Written by UAPM Inovasi 12:36 Film, Opini • One Comment

Cerdasnya Anggy, Lebaynya Arifin C. Noer

Anggy

Sumber gambar: kompas.com

Saya salut sama Net TV yang menayangkan film 3 pada 31 Desember 2015 lalu. Sebab, film itu bisa dibilang film yang masih sangat baru, tayang perdananya saja tanggal 1 Oktober 2015. Tapi, sesalut-salutnya saya sama televisi milik Wishnu Tama itu, saya lebih salut lagi sama Anggy Umbara sang sutradara yang membuat film 3 ini menjadi film laga yang lebih edukatif dan berisi ketimbang The Raid.

Memang, secara koreografi film 3 ini harus mengakui kekalahannya dari The Raid. Namun, secara pesan dan isi, film ini jauh lebih kritis dan bermakna dari film yang diaktori oleh Iko Uwais itu. Film 3 juga film yang orisinil. Film ini mencoba menggambarkan kondisi Jakarta tahun 2036. Tak pernah saya tonton film anak negeri yang mengambil setting di masa depan.

Seperti film garapan Anggy Umbara lainnya (Comic 8 dan Mama Cake), film 3 berusaha menyentil mitos sejarah G30S/PKI 1965. Misalnya tentang keberadaan double agent di peristiwa berdarah tersebut. Asal tau saja, sejarah kelam penghancuran PKI di negeri ini ditulis oleh Sjam Kamaruzzaman si double agent yang dipercayai DN Aidit memata-matai ABRI. Sjam adalah orang yang membenarkan segala propaganda ABRI, yang menyatakan PKI lah dalang dari gerakan G30S 1965.

Pada saat Sjam diadili tahun 1968, Benedict Anderson (peneliti sejarah G30S 1965) yang hadir persidangan curiga bahwa Sjam adalah agent yang ditaruh ABRI di tubuh PKI. Ia memata-matai ABRI sekaligus memata-matai PKI. Tapi diakhir, ia memihak ABRI.

Di film 3 karya Anggy itu, juga digambarkan ada double agent yg ditaruh di pesantren. Gunanya untuk merakit bom dan menjadikan pesantren sebagai kambinghitam atas segala tindak kejahatan sang antagonis.

Tidak hanya itu, film besutan Anggy ini makin keras menyentil dengan menyuguhkan dialog tentang perlunya mengorbankan para Jenderal untuk revolusi. Bunyi dialog di film itu kira-kira begini; “Untuk revolusi kita membutuhkan tumbal, (yaitu) kematian para jenderal itu.”

Dialog tersebut seolah-olah ingin menyampaikan bahwa seperti itu pulalah yang digagas oleh dedengkot Orde Baru, ketika merencanakan penghancuran PKI yang sekaligus menggulingkan Soekarno. Itu hanya sekelumit bukti bahwa Anggy Umbara sedang mengkampanyekan melek sejarah G30S 1965 kepada kita semua. Bukti lainnya bisa kita telusuri dari film Anggy yang lain; Comic 8.

Film tersebut, menurut saya tidak seberani film 3 ketika bicara soal sejarah G30S 1965. Berdasarkan amatan saya, film yang dibintangi oleh para komika stand up comedy tersebut hanya menampilkan satu dialog saja ketika nyentil sejarah G30S 1965, yaitu pada saat Arie Kriting marah-marah ke kapten polisi Bunga. “Kau berani bohongi kami he!!!?? Darah itu merah Jenderal!,” kata Arie pada kapten polisi Bunga.

Merasa keliru lawan bicaranya bukan berpangkat Jenderal, Arie keriting pun tanya ke Ernest. “Ini jenderal apa kapten?”. “Kapten,” jawab Ernest. “Darah itu merah, kapten! Kami akan bunuh para sandera!” ralat Arie pada kapten polisi Bunga.

Dari dialog itu, jelas terlihat Anggy Umbara sedang melambungkan ingatan kita pada film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karya Arifin C. Noer yang kerap diputar oleh Orde Baru pada tiap 30 september.

Disini saya melihat Anggy menyindir kebenaran penyiksaan para jenderal yang dilakukan oleh wanita-wanita Gerwani. Dengan kalimat lebay “darah itu merah Jendral”, orde baru membuat kejadian di lubang buaya pada 1 oktober 1965 terkesan dramatis dan horor. Walaupun kita tahu belakangan bahwa penyiksaan tersebut fiktif belaka.

Asal tau saja, di film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI digambarkan wanita Gerwani menyilet, menyundut dan mencungkil mata para Jenderal yang sedang sekarat. Penggambaran dalam film berdurasi 4,5 jam itu ternyata beda dengan pengakuan dokter Arif Budianto yang terlibat dalam visum mayat para jenderal.

“Tidak ada bekas pencungkilan secuil pun pada rongga mata para korban,” katanya. Tidak ada pula bekas penyiksaan. Hasil visum menyatakan bahwa para Jenderal hanya ditembak dari jarak dekat. Menurut hemat saya, berdasarkan pengakuan dokter itu pulalah Anggy Umbara menolak kebenaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.

Ga percaya Anggy Umbara menolak kebenaran film karya Arifin C. Noer itu? Coba anda tonton deh, film pertama garapan Anggy, Mama Cake.

Film yang dibintangutamai oleh Omesh itu bercerita tentang 3 orang yang bersahabat melakukan perjalanan Jakarta ke Bandung untuk membeli brownies Mama Cake. Sepuluh menit pertama dalam film itu, Rakha (Ananda Omesh), Willy (Boy Wiliam), dan Rio (Arie Daging) debat soal film nasional favorit mereka.

The Notes of the Boy” ujar Willy

“Ha? Catatan si Boy!” Rakha menerjemahkan maksud Willy.

“Oh. Kalau (film favorit) gue, G 30 S PKI. Karena berhasil menipu 270 juta rakyat Indonesia,” tandas Rakha.

Melalui mulut Rakha, Anggy dengan frontal menyatakan film besutan Arifin C. Noer merupakan film yang menipu seluruh warga Indonesia. Suatu pernyataan (yang mungkin terkesan) kontroversial saat masyarakat Indonesia masih dibuai ilusi akan kebenaran film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI.

Tapi, disanalah sebenarnya letak kecerdasan dan keberanian seorang Anggy Umbara. Dengan membuat film yang menghibur, ia secara tak langsung mendidik penontonnya untuk skeptis terhadap film Arifin C. Noer sekaligus mengajak untuk mempertanyakan kembali kebenaran sejarah G30S/PKI 1965. Ia melawan ‘dogma’ yang dibuat orde baru dengan sikap arif. Melawan film (Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI) dengan film, bukan dengan golok atau unjuk rasa.

Dengan sikap seperti ini, ia berperan layaknya seorang akademisi; menolak suatu teori dengan menyuguhkan teori yang lain. Mereaksi wacana dengan wacana. Tidak mereaksi wacana dengan serangan fisik seperti yang selama ini dilakukan oleh preman jalanan dan kelompok ekstrimis.

Gara-gara sikap arif nan akademis itulah saya katakan dengan naif; sesalut-salutnya saya sama Net TV, saya lebih salut lagi sama Anggy Umbara. Sekian.[]

Hendri Mahendra

(Visited 137 times, 1 visits today)

Last modified: 05 Februari 2016

Close