SENIN, 10 Juli 2023, saya menulis Opini berjudul “Jurnalisme Warga: Di Tengah Kepungan Ancaman Represi” untuk LPM Siar, Universitas Negeri Malang (UM). Di dalam Opini itu, saya menjelaskan tentang 3 faktor pelaku melakukan represi kepada Pers Mahasiswa (Persma). Meliputi: pelaku kurang edukasi mengenai cara kerja jurnalistik; pelaku mempunyai kepentingan politik/kekuasaan; dan pelaku berupaya menutupi skandal, pelanggaran, penggelapan, atau kasus bejat yang lain.
Dari 3 poin itu, faktor represi yang sering didera Persma dalam beberapa tahun terakhir ialah pelaku berupaya menyembunyikan skandal di kampus. Hal itu, terbaca dari kasus-kasus represi yang menimpa Persma setelah mengungkap kasus Kekerasan Seksual (KS) yang dilakukan warga akademik di perguruan tinggi mereka. Dan, represi itu terjadi di mana saja.
Kasus represi semacam itu, sempat menimpa LPM Lintas IAIN Ambon setahun lalu, mereka mengalami pembredelan pada Kamis, 17 Maret 2022. Selama 7 tahun LPM Lintas mendalami kasus KS; menerima 32 kesaksian dari korban/penyintas sepanjang 2015-2022; meminta konfirmasi kepada pihak-pihak terkait; mengulik informasi dari pendamping/kerabat; konsultasi dengan ahli-ahli dan jaringan solidaritas; serta menanyai terduga pelaku atas KS yang dilakukan tersebut.
Namun, ketika berita itu diungkap dalam Majalah Lintas, edisi Januari 2022, berjudul “IAIN Ambon Rawan Pelecehan”, dua pengurus LPM Lintas bernama Pebrianto dan Nurdin dianiaya, sekretriat mereka dirusak, dan sembilan penulisnya dilaporkan ke Polda Maluku atas tuduhan pencemaran nama baik dalam UU ITE. Pemimpin Redaksi LPM Lintas, Yolanda Agne, termasuk yang menjadi korban kekerasan dari kampus hingga berdampak pada perkuliahan.
Baca Juga: Mengapa UAPM Inovasi Mengkritik Kampus?
Dengan kondisi seperti ini, saya kira perlu untuk menyampaikan alasan mengapa UAPM Inovasi mengkritik kampus. Alasan ini saya sampaikan lewat tulisan karena dalam setiap kesempatan bertemu dengan pihak kampus, alasan kami tidak mau didengar oleh mereka.
Saya menilai, bahwa potensi kekerasan terhadap Persma masih tinggi dan tidak bisa dihindarkan. Terlebih, ketika berita yang ditulis LPM berkaitan dengan 3 faktor utama pelaku melakukan represi. Termasuk, bila isu-isu yang diangkat berkaitan dengan dugaan skandal/kekerasan seksual yang terjadi di kampus. Dari masalah yang kompleks itu, kemudian saya mengundang Yolanda untuk berbagi pengalaman tentang peliputan KS untuk Persma di kampus.
Dalam Diskusi Komunitas Kolektif Jurnalistik (KKJ) yang diadakan pada Minggu, 2 Juli 2023, Yolanda menjelaskan tentang urgensi menentukan tujuan utama peliputan KS; jurnalis LPM perlu memiliki pemahaman dan perspektif matang mengenai KS; menyusun pemetaan risiko yang berpotensi dialami jurnalis/penyintas KS; dan menentukan langkah-langkah mitigasi risiko dari ancaman represi ketika meliput isu-isu tersebut.
Ia menegaskan bahwa tujuan utama LPM Lintas melakukan peliputan KS ialah mendesak kampus agar mempunyai Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di IAIN Ambon. Hal itu, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di setiap perguruan tinggi dan Peraturan Kemenag Nomor 73 Tahun 2022 tentang PPKS di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Dua peraturan itu mewajibkan setiap kampus memiliki Satgas PPKS yang diisi beragam elemen seperti akademisi, mahasiswa, Komnas Perempuan, dan jaringan solidaritas dari luar kampus (agar tidak menimbulkan bias dalam proses advokasi).
Setelah menentukan tujuan utama, LPM Lintas mulai melakukan penggalian data di lapangan. Mereka melakukan observasi, wawancara, dan mengumpulkan dokumen secara senyap. Kesaksian demi kesaksian mereka dapatkan secara snowball (bergulir dari orang ke orang). Hal itu, agar pihak kampus tidak mengendus adanya rencana peliputan KS tersebut. Sehingga tidak terjadi manipulasi kasus KS atau dalih-dalih kompromi memakai relasi kuasa antara kampus dan penyintas.
Langkah berikutnya, Yolanda berbagi pemahaman mengenai KS kepada pengurus LPM Lintas. Agar perspektif jurnalis saat mengeksekusi liputan semakin tepat, seperti: memahami jenis-jenis KS, mengenal konsensual, mengedepankan pemulihan psikologis penyintas, melindungi identitas mereka, menggunakan perspektif korban dalam peliputan, dan memegang teguh Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam pemberitaan kasus-kasus KS.
Setelah beres, ia membuat pemetaan risiko yang berpotensi dialami jurnalis LPM Lintas dan penyintas KS di kampus, ketika melakukan liputan hingga berita itu terpublikasi. Potensi risiko semacam itu, dapat kita ringkas menjadi empat bentuk represi, yaitu: secara fisik (aniaya, pemukulan, perusakan alat peliputan, penyekapan, dan lain-lain); psikis (intimidasi, ancaman pembunuhan, sindiran-sindiran di kelas, dan lain-lain), digital (doxing, peretasan, cyber attack seperti DDOS pada website, dan lain-lain), serta hukum (drop out dari kampus, ijazah tidak dikeluarkan, diberi nilai E atau tidak lulus mata kuliah, terkait delik-delik pencemaran nama baik dalam UU ITE, dan lain-lain). Setelah usai memetakan itu, dapat ditentukan siasat-siasat mitigasi yang dipakai untuk mengurangi risiko ketika: pra-liputan, liputan, dan pasca-liputan.
Mitigasi yang dimaksud, seperti: membangun jaringan solidaritas, konfirmasi cover all side, bekerja secara tim dengan komunikasi yang intens, dan mengamankan bukti yang ditemukan. Kendati, pola-pola advokasi litigasi dan non-litigasi yang berkaitan dengan represi Persma dalam beberapa kasus belakangan cenderung kalah dan berdampak buruk pada keberlangsungan perkuliahan, upaya menyuarakan keadilan harus tetap dirawat untuk membantu penyintas KS.
Upaya minimalisir represi terhadap Persma ketika meliput KS di kampus
Kita simpan dulu berbagai topik mengenai payung hukum Persma. Coba mulai berpikir mitigasi secara teknis, bukan berkutat soal hukum: UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU Penyiaran, atau Kebebasan Akademik; Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Hak Asasi Manusia/HAM).
Pertanyaan yang perlu diajukan sekarang ialah: apakah Persma akan selalu terkena represi ketika meliput hal-hal yang sensitif? Pasti, kalau Persma bekerja sendiri dalam meliput hal-hal sensitif itu. Lantas, bagaimana siasat minimalisir represi terhadap Persma ketika meliput kasus KS di kampus?
Jawabannya, dengan menjadikan Persma sebagai “whistle blower” (istilah yang dipakai Pepih Nugraha, Jurnalis Harian Kompas 1990-2016, yaitu pembisik/pembocor rahasia) atau narasumber yang berada di dalam instansi/lembaga dan mengetahui seluk-beluk skandal yang dilakukan kampus/perguruan tinggi tersebut. Karena, menjadi aktor dalam pemberitaan kasus KS, tidak selalu menjadi “produsen” berita. Dalam siasat ini, peran produsen berita dapat dikerjakan jurnalis media arus utama/lokal yang bergabung dalam barisan solidaritas advokasi kasus KS di kampus tersebut.
Penggunaan whistle blower sering dipakai dalam liputan investigasi yang sensitif. Contohnya, ketika Koresponden CNN Indonesia TV, Miftah Faridl, membuat liputan kolaborasi dengan Project Multatuli, IDN Times, dan Volkpop Media mengenai penghapusan data kematian Covid-19 ketika puncak pandemi tahun 2021. Terduga pelakunya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, Pemkot Malang, dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
Dalam liputan itu, kami memakai peran whistle blower (dengan merahasiakan identitas narasumber agar terjamin keamanan di tempat kerjanya) yang ada di dalam instansi/lembaga tersebut. Ia adalah orang yang turut prihatin, atas berbagai pencatatan data yang kacau selama pandemi Covid-19 di Indonesia.
Banyak pencatatan data yang berbeda antar instansi/lembaga di tubuh pemerintah sendiri. Dan, tidak jarang, ketiga pihak dari pemerintah itu memiliki pembelaan atas perbedaan pencatatan data kasus Covid-19 di wilayah masing-masing. Entah, alasan mengenai sistem bigdata New All Record (NAR), data yang pending, dan lain-lain. Ketiga pihak dari pemerintah itu masih sulit memastikan jawaban pasti terkait perbedaan data kematian Covid-19 yang begitu senjang.
Beberapa bulan kemudian, Miftah Faridl mendapatkan Anugerah Adinegoro tahun 2021 atas liputan kolaborasi yang diberi judul “Menghapus Mereka Yang Mati”. Tidak dipungkiri, peran whistle blower dalam memasok data-data penting untuk peliputan begitu besar. Dan, masih banyak liputan sensitif lainnya yang menggunakan peran whistle blower.
Sebagai salah satu siasat agar Persma tidak mendapat tekanan/represi dari kampus, mereka perlu mengisi peran sebagai whistle blower. Toh, antara produsen berita dan pemasok informasi (pembocor/pembisik) dari dalam instansi/lembaga memiliki peran yang “sama penting”. Tujuan utamanya, tetap sama, kasus KS terungkap ke publik, kampus dapat memberi sanksi kepada pelaku KS, dan membuat Satgas PPKS sebagai pencegahan KS terulang kembali.
Baca Juga: Mbokyah Syarat Buta Warna Ditinjau Ulang
Jika kalian amati, dalam perspektif saya mengenai atap UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, pasti kalian bisa menebak prasyarat apa itu. Yups, keterangan tidak buta warna bagi mahasiswa FITK.
Alasannya, bila yang melakukan publikasi berita kasus adalah jurnalis media arus utama/lokal, pihak kampus tidak mempunyai akses langsung untuk melakukan represi kepada mereka (kendati delik-delik pencemaran nama baik dari UU ITE masih dapat mereka gunakan, setidaknya jurnalis media arus utama/lokal telah dilindungi oleh perusahan media, organisasi profesi, dan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999). Sebab, jurnalis media arus utama/lokal bukan bagian dari kampus, tidak terdaftar sebagai mahasiswa aktif di perguruan tinggi tersebut, tidak memiliki ikatan akademik apapun, dan tidak dapat diancam Drop Out (DO).
Di sisi lain, dengan menggunakan siasat itu, pihak kampus tidak memiliki alasan melakukan represi terhadap Persma di perguruan tinggi tersebut. Karena, mereka tidak mempunyai bukti bahwa Persma terlibat dalam upaya pemberitaan media arus utama/lokal. Toh, Persma yang menjadi whistle blower, tidak menerbitkan berita kasus KS tersebut. Sehingga, rekam jejak keterlibatan Persma tidak dapat diendus secara langsung oleh kampus.
Hal itu, membuat potensi represi terhadap Persma mengenai pemberitaan kasus KS dapat berkurang. Sejurus dengan itu, peran Persma dalam menjadi penghubung (fixer) antara jurnalis media arus utama/lokal dengan pendamping penyintas/korban (sumber penting: disebut “A1” atau “deep throat” dalam istilah jurnalistik pada liputan skandal “Watergate” yang dikerjakan Carl Bernstein dan Bob Woodward) perlu diperkuat, serta membantu akses jurnalis media arus utama/lokal untuk melakukan wawancara/konfirmasi terhadap terduga pelaku KS.
Berikutnya, pertanyaan baru muncul: apakah semudah itu? Tentu saja, tidak. Saya masih belum berani menjamin bahwa jurnalis-jurnalis yang ada di setiap kota/kabupaten bersedia menjadi garda depan dalam publikasi kasus KS di kampus. Pertimbangannya, bisa saja tenggat waktu pengerjaan peliputan KS yang relatif lama, potensi risiko yang didapat pun besar (kendati dilindungi UU Pers), atau tidak direstui ruang redaksi di media tempat mereka bekerja (lantaran jumlah views, rating, bertolak belakang dengan visi/misi perusahaan media atau tekanan dari pemasok modal, dan lain-lain).
Sehingga, jurnalis-jurnalis yang perlu dilibatkan dan menjadi garda depan dalam publikasi kasus KS di kampus ialah mereka yang terbiasa dengan gerakan advokasi, aktivisme, dan solidaritas untuk korban/penyintas KS. Tidak lain, ialah mereka yang menjadi bagian dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Lantaran, AJI telah dikenal sebagai organisasi profesi yang terbiasa mengadvokasi kasus KS seperti Komnas Perempuan, LBH, KontraS, WCC, KIKA, dan lain-lain.
Pada akhirnya, semua yang saya tulis ini, hanya alternatif perlawanan yang dapat kita pakai untuk meminimalisir represi terhadap Persma. Dipakai atau tidak, itu bebas. Namun, bila dilihat dari berbagai sisi, tawaran ini lebih aman untuk keberlangsungan akademik Persma yang sering menelan pil pahit beberapa tahun belakangan. Banyak mahasiswa kritis yang terkena sanksi akademik, seperti: DO atau kegiatan belajar mereka dipersulit. Namun, ujungnya tetap saja jaringan solidaritas tidak bisa berbuat banyak. Sehingga, alternatif ini dapat mengingatkan kita kembali, bahwa Persma tidak hanya bagian dari jurnalis, tetapi juga mengemban tanggung jawab dari orang tua untuk menyelesaikan pendidikan dengan baik.(*)
Rangga Prasetya Aji Widodo, Jurnalis Lepas di Surabaya. Penulis bisa dikontak melalui Instagram (@rangga_zefsse) atau Email; ranggasby22@gmail.com
Editor: Wildan Firdausi
Ilustrasi: Amasta Pibagya
***
Pengumuman: Redaksi UAPM INOVASI menerima tulisan Opini, Esai, Sastra (Cerpen & Puisi) dan Resensi dengan ketentuan sebagaimana yang tercantum di www.uapminovasi.com/mari-berkontribusi. Kirim tulisan tersebut ke Email: redaksi.uapminovasi@gmail.com dengan disertai biodata ringkas kontributor.
jurnalisme kampus kekerasan seksual peliputan skandal
Last modified: 09 Agustus 2023