Written by Nurul Luthfiyyah 08:52 Feature News

Sudah Petang, Cobek Itu Masih Bersih

Seorang nenek membawakan kursi bercat merah, lalu mempersilakanku duduk. Sudah lama aku memperhatikan nenek dari jauh, pergi dan pulang kuliah tak jarang pandanganku melihat ke arahnya yang selalu tersenyum dan menyapa. Padahal, tak semua orang tua mau menyapa anak muda di gang kami, Kertosariro, Malang. Beberapa bahkan ada yang tak membalas senyuman dariku, tapi nenek yang ada di hadapanku sambil berkutat dengan bahan-bahan rujak cingur ini tak pernah absen untuk tersenyum.

“Boleh direkam, Nek?” izinku pada nenek.

Bahagianya aku karena nenek tampak girang saat ditujukan kamera, ia dengan cekatan berpose ‘ok’ tak ketinggalan senyum manisnya. Nenek Poni namanya, dengan usia yang menyentuh angka 73 tahun ia masih terlihat kuat, bolak-balik mengambil satu per satu bahan. Walau tetap tampak kakinya yang sedikit bergetar ketika melangkah. 

“Masih kuat, soalnya olahraga jalan kaki waktu ke Pasar Dinoyo, pulang pergi. Nggak naik ojek, supaya [uangnya] bisa buat makan cucu,” katanya, membuat hatiku meringis karena kesal hanya karena bapakku yang terkadang telat menjemput ketika aku masih di bangku madrasah. Nenek Poni saja bisa sanggup berjalan kaki setiap hari yang dapat menghabiskan waktu sekitar 36 menit, saatku cek Google Maps, “Mengapa anak muda satu ini kalah telak?!” teriak batinku.

Sadar mulai hening, aku segera memecahkan suasana. 

“Nenek aku foto lagi,ya,” pintaku.

Sambil berbincang-bincang, aku mengambil beberapa gambar nenek, mulai dari ia menyiapkan bahan-bahan untuk membuat rujak cingur dan mulai mengeksekusinya di atas cobek. Terlihat nenek memulainya dengan menaruh sebatang cabe, dilanjutkan dengan asam jawa, gula, kacang merah, pisang mentah dan terakhir sedikit air. Nenek Poni mulai mengulek, sesekali ia berhenti dan mencolek.

“Ini, ada [bagian] kacang yang keras dan asam harus dibuang,” terangnya menjawab soal di benakku.

Melihat nenek mengulek membuatku berkilas balik, saat pulang kuliah dan melihat benda pipih menampilkan waktu yang menunjukkan telah petang, aku selalu melewati rumah nenek yang di depannya juga tempat nenek berjualan. Tiap melirik cobek rujak cingur nenek, itu terlihat masih bersih.

“Anak-anak sekarang nggak cari rujak cingur, carinya makanan lain, ada bakso, ayam lalapan, ayam geprek, banyak yang beli seperti itu,” ucap Nenek, menunjukkan raut sedih.

Netraku spontan mengarah ke warung lalapan di seberang yang ramai pengunjung. Bukan hanya saat ini, hari-hari sebelumnya pun sama. Nenek yang tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi, merasa kesulitan dengan banyaknya saingan yang berjualan makanan mereka dengan promosi-promosi di media sosial. Belum lagi nenek tidak punya uang yang cukup untuk memasang banner. Aku hanya melihat selembar kertas putih bertuliskan rujak cingur dan es teh jumbo tertempel di papan depan.

Penghasilan Nenek Poni sehari yang hanya menyentuh nilai lima puluh ribu rupiah harus bisa mencukupi kebutuhan tujuh cucunya. Bahkan, anak bungsunya juga masih dibiayai nenek. Jika dilihat dari kebutuhan sehari-hari di Malang, lima puluh ribu sangatlah sedikit untuk sehari-hari mereka. Apalagi nenek bukan hanya membiayai makan sehari-hari, tetapi juga kebutuhan lain, sabun contohnya.

“Dapat lima puluh itu udah senang sekali, Anak ada tujuh, kalau Cucu ada tiga belas. Cucu ada tujuh di sini, anak yang terakhir juga masih di sini,” kata Nenek sambil terus mengulek.

Baca Juga: Tak Ada Ganti Rugi Ingatan Di Lumpur Lapindo

Kira-kira bila ditaksir, kerugian materil yang dirasakan Aksan berjumlah 240 sampai 300 juta. Keputusan PT. Lapindo pasca kejadian hanya dapat memberikan kompensasi ganti rugi sebanyak dua puluh persen. Jumlah kompensasi yang tidak setara dengan kerugian materil, membuat Aksan terlunta-lunta mencari tempat tinggal tetap, “Bertahun-tahun saya belum punya rumah mas, ndak cukup kalo DP-nya buat rumah. Beli tanah aja masih kurang,” terangnya.

Nenek yang sudah berjualan dari tahun 1990-an itu juga menjelaskan, bahan-bahan yang dibeli untuk berjualan rujak cingur bisa menghabiskan sekitar 150 ribu rupiah, walaupun bisa untuk beberapa hari. Matematika-ku mulai berjalan, hasilnya aku tidak bisa membayangkan selembar uang biru cukup untuk sembilan orang di rumah ini, bahkan jika hanya dihitung uang makan. Jika uang hasil jualan tidak mencukupi, nenek tidak bisa membeli beras dan terpaksa memakan sisa bahan-bahan rujak cingur bersama cucunya.

“Tapi urusan [biaya] sekolah itu Ayahnya,” imbuh Nenek.

Namun, nenek juga menceritakan kesehariannya yang sangat berhemat demi menyagu cucu-cucunya. Tak jarang nenek kebingungan makanan apa yang bisa ia beli untuk menghiasi meja makan yang bersih.

“Kita bisa beli beras ya, alhamdulillah. Kalau lebih sedikit buat ke pengajian. Biar nggak minta [uang ke] Anak-anak. Sebetulnya ada majelis maulid ini empat puluh malam, tapi Nenek banyak yang bolong soalnya sangu e nggak ada, hehe,” ucap Nenek sambil tertawa malu. Padahal tawa Nenek membuat hatiku tersilet, satu hal yang aku tampar pada diriku sendiri.

“Masih mau berdiam?”

Nenek Poni adalah golongan yang termaginalkan, di zaman serba teknologi ini orang-orang sepertinya harus bertahan tanpa bisa bersuara lebih. Bahkan, hanya untuk ke pengajian saja nenek tidak bisa, karena tidak memiliki sangu. Hingga nenek hanya bisa melihat tetangga-tetangganya yang lain pergi dan pulang dari pengajian.

Aku yang masih mahasiswa malu, hal baik apa yang bisa aku lakukan untuk orang lain? Lewat memori saat salah satu dosen di kampus memberi nasehat. Isinya yang kuingat kurang lebih di bawah ini.

Lakukan apa pun semaumu, mahasiswa itu banyak ‘wajarnya’.

Mereka tidak mengerjakan tugas.

“Wajar, namanya juga mahasiswa.”

Mereka paling berani turun ke depan Gedung DPR.

“Wajar, namanya juga mahasiswa.”

Mereka meliput berita-berita yang ‘bahaya’.”

“Wajar, namanya juga mahasiswa.”

Hei! Dia menulis feature tentang kemiskinan, tulisannya menyadarkan dan memengaruhi banyak orang.

“Mari ucapkan aamiin!”

Apa yang bisa kubuat untuk orang-orang pejuang seperti Nenek Poni?

Di sela-sela renunganku, Nenek Poni berkata.

“Kamu mirip seperti Ponakan Nenek yang lagi di pondok,” tutur Nenek. Membuat liquid bening di mataku hampir turun. Karena Nenek Poni juga mengingatkanku pada almarhumah nenekku. Agar tidak merembes air mata ini, segera kutanyakan hal lain.

“Kesulitan waktu berdagang apa, Nek?” tanyaku.

“Kesulitan pas jualan itu belum ada yang beli,” jawab Nenek sambil tersenyum malu-malu. Senyumnya hampir terkulum karena gigi nenek yang sudah tak ada.

Nenek mulai menyendok hasil ulekannya dan dengan telaten membungkus rujak cingur yang kupesan.

“Ini Nenek kasih dua porsi ya, karena nggak ada juga yang beli, Nak.” Kata-kata nenek membuatku kembali tertohok, sedih, dan sedikit terharu. 

Aku perhatikan tangan Nenek Poni yang memperlihatkan urat-uratnya dengan jelas, karena nenek sangat kurus. Ia menggapai plastik kusut berwarna hitam dan membungkus bungkusan rujak cingur. Dengan sigap kuberikan uang lembaran berwarna ungu dan menerima bungkusan hitam dari nenek.

“Tutup jam berapa, Nek?” tanyaku lagi.

Nggak tentu, Nak. Nenek selalu nunggu pembeli, padahal sering ketiduran karena nggak ada yang ngetuk pintu,” kata Nenek sambil tertawa kecil yang kembali menyayat hatiku.



(Visited 33 times, 1 visits today)

Last modified: 15 September 2024

Close