Dalam kebudayaan Jawa, perempuan dianggap kodratnya hanya untuk macak, manak, masak. Istilah tersebut merujuk kepada peran perempuan yang terbatas pada pekerjaan domestik untuk mengerjakan tugas rumah tangga dan menuruti keinginan suami. Kehadiran perempuan disini memberikan standing position bahwa rumah adalah identitas perempuan Jawa.
Di sisi utara Kabupaten Lamongan, tepatnya di desa Paciran mudah kita jumpai perempuan terutama ibu-ibu yang kegiatan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga dengan stigma peran macak, manak, masak yang akar katanya berasal dari Bahasa Jawa yakni bersolek, melahirkan, dan memasak. Ini ditunjukkan oleh perilaku mereka setiap hari berbelanja ke pasar, mengasuh anak, dan mengurus keperluan kerja suami karena hal tersebut sesuai kesadaran diri mereka terhadap kodrat seorang istri.
Stigma macak, manak, masak tidak muncul begitu saja, tapi sebuah proses yang diproduksi dari makna dan tindakan yang terpupuk dari waktu ke waktu yang akhirnya menjadi tradisi yang melekat pada perempuan Jawa. Mengubah pandangan masyarakat tentang peran macak, manak, masak dari konotasi domestik; dapur, kasur, sumur bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Karena labelling perempuan dalam dari lingkungan terdekatnya dapat menimbulkan persoalan baru, seperti anggapan ibu-ibu ini kehilangan jati dirinya dan tidak njawani.
Baca Juga: “Peliharaan” itu Bernama Perempuan
Memangnya seperti apa posisi perempuan di mata sosial? Seperti benda, guys! Kamu tuh jalan-jalan ke mana saja jadi objek tatapan mata lelaki. Pakai baju apa saja, jadi bahan obrolan mulut lelaki. Duduk atau berdiri macam apa saja, jadi objek fantasi liar lelaki. Bejat memang!
Perjuangan untuk mendobrak stigma yang telah melekat menghadapi dilema karena identitas komunitasnya tidak boleh lepas juga. Berjuang ditengah kedilematisan tersebut mengharuskan perempuan-perempuan Paciran menciptakan praktik baru dengan melakukan moderasi tradisi terhadap peran macak, manak, masak yang tetap bersumber dari tradisi leluhur.
Dalam kehidupan masyarakat Paciran terdapat dua makna yakni positif dan negatif. Namun, macak, manak, masak cenderung dimaknai negatif karena mengakibatkan mereka menjadi obyek dari ketidakadilan gender yang menimbulkan marginalisasi peran perempuan. Padahal perempuan dalam kehidupan rumah tangga berperan sebagai penyeimbang kehidupan rumah tangga, yang memiliki kontrol penuh terhadap rumah. Pada hakikatnya istilah yang ada adalah bentuk positioning yang digunakan guna memudahkan letak keberadaan antara laki-laki dan perempuan, tidak lebih.
Modernisasi adalah momen yang tepat bagi perempuan Paciran. Dalam dunia modern, posisi perempuan berubah ke ranah yang lebih luas dan tidak terkekang pada ruang domestik. Sehingga mereka dapat mengeksplorasi ke hal-hal baru, salah satunya bekerja. Melalui modernisasi pula, muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang lebih tersentralisasi pada praktik industri, salah satunya pekerjaan nguplik (buruh industri). Data yang bersumber dari Monografi Desa Paciran menyebutkan bahwa jumlah buruh industri terutama pada sektor nguplik menempati posisi terbesar.
Nguplik sendiri adalah kegiatan mengupas cangkang atau kulit rajungan untuk diambil dagingnya yang nantinya akan diproduksi dalam bentuk kaleng. Karena proses pengambilan daging ini tidak dapat dikerjakan oleh mesin, maka tenaga manusia menjadi pilihan satu-satunya. Keterlibatan kaum perempuan dalam sektor kerja, khususnya Nguplik ini, tidak dapat diremehkan meskipun mereka tinggal di daerah pedesaan yang menjunjung tinggi adat Jawa dan memiliki pandangan bahwa perempuan harus di rumah.
Selain itu, seperti yang dituturkan salah satu koresponden yakni Ibu Zum seorang buruh industri nguplik, “Zaman sekarang ya jadi perempuan harus giat, tidak hanya menerima apa adanya. Tidak cuma nunggu suami, tapi ya harus bisa bantuin suami. Jadi istri yang mandiri.” Pernyataan Bu Zum itu menunjukkan kesadaran mereka akan posisinya yang mengalami perubahan dari sekadar mengurus urusan domestik tetapi juga untuk mengeksplorasi ranah publik. Bu Zum juga mengungkapkan bahwa awalnya tidak mudah baginya untuk menggeluti mata pencaharian ini. Seringkali kolega terdekat dan tetangganya mencibir apa yang dilakukan beliau, “Iya Mas, saya dulu dianggap tidak bertanggung jawablah, suami saya nggak kerja lah. Tapi ya mau gimana lagi, anak butuh susu.” Tapi seiring berjalannya waktu, menurut penuturan beliau akhirnya banyak yang menanyakan perihal pekerjaan yang ia lakukan dan sekarang hampir semua tetangganya bekerja sebagai buruh industri juga. Fenomena ini menimbulkan stigma baru yang tanpa disadari mengalami peleburan dan menjadi hal yang diwajarkan oleh masyarakat setempat.
Baca Juga: Mengingat Omnibus Law dan Nasib Perempuan dalam Diskusi Publik Geger Banten
Dilansir dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 sejumlah kasus diskriminasi dan kekerasan dialami oleh pekerja perempuan sepanjang tahun 2019. Kasus-kasus tersebut setidaknya melibatkan empat perusahaan yang melanggar hak maternitas pekerja perempuan dengan mengorbankan ratusan pekerja perempuan. Bentuk pelanggaran yang dialami antara lain, pemutusan hubungan kerja karena hamil dan melahirkan, serta perampasan hak cuti haid.
Pada akhirnya, perempuan-perempuan di Paciran tidak hanya disimplifikasi melalui tipologi 3M dengan macak, manak, masak saja tetapi berubah menjadi 4M dengan macak, manak, masak, dan mergawe (kerja). Pergeseran cara pandang tersebut berimbas pada pemaknaan kembali tradisi lama dengan diwujudkan dalam tindakan baru, sehingga perempuan-perempuan ini dapat mandiri dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Upaya yang dilakukan masyarakat Paciran dalam memoderasi makna lama menjadi makna baru merupakan usaha untuk mewujudkan keselarasan hidup (sak patine) guna mencapai hidup rumah tangga yang bahagia. Hal tersebut juga memperlihatkan bahwa mereka bukanlah agen pasif tetapi agen kreatif ketika berhadapan dengan modernitas.
Perempuan-perempuan pekerja (mergawe) nguplik di Paciran menunjukkan bahwa kebebasan yang ditimbulkan oleh modernitas tidak begitu saja digunakan untuk meninggalkan peran utamanya di ranah domestik dengan bertindak sesuka hati. Melainkan menjadi titik tumpu perempuan di Paciran untuk menempatkan posisinya di antara nilai tradisi dan modernisasi dengan cara bekerja. Mereka juga telah menumbuhkan gairah sense of collectivisme melalui keberhasilan modal simbolik dan budaya mengubah konstelasi relasi agen-struktur saat ini dalam ruang sosial.
Moderasi tradisi oleh masyarakat terutama kaum perempuan di Paciran dengan konsep 4M yang baru ini dapat menjadi contoh bagi perempuan di daerah lain untuk tetap bergerak dan menunjukkan eksistensinya tanpa meninggalkan peran utamanya dalam rumah tangga. Apa yang telah diperbuat oleh perempuan Paciran melalui nguplik dapat dikatakan sebagai keberhasilan internalisasi eksternalitas, dan eksternalisasi internalitas perempuan Paciran untuk mempertahankan jati diri mereka dan siap dalam menghadapai perubahan. []
Editor: Shafly Arafat A.
jawa nguplik pekerja perempuan
Last modified: 02 Juli 2023
Beberapa waktu yang lalu, saya sempat melihat film “Perempuan Berkalung Sorban” di NetTV. Film itu adalah sebuah gambaran yang tepat-menurut saya- untuk menggambarkan bagaimana peran perempuan dan laki-laki harusnya dijalankan. Mulai dari pekerjaan, pelayanan rumah tangga yang identik dengan “Tugasnya istri itu melayani suami” yang seakan-akan kaku dan memaksa. Maka yang ada disana adalah sebuah fleksibilitas suami istri dalam urusan domestik dan non domestik tanpa menghilangkan fakta-fakta biologis yang ada.
Tapi sayangnya film itu telah disensor secara besar-besaran. Mungkin karena isinya yang mengkritik kaum pesantren dan paham patriarki. Selamat menonton, jika mau sih.