Written by Moh. Wildan Firdausi Romadhani _&_ Rakhan Wardhanni 11:32 Berita, Berita Malang

Setahun Tragedi Kanjuruhan : Bentuk Kegagalan Negara Mensipilkan Polisi

Setahun Tragedi Kanjuruhan merefleksikan bahwa Negara gagal mensipilkan instansi kepolisian dalam kerja-kerja pemerintahan. Hal itu diungkapkan oleh Hatib Abdul Qadir, Dosen Antropologi di Universitas Brawijaya (UB) pada diskusi yang digelar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UB, Jumat malam (29/09).

Hatib menjelaskan, hakikat cita-cita reformasi di Indonesia seharusnya mengarahkan polisi untuk lebih berfokus pada pelayanan kepada masyarakat sipil, bukan beroperasi dalam ranah militer. Dia mengacu pada hakikat cita-cita reformasi yang muncul setelah lengsernya Orde Baru pada tahun 1998.

“[Cita-cita reformasi adalah] Polisi harusnya [fokus pada] urusan-urusan sipil. Bukan urusan-urusan membunuh warga sipil. Jadi salah satu cita-cita reformasi kita gagal mensipilkan polisi,” ungkapnya.

Ia juga berkali-kali menekankan bahwa tragedi Kanjuruhan adalah bentuk kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah melalui aparatnya sendiri. “Jadi, kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah kepada warganya itu makin tahun kalau kita perhatikan, semakin dekat di pelupuk mata kita. Bukan lagi di Papua sana, ini terjadi di Kanjuruhan,” tambahnya. Ia juga menjelaskan bahwa penggunaan gas air mata, yang menjadi perhatian utama dalam tragedi Kanjuruhan tahun lalu, masih terus digunakan dalam beberapa konflik lain, seperti di Dego Elos dan Rempang.

Barangkali belum dilupakan, dilansir dari Kompas.com (02/11/2022), Komnas HAM mengungkap bahwa polisi menggunakan gas air mata sebanyak 45 pada Tragedi Kanjuruhan. Dari 45 tembakan, 27 tercatat dalam video dan 18 melalui suara. Gas air mata yang digunakan juga sudah kadaluwarsa. Penyelidikan Komnas HAM menunjukkan polisi melepaskan gas tanpa koordinasi dengan Kapolres Malang.

Begitu pula, hasil temuan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIP) Kanjuruhan menjelaskan bahwa gas air mata ditembakkan oleh Sat Brimob dan Dalmas Polres tersebut dilakukan secara tidak terukur dan berlebihan ke arah tribun penonton. “Ini menimbulkan saling berdesakan yang banyak menimbulkan korban meninggal dunia dan luka-luka,” bunyi temuan dokumen TGIPF Kanjuruhan halaman 111.

Baca Juga: Mengenang Tragedi Kanjuruhan: Doa Keluarga Korban untuk Keadilan dan Memprotes Renovasi Stadion

“Kami merasa kecewa karena pemerintah sepertinya berusaha menghilangkan barang bukti di tempat kejadian,” ujarnya.
Sunari menganggap bahwa pemerintah saat ini justru lebih memprioritaskan renovasi stadion daripada mencari keadilan bagi keluarga korban. ”Sudah [mencoba dialog], tapi agak kurang jelas. Saat diundang untuk reuni dan berdoa bersama, tiba-tiba kami tahu bahwa stadion ini sudah direnovasi, jadi jika dikatakan kami merasa kecewa, memang benar.” jelas Sunari sembari menambahkan bahwa informasi tentang renovasi stadion datang begitu tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Penggunaan gas air mata oleh aparat kepolisian, yang menurut Hatib adalah bentuk kekerasan negara, juga juga menimbulkan perdebatan hukum dalam Tragedi Kanjuruhan. Daniel Alexander Siagian dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, menggarisbawahi bahwa gas air mata sebenarnya merupakan senjata kimia yang diatur oleh undang-undang. Undang-undang No. 9 tahun 2008 melarang penggunaan senjata kimia dan senjata kimia ini juga mencakup gas air mata.

“Yang perlu di pahami gas air mata merupakan senjata kimia atau pun kinetic energy weapon yang sebenarnya di larang penggunaannya sebagaimana diatur dalam undang-undang no 9 tahun 2008 tentang pelarangan baham kima dan senjata kimia,” terang Daniel, usai aksi peringatan Setahun Tragedi Kanjuruhan oleh Arek-Arek Malang, Minggu (01/10).

Demikian pula, pandangan lain dalam peraturan FIFA, Polri dianggap melanggar aturan dengan menembakkan gas air mata ke arah tribun penonton stadion Kanjuruhan. Pasal 19 poin b dalam Regulasi Keamanan dan Keamanan Stadion FIFA melarang penggunaan gas air mata dan senjata api untuk mengamankan kerumunan massa dalam stadion.

Ahmad Balya (21), salah satu penonton yang turut hadir pada Tragedi Kanjuruhan lalu, menyayangkan adanya aparat kepolisian yang seringkali masih terlibat dalam pengamanan di dalam stadion. “Soale ket awal aku nribun i koyok hal biasa yo aparat masuk stadion. Soalnya dari awal nribun sudah menjadi hal biasa aparat [kepolisian] masuk stadion,” jelas suporter asal Blitar tersebut. Ia menilai, seharusnya aparat kepolisian dalam pengamanan pertandingan sepak bola tidak dilibatkan. Namun, hal tersebut seakan-akan sudah diangggap hal yang lumrah terjadi pada pertandingan-pertandingan di Stadion Kanjuruhan yang ia hadiri.  “Kudune kan mek gawe steward. Seharusnya kan pakai Steward [untuk pengamanan di dalam stadion],” imbuhnya.

Devi Athok, salah satu anggota keluarga korban, mengemukakan tuntutannya terhadap pelaku pengguna gas air mata. Menurutnya, pelaku harus dipecat dari anggota kepolisian dan dikenakan pasal 338 dan 340 tentang pembunuhan berencana. Dengan tuntutan ini, keluarga korban dapat merasakan kelegaan tersendiri bagi keluarga korban dan memastikan bahwa hukuman yang diberikan sesuai dengan hukum di Indonesia.

“Secara umum tuntutannya pelaku gas air mata itu di hukum seberapanya dia dipecat dari anggota kepolisian dan diterapkan pasal 338 dan 340 tentang pembunuhan berencana karena dengan hal itu lah keluarga korban bisa lega dan menerima hal hukuman yang ada di Indonesia ini,” jelasnya. []

Reporter: Rakhan Wardhanni & Wildan Firdausi

Editor: Wildan Firdausi

(Visited 233 times, 1 visits today)

Last modified: 02 Oktober 2023

Close