“Hanya sekolah-sekolah yang jujurlah yang bisa menghasilkan murid yang jujur…” Demikianlah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh Dadang Tri Sasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) seusai pemutaran film dokumenter berjudul Menjaga Anak Kandung Reformasi dan film Tinuk. Acara yang digelar di Wisma Kali Metro Malang tersebut (31/1) juga menghadirkan sosok Aprilingga Rahmat Dani, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi sutradara film anti korupsi berjudul Tinuk.
Korupsi sebenarnya memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan. “Korupsi itu dilakukan oleh orang yang punya kekuasaan,” ungkap Dadang. Menurutnya, semakin besar sebuah kekuasaan yang dimiliki seseorang, akan semakin besar pula penyelewengan yang akan dia lakukan. Bahkan, dampak yang dihasilkan dari penyelewengan tersebut juga akan semakin besar pula. Salah satu bentuk penyelewengan yang kerap terjadi yakni korupsi. “Orang yang memiliki kekuasaan tinggi, pasti pendidikannya juga tinggi,” tambahnya.
Korupsi dapat dilakukan oleh siapa pun, bukan hanya mereka yang menjadi kalangan elit. Bahkan, tukang parkir pun bisa saja melakukan tindak korupsi. Seperti pengalaman Aprilingga misalnya. Mahasiswa Ilmu Komunikasi tersebut mengungkapkan bahwa dirinya tak jarang menemukan tukang parkir yang masih menarget upah parkir yang lebih tinggi kepada para pengguna jasa parkir. Namun, kasus korupsi yang sering terekspos justru yang dilakukan oleh kalangan atas, karena dampak yang ditimbulkan pun berpengaruh bagi banyak orang. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Dadang, bahwa semakin besar kekuasaan dan semakin tinggi pendidikan, semakin besar pula bentuk penyelewengan yang dapat dilakukan.
Dadang mengakui bahwa pendidikan memang sangat diperlukan, baik di lingkungan keluarga, sekolah, mapun masyarakat. Khususnya dalam upaya anti korupsi. Korupsi sendiri menjadi sebuah bentuk kejahatan yang terjadi lantaran adanya kesempatan dan kemauan. Untuk mengatasi korupsi, menurut Dadang, dapat dimulai dengan mengatasi kemauan terlebih dahulu supaya orang tidak melakukan korupsi. “ Itu kan (kemauan_red) persoalan nilai sebenarnya. Oh ini salah, ini benar. Itu sebenarnya pentingnya pendidikan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan malam itu, Dadang juga sempat mengisahkan tentang seorang polisi yang sempat menemuinya. Polisi tersebut mengaku dirinya terguncang hanya karena sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh anaknya. “Pak, ini uang dari mana untuk makan kita malam ini?” ujar Dadang menirukan pertanyaan si anak. Menurut Dadang, untuk melahirkan pertanyaan itu tentunya memerlukan proses pendidikan di dalamnya.
Selama ini pendidikan memang menjadi salah satu pintu utama dalam menggalakkan anti korupsi. Namun, sesungguhnya pendidikan pun juga menjadi akar masalah terjadinya kasus korupsi yang kerap terjadi. “Orang hanya belajar pengetahuan saja, tidak belajar nilainya,” ujar Dadang. Ia menilai bahwa sistem pendidikan yang telah kita dapatkan hanya mengajarkan tentang apa itu kejujuran, bukan bagaimana seharusnya berlaku jujur.
Berawal dari dua survei yang pernah dilakukannya untuk mengukur kejujuran para pemuda, ia menarik kesimpulan bahwa banyak pemuda yang paham dengan pengetahuan mengenai kejujuran. Bahwa jujur itu tidak berbohong, tidak mencuri, dsb. Namun, sayangnya hanya sedikit dari mereka yang paham terhadap pengaplikasiannya. Seperti ketika terjadi bukti pelanggaran (tilang) misalnya. Masih banyak dari mereka yang menjadikan uang sebagai penyelamat dari tilang tersebut. Alasan mereka melakukan hal tersebut lantaran dulu orang tuanya juga pernah melakukan hal demikian. Menanggapi hal tersebut, Dadang berpendapat, “Ada pewarisan nilai yang tidak sengaja yang orang tua lakukan atau siapa pun. Ya itu kan sebenarnya pendidikan juga”. “Pendidikan kita itu juga tidak memberikan peluang orang untuk membangun komitmen nilainya, ya kejujuran itu,” tambahnya.
Dadang pun menilai bahwa saat ini masyarakat belum menemukan bagaimana pendidikan yang tepat untuk mendukung perilaku anti korupsi. Oleh karena itu, masyarakat masih harus berjuang secara kolektif untuk melakukan penegakan hukum, pembangunan dan perbaikan sistem, juga membangun kesadaran dari dalam diri sendiri. Senada dengan Dadang, menurut Aprilingga, upaya paling kuat dalam menegakkan gerakan anti korupsi yakni dari dalam diri setiap pribadi masing-masing orang. “Kita bentuk perilaku jujur, perilaku yang baik dulu dari diri kita sendiri, lalu kita mempengaruhi sosialnya atau budaya juga,” pungkas Aprilingga. [Luluk Khusnia]
Last modified: 25 April 2016