Written by UAPM Inovasi 07:37 Berita Kampus, Buletin Patriotik

Menakar Keberlanjutan PPBA

Sejak pertama kali diberlakukan di UIN Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang pada tahun 1997, Program Pengembangan Bahasa Arab (PPBA) sempat mengalami beberapa perubahan kebijakan. Slamet Daroini selaku Kepala PPBA, menyebutkan bahwa pihak PPBA tercatat sudah empat kali melakukan perubahan kebijakan sejak tahun 1997 hingga 2015 ini. Perubahan yang dimaksud Slamet, yaitu dalam hal sistem pelaksaaan terhadap program yang awalnya bernama Program Khusus Pengembangan Bahasa Arab (PKPBA) itu.

Pada tahun 1997 hingga 2003, mahasiswa dikelompokkan menjadi beberapa kelas berdasarkan tingkat kemahiran berbahasa Arab, tanpa membedakan jurusan yang diambilnya. Materi yang diajarkan lebih bersifat pemahaman bahasa Arab secara umum.

Pada tahun 2004 hingga 2012, pembagian kelas masih berdasarkan tingkat kemahiran berbahasa Arab dan materi yang diajarkan bersifat umum. Namun, perbedaannya terletak pada semester dua. Mahasiswa mulai dikelompokkan sesuai dengan fakultasnya dengan materi bahasa Arab yang masih umum.

Mulai tahun 2013 hingga sekarang, kebijakan kembali berubah. Mahasiswa tetap dikelompokkan berdasarkan tingkat kemahiran berbahasa Arab. Pada semester pertama, mereka diajarkan materi bahasa Arab yang bersifat umum. Kemudian pada semester berikutnya dikelompokkan sesuai fakultas dan materi yang diajarkan yaitu bahasa Arab yang terkait dengan materi keilmuan di fakultas.

Tahun 2015, terdapat perubahan kembali. Khususnya dalam hal durasi jam belajar. Pada tahun-tahun sebelumnya, semua mahasiswa mendapatkan durasi jam belajar yang sama, baik itu mahasiswa yang mahir berbahasa Arab maupun tidak. Mulai pukul 14.00-16.30 WIB dan berlanjut pada pukul 18.30-20.00 WIB. Sehingga apabila diakumulasikan, jumlah durasi belajar selama 4 jam dalam sehari. Kini, dalam sehari, mahasiswa kelas atas yang dianggap mahir berbahasa Arab mendapatkan durasi belajar hanya selama 1,5 jam. Kelas menengah selama 2,5 jam. Sedangkan kelas bawah selama 4 jam.

Perubahan kebijakan tersebut, menurut Slamet dilakukan demi mencapai tujuan dari PPBA itu sendiri. “Ya memang arahnya ke sana (tujuan PPBA_red),” ungkapnya. Dalam buku Pedoman Pendidikan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2015 tertulis bahwa tujuan PPBA, yaitu; membekali mahasiswa kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Arab secara lisan dan tulis; serta membekali mahasiwa kemampuan membaca, memahami, dan menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab. Tujuan tersebut sejalan dengan misi Pusat Pengembangan Bahasa yang ingin mengantarkan seluruh mahasiswa dari semua fakultas atau jurusan memiliki kemampuan dan keterampilan berbahasa Arab secara aktif melalui PPBA.

Berdasarkan data hasil evaluasi Ujian Akhir PPBA Semester Genap Tahun Akademik 2014/2015, terdapat 64 mahasiswa yang mendapatkan nilai D dan 117 mahasiswa dengan nilai E. Total keseluruhan mahasiswa pada tahun akademik 2014/2015 saat itu yakni 2644 mahasiswa.

M. Anwar Mas’adi, salah satu dosen wali kelas PPBA pada tahun 2014 menjelaskan, nilai D diberikan kepada mahasiswa yang benar-benar tidak menguasai materi bahasa Arab. Sedangkan, bagi mahasiswa yang jarang mengikuti PPBA atau sering absen, akan mendapatkan nilai E. Pemberian nilai E tersebut tidak mempedulikan apakah mahasiswa itu sebenarnya cukup berkompeten dalam bahasa Arab ataupun tidak. Sehingga, mereka yang mendapatkan nilai D dan E wajib mengulang PPBA pada dua semester berikutnya.
Jika mengaitkan pernyataan Anwar dengan data hasil hasil evaluasi Ujian Akhir PPBA Semester Genap Tahun Akademik 2014/2015, maka terdapat 181 mahasiswa yang wajib mengulang PPBA. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari mahasiswa yang mendapatkan nilai D dan E.

Sejauh ini, mahasiswa yang lulus PPBA dengan nilai A, belum tentu dapat berkomunikasi aktif menggunakan bahasa Arab. Faradinna Fajrin Auliya Darmawan misalnya, mahasiswa Jurusan Psikologi semester tiga mengungkapkan sempat mendapatkan nilai A pada maharah kalam (kemampuan berbicara). Namun, dia mengaku belum terlalu fasih berkomunikasi menggunakan bahasa Arab. Mahasiswa yang akrab disapa Fara tersebut menuturkan, suatu ketika dirinya pernah ditanyai tentang kemampuannya berbahasa Arab. “Saya bilang gak bisa bahasa Arab,” ungkapnya. Pada akhirnya, Fara pun ditertawakan. Hal tersebut jelas berbeda dengan apa yang dikatakan Slamet, “Mestinya A menjamin bisa ngomong lancar.”

Dalam hal pemberian nilai pun, dosen bahkan sempat melakukan kecurangan. Salah satunya yaitu memberikan kunci jawaban kepada mahasiswa saat pelaksanaan ujian. “Pernah, semester satu, waktu placement test (ujian penempatan kelas_red),” beber Farid Juniardi. Kunci jawaban tersebut tidak hanya diberikan kepadanya, namun juga seluruh teman sekelasnya. Di antara 50 soal yang diujikan saat itu, dosen tersebut memberikan kunci jawaban untuk 25 soal terakhir. Menurut mahasiswa Jurusan Psikologi tersebut, hal itu dilakukan oleh dosen agar para mahasiswanya mendapatkan nilai bagus. Sehingga, pada semester berikutnya mereka tidak berada di kelas bawah.

Berdasarkan kasus-kasus yang sempat dialami mahasiswa tersebut, pelaksanaan PPBA yang berlangsung selama kurun waktu satu tahun, ternyata tidak serta merta menjadikan tujuannya tercapai. Buktinya, masih terdapat sebagian mahasiswa yang belum mampu menguasai bahasa Arab. Meskipun mereka telah mendapatkan materi bahasa Arab dalam kurun waktu tersebut.

Seperti Saiful Rojiq. Pria yang baru saja meluluskan studinya di UIN Maliki Malang pada Agustus 2015 tersebut, pernah meminta bantuan dari temannya untuk menerjemahkan abstrak skripsinya ke dalam bahasa Arab. Dia mengungkapkan bahwa dirinya memang lemah dalam bahasa Arab, meskipun sudah mempelajarinya selama setahun dalam PPBA. “Masih kurang (waktu setahun_red) bagi saya, kan baru belajar bahasa Arab di UIN,” tuturnya.
Slamet pun berpendapat bahwa mempelajari bahasa memerlukan waktu yang tidak sebentar. Terlebih, bahasa merupakan ketrampilan yang membutuhkan pembiasaan dengan cara praktik dan latihan. “Ketrampilan itu tidak dihafalkan, tidak dipahami. Tetapi, ketrampilan itu dilatihkan,” ungkap Slamet.

Slamet menambahkan bahwa demi tercapainya tujuan PPBA, perlu dilakukan tindakan-tindakan sebagai bentuk keberlanjutan dari PPBA itu sendiri. “Ya sangat perlu, bahkan itu wajib sebenarnya!” ujarnya. Slamet menambahkan bahwa dirinya berkeinginan agar pihak fakultas juga dapat mendorong keberlanjutan PPBA. “Saya setuju ketika di masing-masing fakultas itu untuk materi-materi keagamaan seharusnya dengan bahasa Arab. Sehingga, nyambung. Ada keberlanjutan,” tegasnya.

Sayangnya, tidak semua fakultas maupun jurusan dapat menerapkan bahasa Arab dalam pembelajaran di kelas reguler. Seperti di Jurusan Pendidikan Agama Islam misalnya. Rosidin, dosen mata kuliah Studi Al-Qur’an di jurusan tersebut, mengaku belum mampu untuk mengajar menggunakan bahasa Arab. Menurutnya, kapasitasnya dalam berbahasa Arab masih terbilang pasif. “Seandainya saya mampu berbahasa Arab aktif, saya pasti antusias mengajar dengan bahasa Arab,” ujarnya. Rosidin juga menyarankan, “PPBA perlu men-training dosen-dosen yang setipe saya, masih pasif. Agar menjadi aktif. Sehingga, lebih percaya diri untuk meggunakan bahasa Arab di kelas.”
Selain itu, menurut Rosidin, etos membaca bagi para mahasiswa masih minim. Terlebih, apabila bahan bacaan tersebut menggunakan bahasa asing. Sehingga, menurutnya, bagaimana mungkin mahasiswa dituntut untuk berbahasa Arab secara aktif apabila berbahasa Arab pasif saja masih bermalas-malasan.

Terkait keinginan untuk menerapkan bahasa Arab di kelas reguler, Slamet juga sempat menyebutkan keinginan yang belum tercapai dari PPBA. Salah satunya yaitu memasukkan bahasa Arab ke mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) yang memiliki basic desain teknik. Agung Sedayu, Kepala Jurusan Teknik Arsitektur menyatakan bahwa sebenarnya program tindak lanjut dari PPBA memang penting. Pasalnya, mungkin saja nanti ada mahasiswa yang berprofesi di negara Arab. Namun, hal tersebut masih sangat belum memungkinkan untuk dilakukan, khususnya di Jurusan Teknik Arsitektur. “Itu penting, tapi berat menurut saya,” ungkap Agung.

Pernyataan Agung tersebut bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa kendala yang tidak memungkinkan diberlakukannya bahasa Arab di Jurusan Teknik Arsitektur. Seperti kemampuan dosen misalnya. Menurut Agung, tidak semua dosen menguasai bahasa Arab. Selain itu, dia juga mengaku, “Selama ini kita hanya ada kursus bahasa Inggris.” Jadi, sejauh ini, dosen di jurusan tersebut belum dibekali dengan program kursus bahasa Arab.
Dari sisi mahasiswa pun demikian. Agung menambahkan bahwa kurang lebih 60 persen mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur berasal dari sekolah umum yang notabene-nya tidak memiliki bekal bahasa Arab. Selain itu, tidak ada satu pun mata kuliah di Jurusan Teknik Arsitektur yang menggunakan buku referensi berbahasa Arab. “Referensi kita pakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,” tutur Agung.

Menanggapi harapan dari pihak PPBA agar bahasa Arab dapat diterapkan di kelas reguler, Agung dan Rosidin mengaku keberatan. Demikian halnya dengan Fara dan Farid sebagai mahasiswa. Mereka tidak setuju dengan penggunaan bahasa Arab untuk mata kuliah di kelas reguler, baik itu mata kuliah yang bersifat keagamaan maupun nonkeagamaan. Pasalnya, tidak semua mahasiswa memiliki kemampuan berbahasa Arab yang mumpuni.

Rosidin menekankan bahwa seharusnya kampus mampu membuat kebijakan yang sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Menurutnya, selama ini kampus terkesan memberikan kebijakan yang berbasis up-down, yaitu apapun kebijakan atasan harus dilakukan oleh bawahan. Terlebih, kebijakan tersebut semata-mata dilakukan demi naiknya citra kampus. Rosidin mencontohkannya dengan kebijakan skripsi. Menurutnya, hanya karena terkenal memiliki koleksi skripsi berbahasa asing, kampus pun mewajibkan penulisan skripsi dalam bahasa Arab. Sementara itu, masih terdapat kebijakan lain yang menurut Rosidin membuat mahasiswa merasa berat untuk melakukannya. Seperti mewajibkan seluruh mahasiswa menghafalkan 1 juz Al-Qur’an tiap semester dalam PPBA. Apalagi, jika nantinya harapan dari pihak PPBA untuk menggunakan bahasa Arab dalam pembelajaran di kelas reguler terealisasi. “Mahasiswa membutuhkan kebijakan-kebijakan yang riil. Bukan sekedar kebijakan yang menaikkan citra kampus, namun mahasiswa tertatih-tatih melaksanakan kebijakan tersebut,” tegas Rosidin.[Luluk Khusnia]

*Buletin Patriotik Edisi “Upgrading Skills of Journalism” Desember 2015

(Visited 29 times, 1 visits today)

Last modified: 18 April 2016

Close