Written by UAPM Inovasi 12:45 Cerpen, Sastra

Luka Ayu

IMG-20160513-WA0002

   Perempuan itu berdiri di ujung tebing. Matanya nanar menatap laut yang menghantam batu-batu besar di bawah kakinya. Pikirannya kosong. Sesekali ia hanya mengingat beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya. Ingatannya terpotong-potong, bolak-balik, tak berurutan.

Gelas pecah, seorang wanita berteriak. Ayu berlari, sebuah tongkat terpental menabrak pembatas jalan. Mobil merah melaju kencang. Teriakan wanita itu semakin lantang, darah berceceran. Lelaki tua mengerang, matanya berlinang. “Ayuuu…”. Suaranya hilang redam di antara kerumunan orang. Ayu berdiri kaku di jalan sebrang.

Blar…!!!

Guntur bergemuruh dari langit kelabu, yang ujungnya bertemu ujung laut di sana. Ayu menggigil.Suara ombak dan Guntur yang tiba-tiba membuat hatinya terasa meledak. Kedua tangannya perlahan merengkuh bahunya sendiri, memeluk dirinya sendiri. Satu dua rintik air berjatuhan, gerimis terasa seperti bulir es menusuk permukaan kulit setelah jatuh dari berjuta-juta ketinggian. Ayu menangis, tapi mata bengkaknya tak kunjung basah.

“Aaaa!!!”

   Ia berteriak tanpa suara, tenggorokannya kering serak. Berkali-kali kedua kepalan tangannya memukul dadanya, yang sesak hendak meledak. Kakinya gemetar. Ujung jari-jari kakinya mati rasa, mencengkram permukaan batu kasar hingga berdarah. Ingin segera Ayu menceburkan diri pada laut di bawah sana. Membenturkan kepalanya pada tebing-tebing yang menjulang itu.

   Tubuhnya kian membungkuk, saat selangkangannya tiba-tiba nyeri. Lalu ingatan-ingatan itu kembali;

Empat orang lelaki berbau arak mendekat. Satu orang dari mereka tiba-tiba mendekap dari belakang. Seorang lagi meraih kancing baju Ayu. Sedang lainnya tertawa dengan mata merah membelalak. Ayu berteriak. Botol arak pecah di kepalanya. Gelap. Hilang. Nyeri.

Ayu membuka mata. Ibunya menangis memegang tangannya. Ayahnya berdiri di ujung pintu, lalu pergi tanpa menoleh. “Tuk Tuk Tuk” bunyi tongkatnya. Beberapa tetangga juga berada di ruangan itu, memandang Ayu dengan mata menyipit dan bentuk bibir yang aneh. Seaneh tubuh Ayu yang berasa sakit semua. ia ingat, ia tahu.

   Ayu melempar semua benda di meja samping kasur, mengacak-ngacak rambutnya sendiri, berteriak, mendorong perempuan yang mencoba memeluknya sambil menangis. Ayu melihat sebuah pintu.Ia ingin segera mencapai gagangnya. Agar sesak dadanya, nyeri hatinya, cepat reda.

Tubuh Ayu meluncur, dibalut angin dingin membentur tebing-tebing.

“Byur!!!”

Pengajian malam itu dihadiri oleh hampir seluruh masyarakat di desa Mejeng. Laki-laki maupun perempuan duduk di lapangan setengah basah karena hujan tadi siang. Anak-anak tidur di pangkuan ibu-ibunya. Hari sudah malam, tapi para perempuan setengah baya itu tetap tak kunjung pulang.

Suara kiai yang bicara dari atas panggung membahana ke seluruh telinga pendengarnya. Hingga gadis kecil terbangun dari kantuknya, dan menangis. Ibu anak kecil itu berusaha menenangkan. Sia-sia. Gadis kecil itu menangis kian nyaring, kepalanya terasa panas dibungkus kain yang ibunya sebut jilbab. Beberapa perempuan di sekitar mereka menoleh, menatap anak kecil yang menangis karena terbangun dari tidurnya dan kepalanya kepanasan itu dengan mata dingin dan mulut mengerucut. Salah satu dari mereka meletakkan jari telunjuk di mulut lalu berucap, “hust!”

Sang ibu merasa malu, ditatap mereka. Dicubitlah anaknya. “hust. Diem! Dengerin kata pak ustad tuh. Kalau Dini masih nangis, entar masuk neraka lho”. Dini menghentikan tangisnya tiba-tiba. Menahan tangisnya sambil sesenggukan. Ia tidak mau masuk neraka. Kemaren ustad di sekolahnya bererita bahwa dari pada lelaki, lebih banyak perempuan yang masuk neraka. Dini tidak ingin menjadi salah satu dari peremuan itu, dicebur di neraka, api yang panasnya berkali-kali lipat dari api dunia.

“panas, Bu..”Dini berusaha mencopot jilbabnya.

“jangan. Perempuan harus memakai jilbab. Jika tidak, nanti masuk neraka.” Ibunya berbisik seraya membetulkan jilbab Dini yang mulai tak karuan. Dini diam. Ia tak akan membuka jilbabnya, jika itu akan membuatnya masuk ke dalam api neraka. Tapi kepalanya benar-benar terasa panas oleh keringat. Sesekali Dini mengaruk kepalanya, lehernya, dan menarik-narik rambutnya. Terasa ada yang berjalan di seluruh kepalanya, di antara rambut-rambutnya. Ia tidak tahan, ingin menangis. Tapi Dini takut masuk neraka.

“ibu-ibu. Anak gadis itu titipan Tuhan yang paling rentan. Hati-hati ya Pak, Bu. Punya anak perempuan itu berat. Kita harus menjaga mereka dari banyak hal. Menjaga tingkah laku, sikap, jangan biarkan mereka pulang malam, berjalan-jalan sendirian.. pokoknya hati-hati ya bu.” Kiai itu berkoar-koar dari atas kursi sofa. Mengingatkan bapak ibu agar menjaga putri mereka dengan sebaik-baiknya.

Dini mendengarnya, hatinya berbunga. Ia merasa dispesialkan. Sebagai anak perempuan yang harus dijaga oleh bapak ibu dengan sebaik-baiknya. “ibu.. kepalaku panas, gatel. Saya buka jilbab ya.” Dini merengek. Ia yakin ibunya akan mengijinkannya membuka penutup kepala yang kali ini benar-benar menyiksanya. “jangan Dini. Perempuan harus pakai penutup kepala!” ibunya berkata seraya membelalakkan mata. Dini ketakutan, tapi tak tahan lagi. Ia dengan cepat membuka jilbabnya dan melemparkannya. Bibirnya merengut, matanya berkaca-kaca, dan mulai merengek.

Beberapa ibu-ibu yang duduk tidak jauh dari mereka sontak menoleh. Menatap Dini dan ibunya dengan penuh perhatian. Dini merasa telah membuat panggung kecil untuk dirinya dan ibunya. Seperti panggung kiai di depan sana. Tapi orang-orang memandang mereka dengan pandangan tidak sama dengan pandangan pada kiai di atas panggung. Mereka berbisik-bisik. Mencuri-curi pandang. Menyipitkan mata, memonyongkan bibir, dan menggeleng-gelengkan kepala.

“aduh. Masih kecil sudah kayak gitu. Gimana nanti kalau udah besar..”

“nggak mau pake jilbab dia. Kalau dewasa mau jadi apa.”

“nggak salah kalau nanti dia bernasib seperti si Ayu! Diperkosa!”

“iya. Makanya. Perempuan itu ya harus pake jilbab to.”

“ibunya nggak bener juga, biarin anaknya buka jilbab.”

“padahal lagi di pengajian.”

“duh.. kita harus tegas kalau punya anak gadis.”

“iya. Jangan kayak dia”

Dini merasa tatapan para perempuan itu menusuk segala permukaan kulitnya. Menghujam tubuh kecilnya. Dan membuat ibunya tertunduk lalu tiba-tiba menatap Dini dengan mata merah dan kedua alis yang hampir bertaut. “Dini! Pakai jilbabmu!”. [Uswatun Hasanah]

Editor: Luluk Khusnia

 

(Visited 78 times, 1 visits today)

Last modified: 13 Mei 2016

Close