Bayangkan, setiap memasuki bulan September, khusus di Indonesia ruang dan waktu terhenti. Setiap orang berhak memilih ingin hidup di masa apa, melihat kondisi kehidupan di masa apa, bahkan sampai latar kehidupannya. Anggap saja, kita diberi kesempatan untuk hidup dalam dunia Ant Man dan dunia kuantumnya, atau The Guardian Of Galaxy dengan pesawat antar galaksinya. Satu hal yang kita dapatkan, saat semua itu terjadi, realitas akan terlihat acak. Tidak ada fenomena yang secara rijid terlihat objektif. Namun September, jika itu terjadi, maka di Indonesia, seacak apapun realitas, ia tak akan terpisah dari DARAH.
Pilih satu era saja, misal tahun 80an, siapa kira Anda tak akan luput melihat bagaimana para preman tewas tanpa kabar di tangan Petrus. Lain era, misal pada tahun 90an. Siapa kira Anda tak akan luput bagaimana bengisnya masyarakat memperkosa perempuan Tionghoa, menjarah hak asasinya, bahkan memisahkan mereka dari keluarganya. Meski manusia enggan menatap fakta dengan tekad dan mengakui bahwa inilah sejarah kita, tetapi tetaplah bayangkan, seandainya semua potongan realias itu menyatu.
Saya akan memilih. Saya akan hidup di masa peralihan antara Orde Lama dan Orde Baru. Spesifiknya tragedi genosida tahun 1965. Sambil mengingat, setiap September akhir, dengan bangganya para Lembaga Eksekutif UIN Malang membuat pamflet perayaan Hari Kesaktian Pancasila. Maka saat masuk ke dunia itu, alangkah berdosanya saya. Di bawah naungan lembaga-lembaga tersebut sebagai representasi kampus dan saya adalah sipil, mereka, misal pada tautan unggahan 30 september – 1 Otober, keduanya mengunggah narasi seolah mengajak untuk “mari mengingat peristiwa kelam G30S/PKI” tanpa sedikitpun penjelasan apa yang harus diingat?
Saya yakin, sebagian besar Mahasiswa UIN Malang, saat melihat pamflet tersebut memorinya langsung menuju film, “Penumpasan Pengkhiantan G30S/PKI” Garapan sutradara Arifin C. Noer. Isi filmnya tak jauh-jauh dari, PKI pengkhianat, PKI wajib dibunuh, Jendral yang dibunuh oleh PKI secara sadis, Gerwani yang hobi menari telanjang, dan segala macam stigma buruk lainnya. Stigma buruk itu terus hidup di kalangan mahasiswa dan sayangnya terlihat tidak ada keinginan untuk melihat kembali realitas-realitas yang sebenarnya terjadi. Mengapa hal seperti itu terjadi? Dasar asumsinya adalah, di kampus ini, tak ada jurusan sejarah dan atau pakar sejarah Indonesia Modern. Akhirnya melihat 30 September 65 secara parsial, atau hanya melalui film itu, dan tidak sedikitpun membaca referensi sejarah lain, yang terlintas adalah PKI vs Pahlawan Indonesia.
Belum lama ini, saya berkunjung ke salah satu pegiat sejarah 65. Farida Masrurin, perempuan yang aktif berkegiatan di Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LAKPESDAM) Nahdalatul Ulama Blitar. Terhitung 10 tahun lebih lamanya ia mendampingi para penyintas 65. Farida menemani mereka dalam memulihkan ingatan, mental, serta semangat hidup. Salah satu penyintas yang ia dampingi adalah Jamilah. Saat kejadian berlangsung, Jamilah adalah korban yang ditelanjangi, disiksa dan lalu dipenjara tanpa data yang jelas.
Menurut penuturan Farida, Jamilah dahulu hanyalah pegiat masyarakat perempuan, bila ditilik, saat ini seperti ibu-ibu PKK desa. Ia tak mengerti sama sekali ihwal politik parlementer. Jamilah hanya aktif demi bersosial di masyarakatnya saja, tidak ada tujuan politik sedikit pun. Namun karena rasa sosialnya di tahun itu, tubuh dan jiwa Jamilah terluka. Sempat suatu waktu, saat Farida, Jamilah dan penyintas 65 lain sedang berkumpul, ada dua polisi yang datang ke tempat mereka. Seketika, Jamilah memegang dasternya, lalu ia lipat menutupi kemaluannya, dan wajahnya pucat pasi. Menurut Farida, respon traumatik Jamilah akan hadir saat melihat apparatus berseragam dan satu lagi, manusia dengan udeng-udeng.
Kisah Jamilah hanya satu dari ratusan juta korban genosida 65. Namun menjelang September ke-37 pasca kejadian, lagi-lagi para Lembaga eksekutif UIN Malang sebagai representasi mahasiswa belum kunjung memperbaiki narasi ini. Setiap September, selalu saja narasi kepahlawanan Angkatan Darat, nasionalisme sebagai dalih keutuhan dengan pembunuhan, generasi bangsa dan jargon konyol lainnya selalu hadir di muka pamflet. Persoalan 65 bukanlah persoalan siapa salah, siapa benar, tetapi seberapa mau kita belajar terhadap peristiwa tersebut, meminimalisir keangkuhan dan mengakui bahwa kita bagian dari dosa sejarah, setidaknya kesimpulan itu saya tangkap dari Farida.
Sambil masih membayangkan, jika ruang dan waktu terhenti. Jika kesempatan itu ada, maka kau tahu apa yang saya bayangkan? Banyak mayat tak bersalah dibunuh dan berteriak pada kita yang masih tak mau mengerti rasa sakit yang dialami mereka. Sementara kita hidup di atas dosa sejarah, juga kita hidup dengan kebodohan yang memaksakan keyakinan bahwa mereka layak dibunuh atas dasar nilai kepatriotismean.
Demikian cara kita, khususnya para Lembaga eksekutif melanggengkan narasi sejarah a la orde baru itu, tanpa berdialog soal masa silam. Terlalu arogan menjadi Mahasiswa. Dan kembali terpikir, apa yang akan ditanggapi oleh mayat-mayat itu saat melihat kita? 1 Oktober nanti, percayalah, kita masih merayakan kesaktian Pancasila, tanpa sempat berpikir apanya yang sakti? []
indonesi opini sejarah tahun 65
Last modified: 26 September 2022