Written by Riyandanu 22:06 Buku, Resensi

Sisi Buram Ekosistem Digital

Ross Tapsell dalam buku ini berusaha menjawab dua pertanyaan umum. Pertama, apa dampak revolusi digital dalam produksi berita dan informasi? Kedua, bagaimana perubahan media digital? Dalam sejarahnya, perkembangan media di Indonesia di awali dengan kemunculan media cetak serta radio di awal kemerdekaan, kemudian televisi di era Orde Baru (Orba), dan paling mutakhir adalah kehadiran internet pada akhir 1990-an.

Sebelum membahas kedua pertanyaan di atas, ada baiknya kita tengok tokoh-tokoh dibalik dunia media di Indonesia. Taspell menggambarkannya sebagai berikut:

Perusahaan Anak perusahaan Media Pemilik Stasiun Televisi Utama Terbitan Andalan Media Daring Stasiun Radio unggulan
CT Corp Trans Corp Chairul Tanjung TransTV Trans7 CNN Detik CNN
Global Media Com MNC Hary Tanoesoedibjo MNC Global RCTI Koran Sindo Okezone Sindonews Trijaya FM ARH Global Radio Dangdut
EMTEK SCMA Group Eddy Sariaatmadja SCTV Indosiar O-Channel Liputan6 El Shinta
Lippo Berita Satu James Riady BeritaSatu Suara Pembaruan BeritaSatu
Kompas Gramedia Kompas Group Jacob Oetama Kompas TV Kompas Kompas Tribunnews Sonora Otomotion
Bakrie Group Visi Media Asia Aburizal Bakrie TV One ANTN Viva
Jawa Pos Group Jawa Pos Group Dahlan Iskan JawaPos TV Jawa Pos Jpnn.com Fajar FM (Makassar)
Media Group Media Televisi Indonesia Surya Paloh Metro TV Media Indonesia Metrotvnews

Tabel 1.1

Konglomerat Digital Indonesia (Hal. 78-79)

Setelah melihat tabel di atas, kita mengetahui bahwa media-media arus utama populer yang terlihat menawarkan banyak pilihan saluran, sebetulnya hanya didominasi oleh delapan perusahaan-perusahaan besar dan kuat. Pemilik satu perusahaan dapat mencakup infrastruktur komunikasi, televisi, radio, media cetak, dan media daring. Kita bisa sebut mereka sebagai konglomerat digital.

Tapsell coba menerangkan bahwa digitalisasi yang dikelola oleh kebanyakan konglomerat digital, tidak memungkinkan hadirnya keanekaragaman perusahan-perusahaan baru untuk bisa menjadi layak secara finansial melalui platform-platform baru. Pada tahun 2015 saja, frekuensi radio analog (yang terbatas) diperkirakan mencapai Rp. 3 miliar. Bagi frekuensi televisi dapat mengabiskan biaya sekitar Rp. 500 miliar. Akibatnya frekuensi-frekuensi yang dijual oleh pemlik seringkali masuk ke penawar tertinggi, dan biasanya adalah konglomerat digital.

Relasi antara Media, Bisnis dan Politik

Di Indonesia praktik penguasaan media bukanlah hal baru. Melalui media arus utama yang dikelola secara sentralistik, TVRI menyiarkan serangkaian propaganda Orde Baru dalam bentuk film, acara hiburan, maupun berita. TVRI yang kala itu berfungsi sebagai mikrofon Soeharto, sukses membuat The Smiling General menguasai Indonesia selama 32 tahun. Walau ada sedikit media lain yang “berisik”, hal itu dengan mudah diatasi oleh represi aparat maupun lembaga negara seperti militer dan depatemen penerangan. Zaman itu media sosial belum populer dan koneksi internet baru ada di akhir tahun 1990-an, alhasil oposisi sangat sulit untuk tumbuh. Pepatah “siapa yang mengontrol informasi, maka dia mengontrol apa yang dia mau” pun menjadi relevan.

Setelah berakhirnya Orde Baru, pepatah tersebut pun tidak ikut hilang. Malah semakin relevan.   Jika diamati lebih lanjut, hampir semua konglomerat media yang telah disebut pernah terjun ke dunia politik. Bahkan ada pula yang secara terang-terangan menjadi aktor politik. Melalui buku ini, Tapsell menjelaskan bahwa hubungan ini menjadi hambatan utama terhadap otonomi media.  Dalam hal ini mencakup apa yang dapat media laporkan, dan bagaimana berita-berita tertentu harus dibingkai. Hal yang menjadi pembeda dalam ekosistem media di era Orde Baru dan era Reformasi adalah segi kepemilikan media. Kepemilikian media saat ini lebih terdesentralisasi, namun cita-citanya tetap sama, mengontrol urusan politik dan bisnis.

Meskipun Indonesia memiliki delapan konglomerat digital besar, dalam banyak hal mereka menyajikan berita dan informasi yang mirip-mirip. Berita lokal berkurang, dan faktor pembeda yang terbesar adalah sudut pandang yang disesuaikan dengan kepentingan politik dan bisnis pemilik media bersangkutan. Media akan semakin partisan mengenai kandidat-kandidat politik, terutama pada pra dan pasca pemilihan umum.

Dalam mendukung analisis hubungan kepemilikan media dan kepentingan bisnis dan politik, Tapsell menggunakan metode jurnalistik. Dalam penggarapan buku ini, ia melakukan reportase dan serangkain proses wawancara langsung bersama para pemilik media, politisi, dan pelaku jurnalisme di lapangan guna menyatukan fakta-fakta yang berserakan.

Melalui wawancara dengan Anindya Bakrie – anak sulung Aburizal Bakrie pada tahun 2015, Tapsell mendapat penjelasan bahwa di Indonesia, teknologi digital digunakan untuk mengutamakan kepentingan sekelompok pemain tertentu. Anindya mengatakan teknologi digital memungkinkan beberapa raja media melambungkan kekayaan, dan karena media penting bagi kampanye politik, melambung pula kuasa politiknya. Internet mengguncang kroni-kroni Soeharto. Kemudian era digital menghadirkan yang baru.

Di lain sisi, perkembangan teknologi internet menuntut perubahan dalam produksi dan konsumsi konten. Kebanyakan konglomerat digital mengadopsi model pada media daringnya untuk menghubungkan situs berita mereka dengan situs-situs lain yang dikunjungi orang di internet. Hal itu mencakup permainan, perjalanan, gaya hidup, perumahan, bursa kerja, dan e-commerce. Alasan ini nampaknya cukup relevan, sebab penetrasi internet dan ponsel pintar di masyarakat, mengubah haluan dari surat kabar ke ranah situs web seperti detik.com, kompas.com, liputan6.com dan sejenisnya.

Hal ini berbanding lurus dengan naiknya permintaan iklan di media daring yang berimbas pada meroketnya pendapatan perusahaan. Alih-alih sebagai portal berita, situs web yang demikian lebih cocok disebut portal bisnis. Perusahaan media seperti yang kita kenal dahulu — yang utamanya memproduksi konten berita dan hiburan – telah bergeser. Sekarang, konten media hanyalah satu sayap saja dari sebuah perusahaan yang menggabungkan bisnis-bisnis lain dalam ranah digital (multiplatform).

Munculnya Wacana Tandingan

Dalam bagian akhir buku, Tapsell sama sekali tak berminat menutupnya dengan perasaan pesimis. Sebaliknya, ia mencoba optimis, atau bahkan bisa dikatakan bermain dalam garis “aman”. Pengajar di Australian National University ini menjelaskan bahwa digitalisasi telah memperkuat satu kelompok khusus dalam masyarakat sipil yang mampu menggunakan media sosial maupun platform partisipatif baru guna mendorong perubahan.

Menjamurnya warganet di jejaring sosial Facebook, Twitter, Instagram, maupun WhatsApp membawa angin baru bagi warganet. Jejaring sosial ini dimanfaatkan sebagai saluran beropini dan mengekspesikan padangan alternatif. Menjadi lawan bagi wacana yang ditawarkan media arus utama yang bias kepentingan bisnis dan politik. Namun tak jarang pula media sosial sering dimanfaatkan dalam praktik kampanye hitam, hoaks, maupun perundungan. Ekosistem digital di Indonesia memang belum sepenuhnya adil, kalangan elite dapat menghabisi kritik dengan regulasi karet seperti UU No. 11 tahun 2008 (UU ITE)

Digitalisasi pun melahirkan platform-platfrom yang dikelola secara mandiri maupun swadaya oleh masyarakat. Tapsell mencontohkan situs berita independen Papua Jubi yang menawarkan wacana tandingan terhadap pemberitaan soal Papua di media-media arus utama. Contoh lain platform digital dan situs web independen  seperti: Change.org, Metaruang.com, Indoprogress.com, blog pribadi, hingga kanal Youtube dapat menjadi media tandingan dengan wacana alternatif yang disuguhkan. Singkatnya, media digital merupakan tempat kontestasi yang menonjol antara elite dan warga negara.

Buku ini menawarkan suatu pandangan yang berbeda, analisisnya menggunakan kerangka ekonomi-politik. Namun kritik yang ditawarkan Tapsell sepertinya kurang “keras”. Dalam bukunya, ia hanya menjelaskan bahwa tekanan yang diterima oleh media hanya mengerucut pada “arah” liputan. Tapsell mencontohkan Pimred Viva, Nezar Patria, mendapat protes dari Ardi Bakrie karena menayangkan iklan kampanye Jokowi dimedia milik ayahnya. Tekanan terhadap jurnalis pun ditulis oleh Tapsell, ia mencontohkan jurnalis Jawa Post yang diarahkan untuk membangun citra baik Arif Afandi pada Pilkada Surabaya 2005, dan jurnalis Surabaya Post yang dilarang meliput soal lumpur lapindo.

Kritik Tapsell dalam upaya mengupas relasi media dengan praktik bisnis-politik dapat lebih mengena apabila ia ingin sedikit “membumi”. Turun ke jurnalis-jurnalis daerah yang sering kali mendapat represi dari pihak-pihak di luar ruang redaksi. Jurnalis media daerah yang berada di daerah giat pertambangan dan perkebunan acap kali diancam secara fisik sampai ancaman pembunuhan. Seperti yang terjadi pada wartawan JTV, Ahmad Arif yang menerima ancaman pembunuhan oleh orang tidak dikenal karena meliput kasus Salim Kancil. Hal serupa juga terjadi pada jurnalis newszonamerah.com, Andi Burhanuddin, yang meliput salah satu tambak di Kabupaten Bulukamba.

Namun dibalik kekurangannya, buku ini sangat relevan untuk dibaca oleh pengamat media, mahasiswa, tenaga pendidik, peneliti, jurnalis, dan masyarakat pada umumnya. 

Informasi Buku:

Judul Buku                  : Kuasa Media di Indonesia

Penulis                         : Ross Tapsell

Penerjemah                  : Wisnu Prasetya Utomo

Penerbit                       : Marjin Kiri

Tahun                          : Cetakan Pertama, 2018.

Jumlah halaman           : vii + 295.

(Visited 156 times, 1 visits today)

Last modified: 23 Juni 2020

Close