Sepuluh November sebelumnya menjadi hari di mana bangsa Indonesia mengadakan nostalgia serentak. Hari di mana bangsa ini berilusi tentang keberanian para pahlawan yang diidolakan masing-masing daerah. Lagu Mengheningkan Cipta didendangkan di institusi-institusi pendidikan, di kelas-kelas kuliah, dan di setiap pojok kota ataupun desa.
Namun, 10 November kali ini sedikit berbeda. Aksi 4 November yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) di Jakarta dan kemenangan Donald J Trump dalam Pemilihan Umum (Pemilu) presiden Negeri Paman Sam, Amerika, mengubah arah diskusi 10 November. Teman-teman sebaya saya di kelas membicarakan tentang pemimpin yang harus Muslim. Maklum kampus saya adalah kampus Islam.
Ayat-ayat suci mereka jadikan dalih dan mengatakan bahwa kemutlakan seorang pemimpin yang baik itu adalah seorang Muslim. Bahkan, salah satu dosen yang mengajar tentang fiqih pernah mengatakan, “Jika ada pilihan pemimpin muslim yang tidak baik dan pemimpin non-Muslim yang baik, maka pilihlah yang muslim”. Sebuah cara pandang yang aneh menurut saya. Hanya melihat kebenaran mutlak dari satu sisi, yaitu “Islam”, bukan “baik”.
Hampir dua Satuan Kredit Semester (SKS), saya mendengar pendapat mereka tentang pemimpin yang harus memeluk agama Islam. Dua SKS sisanya mebicarakan tentang ketakutan saudara mereka sesama Muslim di Amerika. Atas kemenangan Donald J Trump dalam Pemilu presiden Amerika tersebut, mereka khawatir akan ada kebijakan yang mendiskriminasi saudara mereka di sana. Mereka takut apa yang mereka lakukan di sini akan dibalas kepada saudara mereka di sana –pikir saya–.
Donald J Trump memang telah menang tanpa terduga. Sebelum Pemilu, banyak media yang mendukung Hillary Clinton. Ada 57 media yang mendukung Hillary, sedangkan Donald Trump hanya didukung oleh dua media saja.
Tak hanya memenangkan Pemilu presiden di Amerika, nampaknya Donald J Trump juga memenangkan topik pembicaraan di Indonesia, khususnya di kampus saya ini. Trump telah mengalahkan pembahasan tentang pahlawan dan segala perjuangannya merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah.
Bahkan di koran Kompas edisi 10 November 2016 –yang saya lihat-lihat judulnya–, Trump menjadi headline. Hanya satu tulisan yang membahas tentang hari pahlawan. Seolah jasa para pahlawan tak perlu diingat dan tak perlu direfleksikan lagi. Trump memukul telak mereka –para pahlawan– dengan ketidakmungkinannya terpilih.
Trump menyita perhatian banyak orang. Menjadi topik perbincangan di kelas. Pada akhirnya, perbincangan yang saya alami hari ini dimenangkan oleh aksi 4 November dan Trump. Dan para pahlawan harus mengalah pada harinya kali ini. [Achmad Gilang Rizkiawan]
Last modified: 12 November 2016