Saat lalu-lalang kendaraan sibuk membawa bekal malam minggu masing-masing, sepanjang jalan Merjosari terlihat macet. Tetapi, bekal dan tujuan apa yang membawa Anda, akan membuat riuh kemacetan menjadi bermakna. Lengang, seperti ruang lepas di Samudera luas.
Maghrib berakhir, cahaya senja mulai hilang, riuh kemacetan di Sabtu malam (24/10) mulai terlihat sepanjang jalan. Sebuah pamflet yang saya terima dari seorang kawan memberikan alamat agenda malam itu, “Bincang Solidaritas; Diskusi bersama Solidaritas Sosial Malang dan Solidaritas Rukun Pakel”. Dengan sepeda motor yang memiliki suara ngik-ngok di ban depan akibat belum diperbaiki, saya keluar kos lantas menjemput seorang teman untuk ikut dalam agenda itu. Kedai Lowak namanya, sebuah kedai kecil di pinggir jalan Joyosari, depan Toko Konveksi Eko Sukadi.
Sampai di sana, kami langsung disuguhi pemandangan hitam pekat yang muncul dari pakaian peserta. Menjelang Isya, acara belum juga dimulai. Sambil kami menunggu, kami memesan dua jenis minuman berbeda. Saya memesan es coklat campur rempah dan lainnya adalah ThaiTea. Agenda belum dimulai sebab kami menunggu Tanasaghara, wakil narasumber dari Solidaritas Rukun Pakel dan tiga kawan lain dari Solidaritas Sosial Malang sebagai narasumber kedua.
Para Narasumber hadir setelah Isya berlalu. Kevin, selaku moderator acara mulai membuka acara di hadapan peserta. Sementara narasumber, telah hadir di depan panggung dan duduk di atas sofa merah Panjang. Dengan dua sound kecil sederhana, dua mic kabel dan satu stand mic di ruang kedai yang terbuka, Kevin meminta agar Solidaritas Sosial Malang lebih dahulu bercerita mengenai gerakan yang mereka geluti. Usai rampung cerita dari Solidaritas Sosial Malang, maka Kevin meminta Tanasaghara bercerita mengenai kisah cinta singkat orang-orang Pakel, Lisan, Banyuwangi yang ia ketahui.
Dengan tubuh membungkuk, dan sebuah mic kabel. Pria berbaju Merah, Tanasghara demikian orang mengenalnya, memulai ceritanya.
“Seperti halnya tempat-tempat lain yang sedang mempertahankan ruang hidupnya, Pakel juga adalah suatu tempat yang dimana masyarakatnya sedang mempertahankan ruang hidupnya atas ancaman yang telah hadir bertahun-tahun. Cerita itu telah dimulai sejak tahun 1925.
Dalam rilis Walhi kronologi Konflik Agraria warga Pakel-Banyuwangi : Kronologi Perjuangan Warga Pakel 1925 – Sekarang, pada tahun 1925 era pendudukan Belanda, 2956 orang warga pakel yang diwakili oleh Doelgani, Karso, Senen (Desa Sumber Rejo Pakel), Ngalimun (Desa Gombolirang), Martosengari, Radjie Samsi, dan Etek (Desa Jajag) mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Desa Pakel ke pemerintahan kolonial Belanda.
11 Januari, 1929, permohonan mereka dikabulkan oleh Bupati Banyuwangi, Noto Hadi Suryo. Namun hal itu tak berlangsung lama, Asisten Wedono Kabat, pejabat lokal merampas kebijakan itu. Alasannya, mereka harus mendapat izin dari kantor kehutanan. Tetapi mereka tak tinggal diam, mereka berusaha mempertahankan hutan itu. Meski sayang, Wedono Kabat pada akhirnya menyuruh untuk membabat tanah itu dan mereka yang mempertahankan diikat tangannya. Saat itu juga, Doelgani cs ditangkap atas tuduhan komunis.
Sebanyak 170 warga Pakel ditangkap termasuk Doelgani cs. Mereka dibawa ke Banyuwangi untuk diperiksa. Tetapi keberuntungan tetap berada di pihak mereka. Mereka bebas atas tuduhan yang ada dan mereka dapat pulang kembali ke tempatnya. Tak berhenti di situ, Wedono tak tinggal diam, Doelgani cs beserta warga lain tetap ditangkap oleh Wedono dan surat izin mereka dirampas. Pertarungan itu terus berjalan dan Doelgani cs mengalami kekalahan.
Beberapa dekade berlalu, era perlawanan baru telah dimulai, konflik yang semula melawan kolonial Belanda, kini mereka melawan korporasi. Selasa, 17 Agustus 1999, warga pakel berhasil menduduki kembali lahan mereka. Tetapi mereka yang mempertahankan, nyatanya ditangkap, dipenjara dan dikriminalisasi. Pelakunya kini adalah Perhutani dan PT. Bumi Sari. Puncaknya pada tahun 2001, rumah, tanaman warga dan lahan mereka dibabat dan dibakar oleh kedua pelaku di atas.
Pada tahun 2001, Warga Pakel mulai kembali menduduki lahan mereka. Mendirikan posko-posko dan berupaya mengaktifkan ruang-ruang kecil yang mereka miliki. Puncaknya, pada tahun 2019 ketika mereka berhasil menduduki lahan secara penuh dan sudah berjalan selama setahun mereka mulai merasakan kemenangan-kemenangan kecil.
Sesuai surat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Banyuwangi, Nomor 280/600.1.35.10/II/2018, pada 14 Februari 2018, ditegaskan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PT Bumi Sari.
Warga Pakel sebagai masyarakat sipil, menurut Tanasaghara tetap membutuhkan solidaritas dari pihak luar. Tetapi dalam hal ini, mereka sempat mengalami trauma akibat adanya penipuan dari salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mereka namakan sebagai Tim 10 pada tahun 2018. Solidaritas Rukun Pakel sendiri memang turut serta dalam membantu upaya pertahanan Warga Pakel terhadap ruang hidup mereka. Namun kasus mereka berbeda.
Solidaritas Rukun Pakel
Sebagai solidaritas kami memulai gerakan baru di tahun 2020. Kebetulan kami datang waktu itu karena dikejar-kejar polisi dan setelah kami mengetahui di Pakel ada hal yang perlu dipertahankan yang berkaitan dengan ruang hidup, kami mulai melakukan pengorganisiran massa. Kami melakukan pengorganisiran massa tanpa memposisikan diri sebagai orang luar, karena jika kami memposisikan sebagai itu, warga Pakel memiliki trauma.
Selain itu, Tanasaghara juga menjelaskan bahwa Solidaritas yang ia ikuti hanyalah sebagai mediator kebutuhan warga. Karena menurut Solidaritas mereka, hal yang paling terpenting adalah warga memahami sendiri apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Saat itu 24 September warga pakel dan solidaritas menduduki lahan di Pakel yang dikuasai oleh perusahaan. Kami sebagai solidaritas waktu itu bersinergi dengan pelbagai metode. Riset bersama, analisis kelas untuk pengorganisiran dan peta politik masyarakat. Bahkan tak jarang kami ikut serta dalam Program Desa yang bukan menjadi bagian kewajiban kami.
Dalam hal ini beberapa upaya yang telah dilakukan oleh Solidaritas Rukun Pakel adalah mengaktifkan ruang hidup. Seperti membentuk Ruang sosial semacam lapak buku atau perpustakaan gratis, dapur umum guna ketahanan sosial, aktivasi ronda, bahkan sampai hal terkecil seperti mencukur rambut.
Kami tak banyak bicara, melainkan banyak mendengar. Karena harapan kami perjuangan ini menjadi perjuangan jangka Panjang. Maka dari itu, kami perlu komunikasi sinergis dan juga baik. Maka inisiatif kami setelah mendudukan lahan kami mencoba membuat posko, untuk melindungi ketahanan ruang hidup.
Selain itu, Solidaritas Rukun Pakel juga beserta warga sedang mencari metode ekonomi tandingan yang tepat di tengah monopoli Ekonomi Negara. Terlebih dalam hal penyadaran daulat Ekonomi.
Kami ingin bahwa gerakan ini memiliki nafas Panjang, tidak bersifat sementara. Maka kami perlu kehati-hatian. Bahkan harapan kami, warga bisa di suatu waktu nanti dapat membentuk ekonomi tandingan.
Kami mengincar selain perjuangan panjang, kita perlu membentuk kesadaran kolektif bersama. Misal kekhawatiran kami adalah apabila perjuangan ruang hidup menang, warga pakel justru akan menjual lahannya. Tetapi itu pun, tetap pada kesadaran mereka yang mengetahui lapangan perjuangan mereka. Dan bersyukurnya mereka sadar”.
Usai diskusi rampung, suasana acara tampak redup. Masih di tempat yang sama, Tanasaghara sebagai salah satu penghibur acara itu mengambil gitar akustik coklat dan ia lingkarkan di lehernya. Satu mic beserta stand yang ada di hadapannya, ia gunakan sekaligus untuk menutup acara. Cerita, lirik musik beserta iringan melodi yang ia bawakan kini menjadi satu kesatuan cinta di malam itu, malam minggu dan cerita cinta Manusia Pakel di Kedai Lowak.
Percik api menyala-nyala
Suara mantra-mantra
Bergumam di kepala
Beranilah jiwanya
Mengudaralah genggaman
Di ruang kehidupan
Atas nama cinta yang hilang
Panjang umur perjuangan . . . []
banyuwangi pakel rebutkembalipakel tanasaghara
Last modified: 24 Oktober 2021