Selasa pagi (31/8) di hadapan layar virtual Peserta Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2021 itu, Presiden Mahasiswa UIN Maliki Malang tampaknya sangat antusias menyampaikan pidato sambutan yang diawali dengan kalimat SELAMAT DATANG bergema. Saat itu saya mencoba luangkan waktu –di sela-sela kesibukan domestik saya di rumah– demi mendengarkan sambutan Presma dan Rektor Baru UIN Maliki Malang. Mungkin ini adalah debut pertama mereka unjuk diri di hadapan Mahasiswa sebagai Tokoh, maka tak heran bila gema itu penuh getaran yang tak tertahan.
Tak ada yang istimewa dari sambutan mereka, khususnya Presma. Layaknya Mario Teguh, ia menyampaikan motivasinya. Di depan layar kaca itu, ia bertutur tentang kiat-kiat sukses menjadi mahasiswa sejati (Versi Presma), seolah mahasiswa sejati benar-benar ada. Baginya, lawan dari Mahasiswa sejati adalah mahasiswa kupu-kupu. Konon, bila menuruti apa yang ia anjurkan (menjadi mahasiswa sejati), seorang akan lebih banyak waktu untuk mengasah hardskill dan softskill. Nantinya kedua hal itu, menurutnya akan mengantarkan kita memahami “bagaimana caranya kita agar saling menghargai dan bagaimana caranya kita saling mendukung kepentingan rakyat Indonesia!”.
Selain tak istimewanya sambutan itu – ia juga Paradoks! Mari kita lacak kalimat terakhir untuk menemukan sisi kekacauan pikirannya yang paradoks.
Selama ini memang terdapat stigma tertentu yang terkesan “melabelkan” keaktifan mahasiswa dalam kegiatan akademik mereka. Sebut saja, mahasiswa kura-kura (kuliah rapat-kuliah rapat) yang selalu dielu-elukan para elit kampus agar mereka aktif berkecimpung di dalam kegiatan kampus dan sering menyajikan tawaran yang sangat fantastis di hari kelak pasca kuliah; berguna bagi bangsa dan negara. Bagi Presma inilah yang disebut mahasiswa sejati, barangkali.
Selain itu, ada pula sebutan mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) yang dikonotasikan pada mahasiswa malas dan enggan berkecimpung dalam kegiatan kampus kecuali hanya di kelas perkuliahan. Singkatnya, mahasiswa yang terakhir ini nyaris di kambing-hitamkan atas jebol-nya prestasi akademis mahasiswa itu sendiri lantaran mereka hanya berleha-leha dalam hidupnya sebagai mahasiswa.
Tidak Pemimpin, Tidak Pemerintah, bahkan juga mahasiswanya ikut-ikutan menyemarakkan stigma labelling ini. Heuheu
Jadi, apakah memang stigma menjadi mahasiswa “kupu-kupu” sedemikian buruk hingga tidak mencerminkan dan tidak dapat memobilisasi kepentingan rakyat INDONESIA? Tidak ayal jika mahasiswa yang tidak berkecimpung sama sekali dalam kegiatan organisasi mahasiswa akan mendapatkan stigma “kupu-kupu” karena pelabelan tersebut. Sangat disayangkan!
Oleh karena itu, saya akan mencoba mereka-reka kemungkinan-kemungkinan mulia yang tersematkan di balik label “mahasiswa kupu-kupu” ini walaupun memang masalah seperti ini sebenarnya tidak harus berpayah-payah untuk menjelaskannya. Karena saya sadar, banyak yang seyogyanya perlu dibahas terkait situasi kebebasan berpendapat yang semakin hari semakin terbatas. Tapi, mau bagaimana pun saya akan membahasnya (walaupun dengan rasa setengah malu sebagai mahasiswa UIN Malang) agar tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Semua Bermuara Pada Preferensi
Mari mulai sok ideologis. Normalnya manusia, mahasiswa mempunyai kebebasan untuk preferensi dalam praktik akademik di perkuliahan masing-masing dan cenderung membenarkan bahwa pilihan yang diambil adalah benar serta bukan sebuah kesalahan yang akan menimbulkan rasa kecewa di kemudian hari. Preferensi yang dipilih pun menyesuaikan kondisi individu dengan lingkungan sekitar.
Singkatnya, ini sama seperti konsep kehendak bebas yang dipegang oleh Aristoteles (Van der Weij, dalam Fahmi Muqoddas : 1993) akan dimanifestasikan dalam sebuah keutamaan. Keutamaan tersebut adalah perwujudan dari kemungkinan-kemungkinan baik manusia. Sehingga, ketika kita, dengan bebas, memilih ingin menjadi mahasiswa seperti apakah nanti, secara sadar menerima risiko dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan mengetahui hasil akhir yang akan kita peroleh terlepas dari polemik free will itu sendiri yang masih terus diperbincangkan karena adanya dikotomi antara kehendak dengan takdir yang dipercayai. #jadipaham
Biar lebih mantab, saya mencoba mengantarkan kalian kepada James Coleman, dengan teori pilihan rasionalnya mengemukakan bahwa dalam penentuan preferensi ini, aktor adalah subjek utama dalam melakukan sebuah tindakan. Aktor di sini dapat dikatakan sebagai individu atau negara yang mempunyai otorisasi penuh atas suatu tindakan untuk mencapai kehendaknya dan memaksimalkan segalanya sedemikian mungkin untuk mencapai kepentingannya tersebut.
Misalkan, pilihan A, B, C dihadapkan pada seorang individu, dan individu tersebut memandang pilihan A lebih baik dan bermakna dari pilihan B atau C, maka ia akan memilih pilihan A. Dengan kata lain, pilihan yang dianggap lebih menguntungkan dan dapat memberikan dampak yang signifikan , baik dalam rangka efikasi diri atau kematangan masa depannya akan cenderung dijadikan pilihan yang tepat.
Rasionalisasi dari Si Kupu-Kupu
Saya pun merangsek mencari jurnal-jurnal akademik (biar gak dikira ngelantur) yang secara spesifik membahas alasan-alasan rasional setelah mengetahui masalah kehendak bebas dalam preferensi di atas. Kemudian, saya bertemu dengan sebuah studi yang dilakukan oleh Muchlis, F. N., dkk. (2021) yang berjudul Pilihan Rasional Mahasiswa “Kupu-Kupu” (Studi Preferensi Mahasiswa yang Berorientasi Pada “Kuliah Pulang-Kuliah Pulang” di FKIP UNS ). Bagus, ini sangat membantu menyuguhkan kepada kita dengan memberikan sudut pandang yang lebih luas tentang faktor alasan mahasiswa memilih menjadi “kupu-kupu”.
Hasil yang saya temukan, ternyata mahasiswa “kupu-kupu” nyaris tidak ada beda dengan mahasiswa yang aktif berkecimpung dalam kegiatan. Bahkan mereka bisa dikatakan lebih rasional dalam menjalani perkuliahannya. Kok bisa?
Pertama, alasan mahasiswa yang menempuh jalur “kupu-kupu” itu berkaitan dengan tujuan mereka akan nilai/prestasi akademik. Muchlis menyebut, bahwa mereka memiliki pandangan yang lebih terkait keilmuan akademik dibandingkan yang lain. Hal ini tidak lain dipacu oleh keinginan mereka untuk meraih nilai akhir yang memuaskan atau bahkan tinggi.
“Kalau minus nya yang saya temui itu dari temen kelas saat ada tugas kelompok. Jadi waktu udah pada ngumpul, “dia” nya yang terlambat. Alasannya ya karena ada urusan di organisasi, padahal ya organisasi harusnya gak bisa dibuat alasan karena emang ikut organisasi bisa dapat relasi dan pengalaman lebih, tapi ya yang perlu diinget kan tugas mahasiswa utamanya kan ya kuliah. Organisasi buat tambahan. Bukan kebalik”.
Jadi, jika kita mengulik petikan di atas satu persatu, bisa disimpulkan; mahasiswa “kupu-kupu” lebih fokus terhadap perkuliahannya karena memiliki target “lulus tepat waktu”. Bukankah dengan cara “lulus tepat waktu” akan mengantarkan mereka dengan segera kepada kehidupan pasca kuliah yang bisa dimaksimalkan untuk mencurahkan ilmu mereka di kehidupan bermasyarakat tanpa berlama-lama di bangku perkuliahan? Apakah hal itu kurang mencerminkan “berguna bagi bangsa dan negara”?
Lanjut, alasan yang sedikit menjurus pada privasi individu adalah kondisi keluarga. Dalam temuan Muchlis, ada seorang mahasiswa yang sebenarnya berkeinginan untuk terjun ke dalam organisasi kampus. Namun, nahas ia harus dituntut untuk menggantikan peran Ibunya pasca kecelakaan yang berprofesi sebagai pemilik kedai makan. Mau tidak mau, ia harus memilih jalur “kupu-kupu” tersebut dan mulai berfokus untuk bekerja, mulai menyiapkan kedai hingga memantau pekerja lainnya.
Coba cermati. Bukankah ia mempunyai misi mulia pula untuk menyejahterakan keluarga dan manut titah orang tua? Bukankah demikian telah mengantarkan si kupu-kupu pada kata “kodrati” melebihi mahasiswa “sejati” yang dimaksud Presma?
Terakhir, adalah terkait sumber daya individu atau inner self si aktor. Coleman memang secara tegas bahwa hal yang paling menentukan preferensi — lebih dari peran aktor — ialah sumber daya berupa waktu, relasi, dan hobi yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.
Saya contohkan RA, mahasiswi Tadris Bahasa Inggris UIN Maliki Malang yang lebih memilih untuk mengembangkan hobinya di luar ekstrakurikuler atau organisasi kampus. Ia mengklaim setidaknya ia memiliki “rumah” yang dinilai sudah sangat mendukungnya untuk meningkatkan efikasi diri. Ia memang menyadari pula eksistensi dari organisasi bisa juga menggali potensi diri, namun ia lebih mengutamakan untuk menjalani hal-hal yang membuatnya nyaman dengan hal tersebut, “jadi waktuku, selain kuliah juga dihabiskan untuk ikut kelas daring dan juga lomba-lomba” kebanyakan yang ia geluti adalah tentang kepenulisan dan desain grafis.
Sebagai aktor, layaknya kupu-kupu yang mengepakkan sayap (bukan kebhinekaan) menjadi hal yang sangat rasional untuk menentukan preferensinya tanpa ada intervensi atau paksaan apapun. Bukankah semakin mendayu-dayu sayap kupu-kupu itu mengepak akan menciptakan pandangan magis akan indahnya makhluk Tuhan yang satu ini? Semakin ia tak terusik, ia semakin hanyut dalam menikmati kepak-demi-kepak yang ia kerahkan. Berbeda dengan mereka yang sibuk bercokol, meramu kata, dan menjual ambisi-ambisi semu yang ditanamkan melalui kata “berguna bagi bangsa dan negara!”.
Bagaimanapun praktik akademik yang kita tempuh, seyogyanya tidak perlu mempermasalahkan bahkan merendahkan mahasiswa yang lainnya. Karena kita tidak bisa menjudge dan memaksakan rasionalisasi kita kepada mereka. Toh, mereka juga mempunyai cita menuju “anfauhum linnas” yang luhur. []
esai kupu-kupu mahasiswa uinmalang
Last modified: 01 September 2021