Written by Ajmal Fajar Sidiq 19:17 Berita, Nasional • One Comment

Tak Ada Ganti Rugi Ingatan Di Lumpur Lapindo

Enam belas tahun lalu, Aksan di tempat ini hidup beranak pinak, sebelum lumpur itu melahap habis kampungnya. Aksan sambil mengais sisa ingatan, bercerita pada kami. Waktu itu, 29 Mei, enam belas tahun silam Aksan sedang bekerja di Kota Malang sebagai supir truk. Tahun 2006, lumpur menyembur perlahan dari Desa Renokenongo dan keluarga Aksan sedang berada di rumah. Kelak aksan menyadari, lumpur itu yang juga melahap habis rumah serta isi kenangan di dalamnya “Sampean bayangkan kalo sampean melihat kampung sampean seperti ini ditenggelami lumpur panas, kesan sampean gimana?” kata Aksan.

 

Desa Jatirejo, radius empat kilometer dari titik pusat semburan. Di situ Aksan bertempat tinggal. Saat itu, usianya 44 tahun. Ia tinggal dengan istri dan anaknya. Kala kejadian, ia ingat anaknya masih berumur 3 tahun. Anaknya kini telah menginjak Sekolah Menengah Atas. Saat lumpur mulai menjalar, Aksan membawa mereka ke pusat pengungsian. Pasar Porong, pasar rusak yang baru selesai relokasi tepat pada tahun yang sama dengan kejadian. Keputusan Pemerintah Daerah Sidoarjo saat itu adalah menjadikan pasar itu sebagai pusat pengungsian.

 

Kira-kira bila ditaksir, kerugian materil yang dirasakan Aksan berjumlah 240 sampai 300 juta. Keputusan PT. Lapindo pasca kejadian hanya dapat memberikan kompensasi ganti rugi sebanyak dua puluh persen. Jumlah kompensasi yang tidak setara dengan kerugian materil, membuat Aksan terlunta-lunta mencari tempat tinggal tetap, “Bertahun-tahun saya belum punya rumah mas, ndak cukup kalo DP-nya buat rumah. Beli tanah aja masih kurang,” terangnya.

 

Kendati PT. Lapindo tetap memberikan angsuran kompensasi dengan nominal 5-10 juta per bulan, Aksan baru bisa memperoleh tempat tinggal tetap pada tahun 2015, hal ini seiring dengan janji kampanye Jokowi yang sempat mengumpulkan korban Lapindo guna menuntaskan sisa kompensasi. Tetapi dalam ingatan Aksan sebetulnya tidak pernah ada kompensasi yang sepenuhnya tuntas. Baginya, Jatirejo adalah tempat kelahiran dan tanah airnya. Ingatannya kuat betul jika bicara kondisi kampungnya saat tahun 2008-2009. “Ya, tetep inget toh mas, karena tanah kelahiran toh. Ndak bisa terlupakan, apalagi saat itu pada tahun-tahun 2008, 2009, rumah-rumah masih tampak atapnya aja seperti ini mas,” kenang Aksan dengan setengah kesal dan tatapan kosong sambil menujukkan selebaran dokumentasi kejadian.

 

Seperti halnya Aksan, Rendra, pria berambut cepak yang juga asal Jatirejo mengalami hal serupa. Saat awal kejadian, Rendra baru lulus SMA. Di tengah kondisi ini, ia memutuskan lanjut studi ke kampus Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida). Kelak, sepenggal ilmu yang mahasiswa jurusan Teknik Informatika peroleh ini, digunakan untuk merekam dan membuat film dokumentasi sepanjang kejadian Lumpur Lapindo melahap habis kampungnya.

Nahas, nasib kuliah Rendra harus berhenti di tengah jalan. Tahun 2010, ia ditetapkan sebagai Mahasiswa Drop Out, disebabkan kondisi ekonomi yang mencekik hidupnya akibat Lumpur Lapindo. Namanya selalu menjadi nomor unggulan di mading kampus, dengan keterangan Mahasiswa paling telat membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan. “Waktu itu semester semester 5, mau lanjut ke semester 6 mau lanjut cuma karena gada uang bayar SPP, kan nama saya setiap hari ada di mading itu yang gak bayar SPP, ya jadi malu juga. Udah izin di kelurahan atau dimana gak juga dikasih beasiswa atau apalah waktu itu,” tuturnya dengan setengah bercanda.

 

Berbeda dengan Aksan. Rendra tak sempat menaksir secara rinci kerugian materil yang ia alami dalam bentuk nominal. Tetapi Rendra juga mengalami nasib serupa. Dengan kondisi keluarga yang tidak lagi utuh, ia beserta kakak dan adiknya harus berkali-kali pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Uang kompensasi sementara yang berjumlah 20% belumlah cukup mengganti tempat tinggal mereka sebelumnya. Adapun sebabnya adalah dibagi rata untuk tempat tinggal, kebutuhan sehari-hari serta kebutuhan Pendidikan. Bahkan demi bisa memperoleh tempat tinggal, Rendra dan kakaknya sempat mengamen agar dapat membayar biaya sewa kontrak sambil lalu menunggu kompensasi datang.

 

Kompensasi kerugian materil yang diperoleh Rendra kini telah rampung. Namun tak pernah ada kompensasi ingatan. Tak akan pernah sanggup PT. Lapindo dan Negara ini mengganti rugi kenangan mereka. Bagi Aksan, rumah yang dulu adalah peninggalan moyang, berbeda dengan tempat tinggalnya yang sekarang, “karena di tempat kelahiran sendiri, tempat nenek moyang dulu, nyamanlah. Sekarang pindah di kampung lain, kayak suasana lain mas, karena kita beradaptasi dulu sama tetangga-tetangga yang baru, kemudian cari kerjaan juga susah, karena gak punya rekan di sana, gitu mas bedanya,” keluhnya pada kami.

 

Demikian pula dengan Rendra. Ia menganggap rumah yang telah tenggelam adalah tanah kelahirannya. Ibunya Rendra, saat rindu tempat tinggalnya mengunjungi bekas kampung yang tenggelam. Sayang baru sempat melangkah berapa tapak, ibunya pingsan. Hal itulah yang membuat ibu Rendra tak lagi sanggup menengok tempat itu. “Tapi kalo ibu saya kesini gak mau, takutnya keinget pingsan, sering dulu ke sini, naik sebentar ini, udah nangis pingsan, tanah makam soalnya di sini kan banyak,” tutur Rendra.

 

Atas dasar kerugian materil, sosial, memori serta psikologi mereka, antara Aksan dan Rendra akhirnya memutuskan untuk menjadi tukang ojek di sekitar kawasan lumpur Lapindo yang kini menjadi objek wisata. Rendra misalnya ingat betul saat pertama kali kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan wisata, turis berhamburan datang dari beragam kota juga mancanegara. Para ilmuwan yang menganggap gejala ini sebagai fenomena alam langka tak luput turut mengunjungi tempat ini juga. Per hari, biasanya antara Aksan dan Rendra menetapkan tarif 50-100 ribu rupiah untuk keliling lumpur Lapindo.

 

Dari pendapatan itu mereka bertahan hidup, dan sampai saat ini pula sumber pemasukan itu menjadi sumber utama penghidupan mereka. Bukan tak sanggup mecari kerjaan lain, bagi mereka inilah Lapindo, tempat dahulu kampung mereka tenggelam. Enam belas kampung lenyap dalam kurun tiga tahun. 

 

Selain itu, sebab angin duduk, beberapa warga sekitar yang juga menawarkan jasa keliling sebagai ojek sudah banyak yang meninggal. Konon menurut penuturan mereka ini disebabkan oleh angin duduk yang tercampur oleh gas metana dan belerang dari kandungan lumpur. “Dulu yang ngojek di sini itu ratusan orang mas, hampir 300-400 mas, setelah banyak yang meninggal, banyak yang sakit, banyak yang tua, meninggalnya karena udara yang gak sehat ini mas. Kebetulan yang enggak meninggal ini, kita-kita ini ya alhamdulillah, hehehe.” tukas Rendra sambil bercanda.

 

Sambil kami berpamitan, Aksan menawari kami jasa keliling, tapi untuk esok hari, sebab saat itu langit telah gelap, mereka tak ingin mengambil resiko kematian. Tawarannya pada kami, mereka bersedia menawarkan kami berkunjung ke titik pusat Lapindo, dan tempat-tempat sakral, maksudnya adalah kuburan turun-temurun keluarga mereka yang tinggal di tanah itu sembari mereka merawat ingatan itu. Ingatan kekasih, sanak terdekat, saudara, serta puing ingatan lain yang masih dapat mereka rawat.

 

aku ra biso turu mikir sedulurku
sing urip rekoso ono kuto porong
urip ning pengungsian ra karu karuan

mangan sabendino ngenteni kiriiimaaann.
lumpur panas lapindo sing dadekno kisruh
uripe wong porong mung kari separo

piye dadine nasibe wong cilik
yeng koyo mangkeneee…he.he.
jur ajur ajur kabeh
kuto porong ajur kabeh

(Sodiq Monata – Ajur) []

(Visited 177 times, 1 visits today)

Last modified: 17 Juli 2022

Close