Written by Ajmal Fajar Sidiq 14:00 Berita, Feature News

Sekolah Alam Ramadhani: Di Kota Kediri Kemerdekaan Belum Mati

Sekolah Alam Ramadhani: Di Kota Kediri Kemerdekaan Belum Mati

Aku mau bebas dari segala

Merdeka

Juga dari Ida

Pernah

Aku percaya pada sumpah dan cinta

Menjadi sumsum dan darah

Seharian kukunyah-kumamah

Sedang meradang

Segala kurenggut

Ikut bayang

Tapi kini

Hidupku terlalu tenang

Selama tidak antara badai

Kalah menang

Ah! Jiwa yang menggapai-gapai

Mengapa kalau beranjak dari sini

Kucoba dalam mati.

(Merdeka- Chairil Anwar, 1942)

Lewat jalan sepanjang Pabrik Gudang Garam Unit 1 Kota Kediri, Sore, Jalan Semampir, Buruh pabrik tembakau hilir mudik bergantian pulang menuju rumah. Menurut catatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJCB), dalam satu tahun penuh, Masyarakat Indonesia menghabiskan tahun 2020 sebanyak 356 Milliar per batang. Dengan kata lain, total populasi perokok masyarakat Indonesia dapat menghabiskan 1-2 bungkus rokok per hari. Jelas tak mengherankan, jika pabrik tembakau terbesar di Indonesia ini dapat menyerap surplus pekerja lokal yang banyak. Sebagian besar masyarakat Kota Kediri menggantungkan hidup mereka di sini, di PT Gudang Garam Tbk. Unit 1, Gudang dengan pemilik saham Suryaduta Investama.

Baca juga : Prof. Dr. Azyumardi Azra tak Setuju Agama Di-UN-kan

Pabrik sebagai alat sistem kapital membutuhkan penghisapan nilai lebih atas tenaga kerja. Sifat dasar akumulatif sistem ini, akan terus menerus menghisap komoditas di sekitarnya. Demikian dengan buruh sebagai komoditas. Saat kondisi ini berlangsung, keniscayaan perubahan transformasi sosial akan hadir. Masyarakat Kota Kediri, semula mungkin banyak yang bertani sebagai sarana subsistem kehidupan mereka. Namun saat ini, menurut catatan sensus penduduk Jatim, jumlah total populasi di Kediri hanya mencapai tujuh ribu orang. Dari total populasi dua ratus ribu penduduk Kota Kediri, maka hanya 4% populasi yang memutuskan untuk memilih profesi sebagai petani.

Itulah bayangan saya saat melintas jalan Semampir. Apa yang lebih menyiksa selain hidup kehilangan kesempatan berimajinasi. Seandainya saya lahir di kota itu, barangkali saya lahir, tumbuh besar, berkumpul bersama teman, lulus SMA lekas berpikir saya harus bekerja menjadi buruh demi jaminan hari depan. Membayangkan menjadi petani, jauh lebih buruk. Limbah pabrik dan tingginya harga pupuk hadir sebagai ancaman. Kendati saya tahu, jika sepanjang jalan Semampir, Brantas mengalir deras di bawah jembatan. Sungai ini sumber kehidupan manusia lintas abad. Pembuktian sejarah Pertanian Kediri di Masa Majapahit misalnya menjelaskan apa yang kurang dari lahan pertanian dengan mata air melimpah berasal dari Brantas. Hingga titik terakhir, saya sedih, Industri dalam mode Kapitalisme dan Sentralisasi telah merampas banyak imajinasi massa tentang dunia kerja. Kerja yang hanya berputar dalam logika “untung” dan “rugi”.

Baca juga : Sebuah Refleksi; Bagaimana Para Lembaga Eksekutif Mahasiswa UIN Malang Melanggengkan Narasi Sejarah a la Orde Baru

Di seberang Jembatan, masuk jalan Supit Urang, Mojoreto, Kediri, saya bertemu Ulya. Halaman rumahnya adalah taman. Gubug dan baliho, ayunan, perusutan, hingga kafe kecil berlatar belakang lukisan anak kecil seperti doodle. Ulya orang Kediri jenis lain. Ia bukan buruh, meskipun ia guru. Ulya adalah Guru sekaligus manusia merdeka. Di tempat itu Ulya mendirikan Sekolah Alam Ramadhani. Sekolah yang berusaha memerdekan murid dan mencoba mengenalkan luasnya kehidupan pada mereka dengan eksperimen semampunya.

Kisah Ulya, Ramadhani dan Anak-Murid yang merdeka.

Ulya sebagai Guru sekaligus Manusia adalah unik. Pernah suatu waktu, saat ia mengajar anak muridnya tentang tema “mengenal tetumbuhan” Ulya mengenalkan daun dalam bentuk kertas bergambar tanpa warna. Masing-masing murid diberikan tantangan – Bahasa Ramadhani untuk menyebut pekerjaan sekolah – untuk mewarnai daun dalam kertas gambar. Salah seorang murid mewarnai daunnya dengan warna ungu. Ulya lekas bertanya. “loh kok iso mas, daun warnanya ungu?Kan daun itu Hijau biasanya”, murid itu menjawab ,”Loh, Ustadzah iku gak ngerti, sesok tak gawakne nang Omah”, kata si Murid. Keesokan harinya, benar si Murid membawakan Ulya daun berwarna ungu. Ternyata maksud si anak itu adalah Daun Andong yang berwarna ungu.

Lain kasus, Ulya pernah mengajar seorang anak Down Syndrome – Ulya tak menyebutkan Namanya – yang mengalami Speech Delay. Kondisi dimana seorang anak terlambat melafalkan isi pikirannya ke dalam ujaran. Anak ini, berasal dari orang tua yang memiliki kesibukan lebih, sehingga si anak tidak mendapat tempat untuk belajar berekspresi. Dalam sekolah formal, biasanya anak dengan kondisi seperti ini dimasukkan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB) dan atau mendapat perlakuan khusus dari sekolah formal yang memiliki fasilitas terapis, perhitungan ini belum termasuk tradisi bullying di sekolah. Bagi Ulya, anak ini tetap harus masuk ke dalam lingkungan orang normal, namun dengan perhatian lebih. Caranya adalah memberikan pemahaman terhadap semua orang yang ada di lingkungan sekolah untuk turut serta membantu anak agar dapat berkespresi perlahan dan pelan-pelan.

Baca juga : Tolak Pengesehan KHUP, Aliansi Mahasiswa Malang Raya Bergerak Lakukan Demostrasi

Mula-mula si anak diajar mengeja kosa kata. Caranya adalah dengan memberikan objek ajar. Misalnya adalah sapu. Saat si murid ingin membersihkan halaman sekolah dan meminta tolong agar diambilkan sapu, Ulya menuntun si murid agar mengingat dan melafalkan nama benda tersebut, “ayo, sapu, ini apa?” “sapu” Kata si Murid dengan ekspresi gagap dari Ulya yang menggambarkan ketidaklancaran murid. Kendati melafalkan dengan gagap, Ulya tetap meyakini itu bagian dari proses si anak dapat berkespresi dengan baik dengan sesama manusia. Bahkan penjaga kafe sekolah turut menuntun. Saat si murid ingin membeli makanan, penjaga Kafe menuturkan nama-nama makanan layaknya Ulya mengajarkan kosa kata. Dengan kata lain, penjaga Kafe adalah sekaligus seorang guru. “Ya, jadi terapisnya kita semua,” kata Ulya, sambil berkata sama-sama saling belajar dan menyembuhkan.

Rentetan pengalaman Ulya membuat sekolah ini dikenal. Bahkan pasca kejadian murid yang Down Syndrome permintaan murid agar bisa bersekolah di tempat itu semakin meningkat. Namun Ulya membatasi. Baginya, sekolah dan menjadi guru bukan hanya sekedar mentransfer kognisi pengetahuan, lebih dari itu, guru adalah teman. “Inilah yang dimasuk Ramadhani, bukan lahir dari bulan Ramadhan, namun Ra dan Madhani” Maksudnya adalah tidak menyeragamkan murid dalam Bahasa Jawa. Penyeragaman seringkali terjadi pada pola asuh. Bahkan tidak jarang anak yang dipaksa untuk mematuhi bayangan orang tua tentang anak yang ideal. Kasus murid Down Syndrome, banyak Ulya temui karena pola asuh yang tak baik. Padahal Pendidikan awal berada di keluarga. Misalnya, tidak jarang untuk membuat anaknya diam dari tangis, Orang Tua harus membentak anak. Bagi Ulya, ini memiliki pengaruh besar terhadap cara anak berekspresi.

Segala kendala yang dialami oleh sekolah ini, guru, murid dan peran lainnya bersama-sama mencari kebahagiaan dalam pembelajaran. Bahasa lain Ulya adalah memerdekakan diri sendiri. Bahkan Ramadhani dalam proses pembentukan karakter murid melibatkan orang tua. Salah satu program sekolah ini, misalanya adalah Anjangsana, kondisi pembelajaran murid belajar pada salah satu wali anggota murid sesuai dengan spesifikasi bidang yang dimiliki orang tuanya. Pelibatan komunikasi sinergi antara guru, murid dan orang tua bahkan sampai kepada proses filtering murid. Biasanya anak yang ingin mendaftar lebih dulu diwawancarai orang tuanya dengan model wawancara yang telah dibentuk, sampai di mana orang tua telah mendidik anaknya, dan sekolah harus memulai dari mana mendidik si anak.

Meskipun Ramadhani telah melahirkan alumni yang dapat mengenal dirinya sendiri, sekolah ini, sebagaimana sekolah tidak dengan acuan kurikulum negara mengalami kesulitan dalam hal perolehan ijazah bagi murid. Adapun cara Ulya mengatasi ini adalah ikut serta ujian di sekolah lain, dengan catatan si murid telah dibekali kurikulum formal Negara guna kepentingan ujian. Ulya memutuskan tidak mengambil Ijazah paket. Menurutnya, Ijazah paket saat ini sudah tidak layak pakai. “Motto kami, yang penting semuanya bisa dilakukan dengan bahagia,” ujar Ulya.

Inilah Ulya, demi mencari kepuasan batin dalam kerja ia pulang kampung. Segala sertifikasi dan tunjangan guru yang sudah diurus saat ia mengajar di Ngawi ditinggal sepenuhnya. Hak sebagai guru ia kesampingkan. Bermula dari 5 anak desa sekitar, hingga kini telah memiliki 3 kelas penuh. TK A, TK B dan SD. Tak ada kata murid bodoh bagi Ulya. Hanya ada metode yang kurang tepat, dan guru perlu mencarinya, “Seragam itu indah, tetapi lebih indah dan berwarna beragam” Kata Ulya. Di Kota Kediri, sepulang dari Ramadhani, saya hanya berpikir dan mengingat Ulya, “Imajinasi dan kemerdekaan mulai dari hati kita sendiri, kita harus merdeka sebagai individu,” tegas saya dalam hati sambil membayangkan bertutur di hadapan Ulya. Masa depan Kediri tak hanya buruh pabrik. Mereka yang lahir dari Ramadhani adalah benih pelangi di masa depan kota ini. []

Editor: Wildan Firdausi

Foto: Muhammad Rasyid

(Visited 548 times, 1 visits today)

Last modified: 03 Januari 2023

Close