Written by Mohamad Hasan Alkafrowi 19:45 Puisi, Sastra

Ketika Penyair Menemukan Kembali Puisinya

/1/

di bawah langit-langit semesta, sang penyair tertunduk gelisah

tak ada yang dilakukannya selain meratap, dan menatap

debur ombak di belakang rumah sambil berandai

jika ia mampu menulis lagi,

nama siapa yang akan dipakainya sebagai judul puisi?

seperti angin yang menyapu batu-batu kecil di gurun pasir

yang menghapus memori puisi di kepala para penyair

butuh lebih dari sekadar hitungan waktu

saat ia mengangkat senapan tak berpeluru

agar bisa membedah isi kepala, membunuh sepi, dengan cara berpuisi

amboi, kasihan sekali kata-kata!

ia dibuat menganggur oleh kebodohan yang dibuat penulisnya

lama sekali ia berpikir, dan berlayar dengan awak kapalnya menuju tenggelam

maka, sudah selayaknya penyair bertemu dengan puisi-puisinya, bukan?

hingga selesailah puisi-puisinya ditulis, di atas kanvas putih tanpa warna.

 

/2/

barangkali laut mulai surut, kian membiru

ia menutup jendela kamarnya

setelah sebelumnya menengok ke kanan dan ke kiri

adakah yang kemarin datang akan bertamu lagi malam-malam begini?

di hadapannya, selembar kertas siap untuk disetubuhi

selembar angin perlahan masuk

diikuti daun-daun kering yang berguguran di jendela rumahnya

kedua tangannya pun mengkristal, membeku karena rindu

ia ingin seperti dulu—tidak mengenal orang-orang, dan tidak ada yang bertamu; tidak juga rindu

ketika ia berlayar dengan awak kapalnya menuju tenggelam

agar sajak yang ia rangkai lebih dalam

mengungguli kata, menembus batas bahasa di kepala orang-orang

agar tak ada yang menyadari, apa yang terjadi padanya

sebab mengenal cinta adalah keheningan abadi

selanjutnya adalah jarak, dan mati.

 

/3/

semesta sudah berganti musim

pasang surut tak lagi ia butuhkan

deru ombak dari laut tak lagi dipikirkan

sesekali orang yang kemarin datang, menjenguk kembang di pelataran rumahnya

memetik satu, dan dibawanya pulang sebagai kenangan

di lengkung senja, ia membakar bukunya

tak payah ia menulis puisi lagi

ia akan kembali bergelut dengan kapak, dan pohon-pohon besar

lalu setelah itu, ia akan pulang setiap sorenya

menyantap lelah, meneguk penat

sesekali ia kembali berandai

apakah ia akan menulis lagi?

toh, puisi juga tidak akan bisa memberinya tempat tinggal, bukan?

 

/4/

bintang berkelip, bulan menyabit

purnama menyala terang

menjadi tanda bagi tuan kapak

untuk datang lagi di tempat yang sama dan mengayunkan keringatnya

setelah itu duduk melingkar di siang hari dengan rekan-rekannya, lalu kembali

di kelamnya malam, ia nampak sedih

ada guratan sesal di wajahnya

berteriaklah ia lantang di depan kaca

sambil mengingat-ingat perkataan yang dilontarkan padanya

“pulanglah, lenganmu terlalu kecil untuk pohon-pohon besar di sana.

dan jangan kembali lagi ke sini sampai sore nanti.”

 

/5/

ada tamu malam-malam yang datang ke rumahnya, sendirian

tidak ada yang ia bawa kecuali kenangan

itu pun sudah melayu karena waktu—melapuk, dan usang

menjadi catatan kosong jika dipuisikan pada buku harian

“aku kesini tidak membawa uang,

tapi aku membawa apa yang kamu butuhkan,”

katanya pelan sekali, takut malam terusik suaranya

“apa yang kamu bawa?”

tamu tersebut diam oleh pertanyaan sang empunya rumah,

lalu menjawabnya lantang,

“lembar kosong dan kembang layu agar kamu bisa kembali merangkai puisimu.”

 

/6/

di luar, hujan menderas tajam

membasahi cicak-cicak mungil yang merayap di langit-langit

hingga membuat kepalanya basah oleh kejutan

berdua ia menangisi takdir karena tak ada lagi uang, makanan

lalu, dengan apa lagi ia bertahan?

butuh lebih dari hitungan waktu saat ia kembali diingatkan oleh sesuatu

menatap lalat yang tiba-tiba hinggap di mulut ajal

alam bawah sadarnya memikirkan apa, matanya menatap siapa

karena itulah ia bisa menulis puisi: menulis takdirnya kembali

agar saat pagi tiba, ia bisa tertawa tanpa harus mengayunkan kapaknya.

 

/7/

pada tangis yang tak bisa didengar

pada bahagia yang tergambar dalam air mata

malam-malam ia merangkak menuju taman di halaman depan salah seorang

sayangnya, belum sampai tangan mengetuk pintu jendela,

ia lebih dulu menumpahkan tintanya

dan menelungkupkan kedua tangannya di bawah kepala yang sudah berganti musim

kemana orang yang kemarin datang dan memetik kembang?

di matanya, renungan-renungan masa lalu adalah rihlah kecil tentang arti menemukan

sebab bagi kenangan, tidak ada yang benar-benar hilang.

 

/8/

ada yang datang ke rumahnya tanpa mengetuk pintu

tanpa menikmati kopi, tanpa basa-basi

ia datang dengan membawa kembang, dan pulang dalam keadaan rindu

sebelum itu, ia lebih dulu menuding kepada mawar

“beningnya mata tak pernah terlukis,” kata entah pada siapa

keindahan tak pernah bisa diartikan lewat sajak, lewat kata

lantas, apa yang bisa ia tulis untuk menafsirkan kecantikan?

namun jika dengan puisi ia tak lagi melayu, ia akan merangkaikannya sampai kapanpun juga.

 

/9/

sebagai penyair yang sudah lama berjibaku dengan malam

dengan payah ia menuliskan nama tamu yang kemarin datang ke rumahnya pada judul puisi

ia sudah tidak mungkin menunggu lebih lama, lagi

tidak mungkin bersabar oleh permainan yang dibuat oleh waktu

maka, dihantarlah kado yang sudah lama ia suratkan pada rindu

lalu melangkah pelan menuju laut, dan mengabarkan takdirnya

tanpa harus tenggelam seperti dulu—bersama awak kapalnya

dan menunggu datangnya balasan saat laut mulai pasang

di waktu fajar nanti menjelang.

 

/10/

apa yang ia tulis di lembar puisi menunjukkan bahwa ia telah jatuh dalam kubangan cinta

yang dibuat oleh pemetik kembang di depan rumahnya

benar apa yang dikatakan oleh malam pada pria miskin sepertinya yang pernah lupa cara mencari uang,

“ikutilah jejak puisi. meski sunyi, setidaknya ia tidak pernah mengkhianati,”

dan pada akhirnya, puisi yang ia tulis selama ini menemukan takdirnya

ia merangkul masa depannya erat, dan memberinya kembang sebagai harta yang sepadan untuk membeli kecantikannya.

 

Lirboyo, 23 Desember 2020

(Visited 134 times, 1 visits today)

Last modified: 21 Juli 2022

Close