan memaksanya. Kita tidak tahu sebenarnya, sampai saat ini, tidak terbayang sedikitpun, apa sebenarnya kegentingan yang memaksa, yang membuat presiden harus mengeluarkan Perppu,” ungkapnya.
Sedangkan, Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, dalam sidang yang sama, menyatakan bahwa pada proses pembentukan UU Cipta Kerja ini telah terjadi autocratic legalism atau ‘pelegitimasian kekuasaan’. Ia menambahkan dengan pengesahan (UU No. 6 Tahun 2023) tersebut, kekuasaan pemerintah terlihat didesain agar tidak bisa dikontrol, dengan mengabaikan atau bahkan mematikan fungsi kontrol lembaga lainnya, yaitu kekuasaan yudikatif.
Fenomena ‘autocratic legalism’ ini, menurutnya, perlu dikaji sebagai persoalan mendasar. Hal itu dikarenakan kekuasaan tanpa kontrol yang telah dijalankan pemerintahan Jokowi, dijalankan secara legal karena menggunakan cara pandang legalisme.
“Dalam hal suatu lembaga atau masyarakat tidak menjalankan putusan mahkamah konstitusi, hal demikian merupakan bentuk nyata dari pembangkangan terhadap konstitusi,” ungkapnya merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-XVI/2018.
Ia menilai hal demikian sebagai suatu bentuk pembangkangan konstitusi yang dilakukan Pemerintah dan DPR. Namun, Mahkamah Konstitusi saat itu, tetap mengesahkan UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023..
Ais Rohani, salah satu buruh yang mengikuti aksi, turut menyatakan keprihatinannya terhadap UU Cipta Kerja yang diwariskan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi yang masih berlaku. Ia Merasa prihatin sebab belum dihapuskannya UU Cipta Kerja yang menyebabkan buruh tertindas melalui bentuk penindasan seperti Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang belum sesuai dengan kebutuhan, bahkan upah yang belum sesuai dengan UMK yang sudah ditetapkan. Ia juga menyayangkan hal itu juga diperparah dengan PHK merata yang telah dilakukan.
“Ya, bagi masyarakat juga bagi buruh-buruh, itu (UU Cipta Kerja) warisan yang paling menyedihkan bagi buruh-buruh Indonesia. Dan, untuk kawan-kawan dari buruh juga menginginkan UU Cipta kerja/Omnibus Law itu dihapus, semua yang merasa isinya itu menindas,” tambah Ais.
Penyunting: Shafly Arafat Ali Yaafi
Buruh ciptaker malang penolakan
Last modified: 05 Mei 2024
Tired of your emails ending up in spam? I specialize in setting up email servers for
businesses, ensuring your messages hit the inbox every time! ✉️
Get expert configuration, personalized service, and say goodbye to email delivery issues.
Contact me now via the page below to get a qoute !
https://codwind.com/service/we-will-set-up-your-own-private-email-server/2