/1/
di bawah langit-langit semesta, sang penyair tertunduk gelisah
tak ada yang dilakukannya selain meratap, dan menatap
debur ombak di belakang rumah sambil berandai
“jika ia mampu menulis lagi,
nama siapa yang akan dipakainya sebagai judul puisi?”
seperti angin yang menyapu batu-batu kecil di gurun pasir
yang menghapus memori puisi di kepala para penyair
butuh lebih dari sekadar hitungan waktu
saat ia mengangkat senapan tak berpeluru
agar bisa membedah isi kepala, membunuh sepi, dengan cara berpuisi
“amboi, kasihan sekali kata-kata!”
ia dibuat menganggur oleh kebodohan yang dibuat penulisnya
lama sekali ia berpikir, dan berlayar dengan awak kapalnya menuju tenggelam
maka, sudah selayaknya penyair bertemu dengan puisi-puisinya, bukan?
hingga selesailah puisi-puisinya ditulis, di atas kanvas putih tanpa warna.
/2/
barangkali laut mulai surut, kian membiru
ia menutup jendela kamarnya
setelah sebelumnya menengok ke kanan dan ke kiri
“adakah yang kemarin datang akan bertamu lagi malam-malam begini?”
di hadapannya, selembar kertas siap untuk disetubuhi
selembar angin perlahan masuk
diikuti daun-daun kering yang berguguran di jendela rumahnya
kedua tangannya pun mengkristal, membeku karena rindu
ia ingin seperti dulu—tidak mengenal orang-orang, dan tidak ada yang bertamu; tidak juga rindu
ketika ia berlayar dengan awak kapalnya menuju tenggelam
agar sajak yang ia rangkai lebih dalam
mengungguli kata, menembus batas bahasa di kepala orang-orang
agar tak ada yang menyadari, apa yang terjadi padanya
sebab mengenal cinta adalah keheningan abadi
selanjutnya adalah jarak, dan mati.
/3/
semesta sudah berganti musim
pasang surut tak lagi ia butuhkan
deru ombak dari laut tak lagi dipikirkan
sesekali orang yang kemarin datang, menjenguk kembang di pelataran rumahnya
memetik satu, dan dibawanya pulang sebagai kenangan
di lengkung senja, ia membakar bukunya
tak payah ia menulis puisi lagi
ia akan kembali bergelut dengan kapak, dan pohon-pohon besar
lalu setelah itu, ia akan pulang setiap sorenya
menyantap lelah, meneguk penat
sesekali ia kembali berandai
apakah ia akan menulis lagi?
toh, puisi juga tidak akan bisa memberinya tempat tinggal, bukan?
/4/
bintang berkelip, bulan menyabit
purnama menyala terang
menjadi tanda bagi tuan kapak
untuk datang lagi di tempat yang sama dan mengayunkan keringatnya
setelah itu duduk melingkar di siang hari dengan rekan-rekannya, lalu kembali
di kelamnya malam, ia nampak sedih
ada guratan sesal di wajahnya
berteriaklah ia lantang di depan kaca
sambil mengingat-ingat perkataan yang dilontarkan padanya
“pulanglah, lenganmu terlalu kecil untuk pohon-pohon besar di sana.
dan jangan kembali lagi ke sini sampai sore nanti.”
/5/
ada tamu malam-malam yang datang ke rumahnya, sendirian
tidak ada yang ia bawa kecuali kenangan
itu pun sudah melayu karena waktu—melapuk, dan usang
menjadi catatan kosong jika dipuisikan pada buku harian
“aku kesini tidak membawa uang,
tapi aku membawa apa yang kamu butuhkan,”
katanya pelan sekali, takut malam terusik suaranya
“apa yang kamu bawa?”
tamu tersebut diam oleh pertanyaan sang empunya rumah,
lalu menjawabnya lantang,
“lembar kosong dan kembang layu agar kamu bisa kembali merangkai puisimu.”
/6/
di luar, hujan menderas tajam
membasahi cicak-cicak mungil yang merayap di langit-langit
hingga membuat kepalanya basah oleh kejutan
berdua ia menangisi takdir karena tak ada lagi uang, makanan
lalu, dengan apa lagi ia bertahan?
butuh lebih dari hitungan waktu saat ia kembali diingatkan oleh sesuatu
menatap lalat yang tiba-tiba hinggap di mulut ajal
alam bawah sadarnya memikirkan apa, matanya menatap siapa
karena itulah ia bisa menulis puisi: menulis takdirnya kembali
agar saat pagi tiba, ia bisa tertawa tanpa harus mengayunkan kapaknya.
/7/
pada tangis yang tak bisa didengar
pada bahagia yang tergambar dalam air mata
malam-malam ia merangkak menuju taman di halaman depan salah seorang
sayangnya, belum sampai tangan mengetuk pintu jendela,
ia lebih dulu menumpahkan tintanya
dan menelungkupkan kedua tangannya di bawah kepala yang sudah berganti musim
kemana orang yang kemarin datang dan memetik kembang?
di matanya, renungan-renungan masa lalu adalah rihlah kecil tentang arti menemukan
sebab bagi kenangan, tidak ada yang benar-benar hilang.
/8/
ada yang datang ke rumahnya tanpa mengetuk pintu
tanpa menikmati kopi, tanpa basa-basi
ia datang dengan membawa kembang, dan pulang dalam keadaan rindu
sebelum itu, ia lebih dulu menuding kepada mawar
“beningnya mata tak pernah terlukis,” kata entah pada siapa
keindahan tak pernah bisa diartikan lewat sajak, lewat kata
lantas, apa yang bisa ia tulis untuk menafsirkan kecantikan?
namun jika dengan puisi ia tak lagi melayu, ia akan merangkaikannya sampai kapanpun juga.
/9/
sebagai penyair yang sudah lama berjibaku dengan malam
dengan payah ia menuliskan nama tamu yang kemarin datang ke rumahnya pada judul puisi
ia sudah tidak mungkin menunggu lebih lama, lagi
tidak mungkin bersabar oleh permainan yang dibuat oleh waktu
maka, dihantarlah kado yang sudah lama ia suratkan pada rindu
lalu melangkah pelan menuju laut, dan mengabarkan takdirnya
tanpa harus tenggelam seperti dulu—bersama awak kapalnya
dan menunggu datangnya balasan saat laut mulai pasang
di waktu fajar nanti menjelang.
/10/
apa yang ia tulis di lembar puisi menunjukkan bahwa ia telah jatuh dalam kubangan cinta
yang dibuat oleh pemetik kembang di depan rumahnya
benar apa yang dikatakan oleh malam pada pria miskin sepertinya yang pernah lupa cara mencari uang,
“ikutilah jejak puisi. meski sunyi, setidaknya ia tidak pernah mengkhianati,”
dan pada akhirnya, puisi yang ia tulis selama ini menemukan takdirnya
ia merangkul masa depannya erat, dan memberinya kembang sebagai harta yang sepadan untuk membeli kecantikannya.
Lirboyo, 23 Desember 2020
Last modified: 21 Juli 2022