Written by Moh. Wildan Firdausi Romadhani 19:14 Kata Mereka

P3KS Kembali (akan) ‘Direvisi’, Masih Jauh dari Implementasi?

Surat Keputusan Rektor No. 1469 Tahun 2021 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UIN Maliki Malang nampaknya masih terbilang jauh dalam pengimplementasiannya. Terbaru, Keputusan Rektor yang ditandatangani oleh Zainuddin selaku Rektor UIN Maliki tersebut mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Rektor No. 870 Tahun 2022 yang mengatur hal serupa. Dalam artian, aturan terbaru yang dikeluarkan mengamandemen aturan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini menimbulkan kesan ketidaksiapan dalam merumuskan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus dengan diubahnya dan belum sedikitpun diimplementasikan. Tidak bisa dijalankannya lembaga Unit Layanan Terpadu (ULT) yang berfokus pada pelaporan dan penanganan kasus menjadi alasan dibalik bergantinya aturan tersebut. Sehingga, dalam Surat Keputusan Rektor terbaru, nama ULT diganti menjadi Divisi Layanan Terpadu (DLT) untuk menjalankan fungsi dari lembaga ini.

Alih-alih hanya mengubah status ULT menjadi DLT, rupanya terdapat beberapa perubahan substansi yang sangat signifikan. Pertama, Dewan Etik Mahasiswa yang tercantum pada pedoman sebelumnya dihapus dalam pedoman terbaru. Dewan Etik Mahasiswa yang awalnya mempunyai peran serta dalam proses penetapan sanksi maupun penindakan pelaku bersama Dewan Etik Perguruan Tinggi diganti menjadi Dewan Etik Universitas yang anggotanya merupakan bagian dari Komisi Senat Universitas. Selanjutnya, pada BAB X SANKSI juga terdapat perubahan yang sangat signifikan. Detail kriteria sanksi yang berlaku kepada dosen/pegawai dan mahasiswa serta tata cara penjatuhan sanksi juga ‘dirampingkan’ dalam kalimat “Penjatuhan sanksi diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku”. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan amanah Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No. 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang menjadi landasan dari Keputusan Rektor tersebut.

Dalam wawancara selama kurang lebih setengah jam, reporter UAPM INOVASI, Wildan Firdausi dan Faidyah Nur Ainina berusaha mewawancarai Istiadah selaku Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Maliki Malang (26/06). Wawancara ini  bertujuan untuk mengetahui bagaimana sikap PSGA terhadap perubahan Keputusan Rektor tersebut lebih-lebih tentang peran serta mahasiswa dalam penjatuhan sanksi bagi pelaku kekerasan seksual, mengingat PSGA juga mempunyai peran krusial dalam menciptakan ruang aman bebas kekerasan seksual berdasarkan Keputusan Dirjen Pendis 5494/2019. 

Istiadah, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Maliki, memberikan opening speech pada acara Gender dan Tantangan Ketenagakerjaan (26/06). Foto: Dokumentasi PSGA

______

Dalam beberapa kesempatan, PSGA sangat menginginkan partisipasi mahasiswa dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Sedangkan, penghapusan Dewan Etik Mahasiswa dan diganti dengan Dewan Etik Universitas yang merupakan (bagian) dari Komisi Senat Universitas termaktub dalam Keputusan Rektor terbaru. Bagaimana PSGA menyikapi hal tersebut?

Kita sudah matur ke senat kemarin dengan adanya peraturan yang baru kita ingin SK [Keputusan Rektor] baru, yang nanti melibatkan mahasiswa. Nah ini makanya kita sesegera mungkin akan mengadakan FGD [Forum Group Discussion] dengan SEMA-DEMA, perwakilan mahasiswa yang lain, aktivis gender di UIN dan WADEK [Wakil Dekan] III dulu yang kita hubungi untuk persiapan pendirian DLT. Jadi kita menghimpun dari bawah dahulu. Maksudnya biar serius. Bukan hanya PSGA menyampaikan kepada pimpinan. Minggu depan [pelaksanaan FGD]. Saya sudah bilang ke Ketua SEMA. Saya mengambil momen sebelum PBAK [Pengenalan Budaya Akademik Kampus] karena dulu saya kepingin banget ini harus masuk ke PBAK-U maupun masing-masing fakultas.

Dan nanti dari FGD tersebut akan menghasilkan rumusan struktur personalia DLT tersebut?

Betul, dan juga kita akan buat untuk membenahi SK. Karena SK yang hapus DLT-nya sekarang jadi kadaluarsa juga karena sudah muncul, ada PMA [PMA No.73/2022] dan KMA [KMA No. 83/2023]. Jadi dari kementerian agama sendiri sudah muncul kebijakan baru tentang kekerasan seksual yang harus kita adopsi. Mau tidak mau dengan mengadakan kebijakan baru, SK kita harus ganti. Nah, menyongsong gantinya SK, kita jaring aspirasi.

Untuk poin Dewan Etik Mahasiswa bagaimana? Apakah itu perlu atau tidak? Karena di SK terbaru itu tidak ada Dewan Etik Mahasiswa. Padahal fungsinya adalah penanganan dan rekomendasi penjatuhan sanksi bagi pelaku?

Kalau dari saya perlu, karena beda dengan satuan pendidikan yang di bawahnya, mahasiswa kan sudah cukup dewasa. Dia mempunyai hak otonom lah untuk mempersiapkan dirinya sendiri. Bahkan menurut kami sering kalau di antara mahasiswa sendiri lebih efektif. Kalau kita yang campur tangan ya gitu

Tujuan hukum kan untuk jera. Jadi bagaimana membuat jera pelaku dan membuat pendidikan bagi yang non-pelaku itu kan kadang-kadang kita kurang strategi. Nah, strategi itu yang paling pas ya mahasiswa itu sendiri agar mereka tahu penjatuhan sanksinya. 

Makanya saya juga masih mencari KMA [Keputusan Menteri Agama] yang terbaru terbit di tahun 2023. Kita harus pelajari bersama bentuknya kayak apa agar kita memasukkan mahasiswa di dalamnya. Kalau di Satgas [PPKS] yang dari Kemendikbud, itu ada mahasiswanya. Kalau dari [Universitas] Brawijaya saya masih akan mengontak mereka apakah kita yang ajak mereka ke sini atau kita yang ke sana gitu untuk belajar [cara kerja] satgas.

Baca Juga: Sosialisasi P3KS UIN Malang, PSGA: Akhirnya Kita Punya Landasan Hukum untuk Bergerak

Surat Keputusan Rektor tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (P3KS) disahkan tepat pada 31 Desember 2021 yang sebelumnya sempat dibahas pada rapat perumusan tahun lalu (11/11/2021).  Pada Jum’at (29/07), Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Malang resmi menyosialisasikan pedoman tersebut di Aula Fakultas Humaniora Lantai 3.

Revisi SK rektor atas pertimbangan Rapat Pleno Senat Universitas. Namun, apakah PSGA terlibat juga di dalamnya?

Plenonya tidak. Tapi saya terlibatnya di usulan ke pleno Senat. Kayak saya hearing ya, seperti para Menteri dipanggil oleh DPR.  Setelah itu, mereka rapat sendiri dan tidak diajak.

Signifikansi perbedaan dalam Keputusan Rektor juga ada di bagian penjatuhan sanksi. Di sana ada kata-kata “penjatuhan sanksi diberikan sesuai dengan peraturan yang berlaku”. tidak ada detail penjatuhan sanksi seperti sebelumnya; sanksi administratif, skorsing, dsb. Bagaimana tanggapan ibu?

Kemarin pertimbangannya Senat karena kita sudah ada peraturan di atasnya. Jadi, peraturan di atasnya itu yang dijadikan pijakan. Kita tidak perlu membuat peraturan sendiri.

Berarti rujukannya?

Kita pada saat itu punya SK Dirjen Pendis dan sekarang baru muncul pada saat pembuatan itu adalah PMA. Tapi di PMA itu sebenarnya tidak detail, malah yang di Dirjen Pendis itu lebih detail. Jadi kita ketika dijelaskan begitu, oke lah kita di Dirjen Pendis sudah ada.

Ada kemungkinan juga dibawa ke ranah pidana, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)?

Untuk sekarang, iya. Karena kita sekarang lengkap, mulai dari undang-undang, Peraturan Menteri, terus kita punya Keputusan Rektor. Secara hukum sudah tidak ada penundaan lagi bahwa kita sudah segera menangani [kasus Kekerasan Seksual] karena sudah semuanya lengkap. Saya hanya butuh mekanisme sebenarnya dari mahasiswa. Karena kemarin itu terkait dengan pendanaan, dsb.

Kedua, pelibatan seluruh unsur fakultas. Di Satgasnya Brawijaya juga gitu. Jadi brawijaya mempunyai satgas fakultas sendiri lalu universitas sendiri. Ini yang saya perlu pelajari lagi. Kalau kemarin kita masih utuh kan ya, kalau misalkan DLT ya DLT. Tapi fakultas itu lebih langsung include ke dalam struktur.

Dalam Keputusan Dirjen Pendis ada poin Unit Focal Point. Apakah itu yang dimaksud?

Nah, betul. Ya itu yang harus kita pelajari lagi agar ini aplikatif ya. Makanya saya ini belum menemukan KMA-nya. KMA-nya itu sebenarnya sudah muncul bulan-bulan lalu. Jadi ada KMA nomor 83 tahun 2023. 

Peran PSGA dari masing-masing peraturan, yakni Dirjen Pendis dan SK rektor sangat berbeda. Di dirjen pendis PSGA bukan hanya pendampingan terhadap korban, namun lanjut ke penanganan rekomendasi sanksi bagi pelaku, salah satunya yakni PSGA termasuk dalam Dewan Etik Perguruan Tinggi. Sedangkan di Keputusan Rektor hanya pada pendampingan korban. Bagaimana Anda menyikapinya?

Itu yang membuat saya deadlock ya. Karena saya hanya satu orang. Ketika bersuara pasti kalah. Kan sempat ada gebrak-gebrak meja, macem-macem gitu ya ternyata rapat Senat seperti itu. Akhirnya ketika kita kurang suara, kurang teman, dan akhirnya saya ingin bottom up. Kita ingin mengumpulkan teman-teman pegiat PSGA yang berada di Senat juga, akan saya undang secara tersendiri agar dealing dengan PSGA dulu sebelum masuk di Senat. Jadi ketika kita membawa bahan kebijakan itu sudah banyak yang se-deal.

Baca Juga: Lagi, Jejak Predator di UIN Maliki Malang

28 Maret 2019, melalui info daring, UAPM Inovasi mendapat dua pengaduan terkait kasus kekerasan seksual yang ada di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki Malang). Setelah pembahasan bersama tim UAPM Inovasi, akhirnya kami berhasil mengetahui identitas dari salah satu penyintas pada 10 April 2019. Setelahnya, kami berusaha menemui dan meminta keterangan lebih lanjut kepada penyintas.

Apa PSGA sendiri punya target?

Ya, saya ingin tahun ini harus sudah jadi. Pokoknya ‘satgas’ kalau di perguruan tinggi umum, tapi saya inginkan Satgas TPKS yang sudah solid. 

Memang, kelemahan, kalau kita bisa mengakuinya, kalau dibandingkan dengan yang ada di Kemendikbud itu dari sana sudah ada aturan sistematis [mengenai pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual] yang harus diikuti oleh semua perguruan tinggi. Sehingga semua orang bisa mengikuti jalur itu secara mudah, termasuk dari Kemendikbud itu sendiri ada monitoringnya yang langsung. Misalnya Rektor berhadapan dengan Mas Menteri. Jadi rektor langsung ‘oh ya ini penting ini’ karena ini sudah instruksi dari Menterinya. Sedangkan kita ga punya momen itu.

Jadi setahun yang lalu itu kita sudah menginginkan forum itu ada. Ternyata di beberapa PTKIN itu yang mewakili ketua PSGA-nya [bukan Rektor]. Nah, ketemuan sama Dirjen, “la ngapain?” Kan jadi lucu. Wong kita tidak bisa ngapa-ngapain. Tidak bisa ngasi keputusan kok. Padahal tujuannya buat membuka wawasan para rektor. Lah yang disuruh datang sama bapak rektornya malah ketua PSGA. Jadi ini jeruk makan jeruk. Nah, agar itu gak terulang, kemaren yang di solo itu kita menekankan pada kemenag bagaimana bisa mempertemukan antara pak menteri dengan rektor. 

Saya ingin belajar dari kegagalan teman-teman dan beberapa kesuksesan baru, kita ramu di UIN Malang biar bisa menemukan jalan yang terbaik bagi semua. []

(Visited 197 times, 1 visits today)

Last modified: 11 Juli 2023

Close