Minggu (11/10) sore, Aliansi Malang Melawan bersama Tim Bantuan Hukum Malang Bersatu melakukan konferensi pers di Oase Kopi Lantai 3 terkait penangkapan massa aksi #MalangMelawan Tolak Omnibus Law pada kamis (8/10) lalu. Konferensi tersebut disampaikan oleh empat perwakilan dari tim bantuan hukum dan Wahyu Ramadhan selaku kordinator lapangan (korlap) dan juga perwakilan dari Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI). Dalam pernyataannya, salah satu yang menjadi sorotan adalah adanya dugaan pelanggaran prosedur yang dilakukan aparat Kepolisian Resor Kota Malang terkait penanganan anak di bawah umur.
Dilansir dari rilis pers Aliansi Malang Melawan, setidaknya ada 129 orang peserta aksi yang ditangkap oleh pihak kepolisian dalam aksi unjuk rasa tersebut. Tujuh belas di antaranya merupakan anak di bawah umur, lima orang perempuan, dan sisanya adalah mahasiswa dan warga sekitar.
Darmansyah, perwakilan tim bantuan hukum, menyebutkan ada beberapa pelanggaran prosedural yang dilanggar pihak kepolisian. Dimulai sejak proses penangkapan, seharusnya pihak kepolisian membedakan atau mengklasifikasi massa aksi yang diamankan baik dari gender dan semacamnya. “Seharusnya dipisah, mana pelaku yang diduga taat hukum atau melanggar hukum, anarkis atau tidak, anak-anak atau dewasa,” jelasnya. Pengklasifikasian tersebut bertujuan untuk mempermudah pendataan dan pendampingan sesuai dengan klasifikasi masing-masing.
Mengenai penanganan anak di bawah umur yang berhadapan dengan hukum telah diatur dalam Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa anak mempunyai perlindungan khusus dalam hukum. Perlindungan khusus yang dimaksud di antaranya yaitu, memperlakukan anak sesuai martabat dan haknya, menyediakan petugas pendamping dari bantuan hukum serta pihak orang tua atau walinya sejak dini, dan memantau atau mencatat secara terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
Kendati demikian, ada upaya-upaya aparat kepolisian yang melanggar undang-undang tersebut. “Sementara, kemarin dalam proses pemeriksaan, kami dari tim bantuan hukum, sempat masuk tapi disuruh keluar oleh bagian penyidik (penyelidikan) ,” ujar Darmansyah. Dia juga menambahkan bahwa pada saat proses pemeriksaan itu ada beberapa orang tua/wali dari mereka yang hadir, namun tidak diperkenankan mendampingi mereka, “Dan hal ini sangat kami sayangkan. Padahal ini adalah hak konstitusional anaknya sendiri dalam proses pendampingan dan pemeriksaan dalam tingkat penyelidikan, penyidikan, dan sebagainya,” tambahnya. Upaya-upaya yang dilakukan aparat tersebut dinilai melanggar prosedur restorative jusice yang mana dialog dan mediasi seharusnya dilakukan untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban.
Salah satu orang tua dari anak-anak yang tergabung dalam massa aksi yang diamankan, berinisial MK, membenarkan adanya penangkapan dan sulitnya akses pendampingan tersebut, “Akses pendampingan sama sekali tidak ada. Telpon pun tidak ada dari pihak kepolisian. Saya hanya mendapat kabar dari temannya,” jelasnya. Dia berharap hal ini tidak terjadi lagi serta berharap agar pihak yang berwajib untuk meningkatkan rasa kemanusiaannya. []
Last modified: 13 Oktober 2020