Written by Ajmal Fajar Sidiq 18:42 Berita, Nasional

Mengingat Omnibus Law dan Nasib Perempuan dalam Diskusi Publik Geger Banten

Jumat (31/8) Geger Banten, aliansi persatuan mahasiswa lintas kampus gelar diskusi publik bertemakan “Wujudkan Revolusi Pendidikan Indonesia & Gagalkan Omnibus Law”. Aliansi terdiri dari beberapa organisasi, diantaranya: Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), SAPMA PP Cabang Serang, Untirta Movement Community (UMC), Sekolah Gerakan Mahasiswa Indonesia (SGMI), FAM, SAPMA Teknik Untirta, LMND Kota Serang, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan BEM Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Kota Serang. Acara ini diadakan di Aula PKM A Universitas Sultan Geng Tirtayasa (UNTIRTA) dan turut mengundang Sunarno, Sekretaris Jendral Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) sebagai pemateri. Diskusi ini dilakukan dengan tujuan memahami aspek terdampak dan upaya mencari solusi terhadap klaster ketenagakerjaan, seperti dampak Omnibus Law terhadap tenaga kerja wanita.

Salah satu peserta diskusi, Rosinta Bella, berpendapat bahwa agenda ini juga mengingatkan bahwa Omnibus Law selain berpotensi menggangu kesejahteraan masyarakat umum juga akan merugikan kaum perempuan perempuan secara khusus. Sebab adanya upaya penghapusan hak untuk tenaga kerja wanita yang mengalami haid, menstruasi, melahirkan dan ibu menyusui. Salah satu mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten ini juga berpendapat, “Sebagai perempuan, kelak saya akan menjadi buruh ataupun tenaga kerja akan merasakan hal itu. Jika kita menengok ke belakang, umumnya para pengusaha di lembaga-lembaga yang dinaunginyamelayani kebijakan cuti haid, menstruasi dan bahkan biasanya di lembaga tertentu memiliki fasilitas tempat tidur untuk ibu menyusui. Tapi, semakin kesini dengan adanya beragam konflik termasuk omnibus law justru kesejahteraan makin tergeser bukan malah semakin baik,” tutur Bella.

Dilansir dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 sejumlah kasus diskriminasi dan kekerasan dialami oleh pekerja perempuan sepanjang tahun 2019. Kasus-kasus tersebut setidaknya melibatkan empat perusahaan yang melanggar hak maternitas pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan. Bentuk pelanggaran yang dialami antara lain, pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan, serta perampasan hak cuti haid.

Sebelumnya, terdapat landasan yang menjadi dasar hukumhak-hak wanita dalam bekerja dalam Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Diantaranya: Pasal 81 ayat 1 membahas tentang  pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid; Pasal 82 ayat 1 dan 2 membahas tentang pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan, pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan; dan Pasal 83 ayat 1 membahas tentang pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Sementara dalam rancangan Omnibus Law tidak satupun ada pembahasan mengenai hak tenaga kerja wanita.

Menanggapi hal ini, Sekjen KASBI Sunarno berpendapat bahwa sebenarnya acuan hukum yang digunakan sebelumnya – UU Ketenagakerjaan – masih memiliki banyak masalah. Diantaranya adalah Masalah cuti karena haid, “Meskipun dulu sudah ada UU yang mengatur, tetapi daam prosesnya sering bermasalah. Misal, urusan haid seringkali dipersingkat menjadi satu hari jika tidak merasa sakit. Padahal, dalam ketentuannya bukan mengacu pada sakit atau tidak sakit, tetapi itu adalah hak buruh,” ujarnya.

Sunarno juga menjelaskan, bahwa adanya upaya penghilangan hak pekerja perempuan dalam sistem kerja kontrak, outsourcing, dan pekerja lepas. Salah satunya hak untuk mendapatkan cuti, ketika buruh ingin mengajukan cuti. “Biasanya, hal yang sering terjadi di perusahaan adalah ketika buruh ingin menanyakan sesuatu perihal hak ia akan dianggap membangkang. Maka, tanpa adanya hak cuti, sulit bagi buruh untuk meminta hal itu karena tidak ada di landasan hukum,” tukasnya.

Sunarno, mewakili KASBI berharap agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memerhatikan tuntutan buruh. “Selaras dengan upaya yang telah kami lakukan terhadap DPR maupun Menteri baik moril atau materil seharusnya suara kami ditanggapi. Dan kami menolak omnibus law seratus persen.” Demikian pungkas Sekjen KASBI tersebut. []

(Visited 40 times, 1 visits today)

Last modified: 02 September 2020

Close