Written by Rakhan Wardhanni 13:04 Cerpen, Sastra • 8 Comments

Dihapus oleh Sistem

Fajar pertama kali menyadari ada yang aneh dengan lift itu ketika ia sedang menunggu di lantai satu perpustakaan kampus. Bangunan kaca dan baja itu menjulang dengan dingin, dirancang sebagai pusat akademik yang modern, tetapi seperti biasa, ada satu hal yang tidak masuk akal. Tidak ada akses bagi mahasiswa disabilitas. 

Tangga di lantai dasar menjulang tajam, seolah melupakan kaki-kaki yang tak sanggup menaikinya, dan satu-satunya lift di sana ditempeli kertas pudar dan berdebu dengan tulisan: LIFT INI HANYA UNTUK BARANG

Dina berdiri di sebelahnya saat itu, tangannya menggenggam erat pegangan kursi rodanya. Ia membaca tulisan itu dengan ekspresi kosong dan hampa, lalu menoleh ke Fajar, seolah meminta konfirmasi. Fajar mengangkat bahu.

“Itu lift, ‘kan?” kata Dina pelan. “Kenapa kita bukan barang?” Fajar tertawa, bukan karena itu lucu, tetapi karena ia tidak tahu harus menjawab apa. 

Ia sudah terbiasa dengan kampus yang lebih suka membangun gedung tinggi daripada memastikan mahasiswanya bisa masuk ke dalamnya. Dina menghela napas, lalu memutar rodanya menuju meja satpam.

Pak Suyat, satpam berkemeja biru dengan perut yang menekan kancing seragamnya, sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya. Ia nyaris tidak mengangkat kepala saat Dina berhenti di depannya.

“Pak, saya mau ke lantai dua.”

“Lewat tangga saja,” kata Pak Suyat tanpa melihatnya. 

Dina menepuk roda kursinya pelan. “Saya tidak bisa naik tangga.”

Pak Suyat mendongak, menatapnya sebentar, lalu menggeleng. “Lift itu bukan untuk manusia.”

“Tapi itu lift.”

“Ya, tapi bukan untuk manusia,” ulangnya, suaranya datar seperti membaca peraturan yang bahkan tidak ia pahami. “Kalau mau naik ke lantai dua, cari teman yang bisa bantu.”

Dina menoleh ke Fajar. Ia tahu maksud Pak Suyat. Kampus ini tidak benar-benar melarang mahasiswa disabilitas, tapi juga tidak menyediakan cara agar mereka bisa bergerak sendiri. Selalu ada solusi, katanya, asalkan mereka mau sedikit lebih berusaha.

“Tapi kalau saya mau naik sendiri, bagaimana?” tanya Dina. 

Pak Suyat menggeleng, lalu kembali ke ponselnya. Percakapan selesai.

Dina tidak langsung pergi. Ia menatap pintu lift yang tertutup, lalu menekan tombolnya. Lampu tombol itu menyala merah. Seperti kebanyakan lift, ada suara berdenting kecil sebelum pintunya terbuka.

Kosong. Tak ada satu barang pun. Hanya lantai baja dengan goresan samar dan dinding besi yang memantulkan wajah mereka seperti bayangan di air keruh.

Dina menatap ke dalam, lalu tersenyum kecil ke Fajar. “Mungkin kampus ini mau coba mengangkut aku sebagai barang,” katanya, lalu menggerakkan kursinya masuk ke dalam.

Fajar melangkah maju, setengah ingin menarik Dina keluar, tapi pintu lift tertutup lebih cepat dari yang seharusnya.

Ia menekan tombol. Tidak ada respons.

Ia menekan lagi. Lampu angka di atas pintu tetap menunjukkan angka satu. Lift itu tidak bergerak, tapi juga tidak membuka lagi.

“Pak,” katanya cepat. “Tadi teman saya masuk ke dalam lift.”

Pak Suyat masih menunduk di ponselnya. “Lift itu bukan untuk manusia.”

“Tapi dia baru saja masuk.”

Pak Suyat mendongak dengan malas, lalu menatap lift yang tertutup. Ia mengernyit, seolah baru menyadari ada sesuatu yang aneh. Ia menekan tombol pemanggil lift beberapa kali, lalu mengetuk pintunya dengan keras.

“Dek, masih di dalam?”

Tidak ada jawaban.

Pak Suyat menghela napas, lalu berjalan ke meja satpam, mengangkat telepon, berbicara sebentar dengan suara pelan, kemudian kembali ke tempat duduknya.

“Sudah, nanti teknisi yang urus,” gumamnya. 

Fajar berdiri di depan lift, menatap angka satu yang tetap menyala di panel digitalnya. Ia menekan tombol lagi. Tidak ada suara. Tidak ada pergerakan.

“Liftnya nyangkut, ya?” tanyanya. 

Pak Suyat mengangkat bahu. “Mungkin. Tapi lift itu bukan untuk manusia.”

Fajar ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian ia menyadari sesuatu yang lebih aneh. Tidak ada suara dari dalam lift. Tidak ada ketukan, tidak ada suara Dina bertanya atau meminta bantuan.

Seharusnya, kalau lift itu macet, Dina akan berkata sesuatu. Tapi lift itu hanya berdiri diam, seolah tidak pernah ada yang masuk ke dalamnya.

***

Fajar menunggu hampir satu jam. Seorang pria berbaju abu-abu akhirnya datang, membawa kotak peralatan dan ekspresi bosan. Ia mengetuk lift sekali, mendengus, lalu membuka panel kecil di sampingnya.

“Macet,” katanya singkat. 

“Iya, tadi ada teman saya di dalam,” kata Fajar. 

Pria itu menatapnya. “Siapa? “

Fajar mengerutkan dahi. “Dina. Mahasiswa disabilitas. Dia tadi masuk ke dalam.” Pria itu menghela napas, lalu mengetik sesuatu di ponselnya. Setelah beberapa menit, ia menggeleng.

“Di data saya tidak ada mahasiswa yang namanya Dina,” katanya. 

Fajar mengerjap. “Maksudnya?”

Pria itu menunjukkan layar ponselnya. “Saya cek sistem perpustakaan. Tidak ada mahasiswa bernama Dina yang pernah meminjam buku atau masuk dalam daftar pengunjung hari ini.”

Fajar menatap layar itu. Tidak ada nama Dina di sana. Bahkan tidak ada catatan mahasiswa disabilitas di perpustakaan ini.

“Tapi tadi saya bersamanya.”

Pria itu mengangkat bahu, lalu kembali ke pekerjaannya. Lift tetap tidak terbuka.

***

Keesokan harinya, Fajar pergi ke kelas. Ia mencari Dina. Tidak ada. Ia bertanya ke teman-temannya. Tidak ada yang ingat pernah melihat Dina di perpustakaan kemarin.

Ia mengecek grup kelas. Nama Dina tidak ada dalam daftar. Ia membuka sistem akademik. Nama Dina tidak ditemukan. Seolah-olah ia tidak pernah ada. Tapi Fajar ingat. Ia ingat.

Maka keesokan harinya, ia kembali ke perpustakaan. Ia berdiri di depan lift, menunggu. Tidak ada yang terjadi. Ia datang lagi keesokan harinya. Dan hari berikutnya. Dan hari berikutnya.

Sampai suatu hari, di tengah keheningan perpustakaan, ketika hanya suara pendingin ruangan yang berdengung di kejauhan, ia mendengar sesuatu. Sebuah suara, serak dan hampir tak terdengar, berbisik dari dalam lift yang tidak pernah terbuka.

“Aku masih di sini.”

Fajar mundur satu langkah. Lalu suara itu hilang.

Ia menatap lift itu. Tombol panggil tetap menyala merah. Angka satu tetap menyala di panel digitalnya. Seolah tidak pernah ada yang naik. Seolah tidak pernah ada yang turun. Seolah lift itu tidak pernah menuju ke mana-mana.

***

Baca Juga: Sagara di Ujung Metropolitan

Saga, seorang lelaki jangkung berusia dua puluh tahun, tengah duduk di atas bibir pantai sembari menikmati semilir angin yang menghempas helai rambut dan kain kemejanya. Menghirup aroma khas laut yang saling bercampur antara bau pasir yang basah, serta angin yang lembab dan sedikit amis. Agaknya hal itu cukup membuat rasa penatnya menghilang setelah seharian berkutat di kantor dengan berkas-berkas yang memusingkan kepala. Di ujung sana, ia melihat banyak sekali kapal-kapal besar yang berlalu lalang, menandakan bahwa kota ini juga bagian dari kota pelabuhan.

Fajar tidak bisa tidur malam itu. Ia berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar kos yang penuh bercak lembap, tapi yang ia lihat hanya pintu lift yang tertutup. Suara itu masih berdesir di relung pikirannya. 

“Aku masih di sini. “

Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia hanya lelah, bahwa pikirannya sedang mempermainkannya.

Tapi Dina ada. Ia yakin itu. Ia bisa mengingat suara tawanya, cara ia menggulung lengan bajunya ketika kepanasan, cara ia selalu membawa pensil mekanik meskipun jarang mencatat di kelas. Tapi sekarang, namanya tidak ada di mana pun.

Fajar bangun, mengambil ponselnya, lalu membuka daftar kontak. Ia ingat pernah menyimpan nomor Dina, tapi setelah ia scroll sampai ke bawah, nama itu tidak ada. 

Ia membuka WhatsApp, mencari riwayat chat, tetapi tidak ada juga.

Ia menahan napas, lalu membuka Instagram. Dina pernah mengunggah foto di perpustakaan kampus beberapa bulan lalu, sebuah selfie dengan keterangan: Perpustakaan mahal, tapi ramp-nya mana? 

Ramp, jalur miring yang berfungsi sebagai alternatif tangga saja tidak ada.

Ia mencari akun-nya. Pengguna tidak ditemukan. Fajar menutup ponselnya perlahan. Ia tahu satu-satunya cara untuk memastikan bahwa ia tidak gila adalah kembali ke perpustakaan.

***

Keesokan harinya, ia tiba lebih pagi dari biasanya. Perpustakaan masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan laptop mereka, seorang petugas kebersihan yang mengepel lantai, dan Pak Suyat yang duduk di meja satpam sambil menyeruput kopi dari gelas plastik.

Fajar berjalan langsung ke lift. Angka satu masih menyala di panel digitalnya. Sejak hari itu, lift ini tidak pernah bergerak. Seolah waktu membeku di dalamnya.

Ia menekan tombol pemanggil. Tidak ada suara. Tidak ada getaran. Tidak ada tanda bahwa mesin di dalamnya bekerja. 

Pak Suyat mendekat dengan langkah malas. “Masih di sini aja, Dek?”

Fajar menoleh. “Liftnya masih rusak?”

“Enggak rusak,” kata Pak Suyat sambil duduk kembali. “Cuma bukan untuk manusia.”

Fajar menghela napas. “Pak, saya mau tanya soal Dina.”

Pak Suyat menatapnya dengan bingung. “Dina siapa?”

“Dina. Yang kemarin naik lift ini. Mahasiswa disabilitas. Pak pasti ingat.”

Pak Suyat mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. “Saya nggak ingat ada mahasiswa kayak gitu.”

“Tapi kemarin saya ada di sini!” suara Fajar meninggi “Saya lihat sendiri dia masuk lift ini. Pak Suyat juga lihat!” 

Pak Suyat masih terlihat bingung, tapi lalu ia tersenyum tipis, senyum yang membuat Fajar semakin gelisah. “Nak, mungkin kamu salah ingat,” katanya. “Mungkin kamu terlalu banyak belajar.” 

Fajar ingin berteriak, ingin mengguncang bahu laki-laki itu sampai ia mengaku bahwa ia berbohong. Tapi ia hanya berdiri di sana, menatapnya, lalu mundur perlahan. 

Jika orang-orang di kampus ini tidak mengingat Dina, maka ia harus menemukan seseorang yang masih mengingatnya.

***

Ruang Administrasi Fakultas selalu terasa seperti dunia lain, tempat di mana waktu berjalan lebih lambat dan urusan kecil bisa berubah menjadi labirin birokrasi. Fajar berhadapan dengan seorang staff yang tampak setengah tertidur di balik meja.

“Mas mau cari data mahasiswa?” tanya staff itu tanpa melihatnya 

“Iya,” Fajar menekan rasa gugupnya. “Saya ingin mengecek nama seorang mahasiswa. Dina.”

Staff itu menghela napas, lalu mengetik di komputer tua yang berbunyi ‘klik’ setiap kali tombolnya ditekan.

“Nama lengkapnya?”

Fajar terdiam. Ia tidak tahu. 

Dina selalu memperkenalkan dirinya hanya dengan satu nama. Ia tidak pernah menyebut nama lengkapnya, atau mungkin Fajar tidak pernah menanyakannya.

“Namanya Dina saja,” katanya akhirnya. “Mahasiswa disabilitas, angkatan saya, mungkin bisa dicek lewat daftar kehadiran.”

Staff itu mengetik beberapa saat, lalu mengernyit. “Tidak ada.”

Fajar merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Bisa dicek ulang?”

Staff itu mendesah, lalu mencoba mencari lagi. Setelah beberapa detik, ia menggeleng. “Tidak ada mahasiswa bernama Dina di fakultas ini.”

“Tapi saya kenal dia. Dia ikut kelas yang sama dengan saya.”

Staff itu menatap layar dengan malas. “Kalau tidak ada di sistem, berarti tidak ada. Mungkin pindah, atau berhenti ”

“Tapi… ”

Staff itu mengangkat bahu. “Coba tanya ke bagian akademik.”

Fajar keluar dari ruangan itu dengan kepala penuh suara-suara yang bertabrakan. Nama Dina tidak ada di perpustakaan. Tidak ada di fakultas. Tidak ada di sistem akademik. Seolah ia tidak pernah menjadi mahasiswa di kampus ini. Seolah ia tidak pernah ada.

***

Malam itu, Fajar kembali ke perpustakaan. Ia duduk di lantai depan lift, menunggu. Sejam berlalu. Lalu dua jam. Perpustakaan mulai sepi. Angka satu masih menyala. Ia menekan tombol lift lagi. Tidak ada perubahan. Kemudian, saat ia hampir menyerah, suara itu terdengar lagi. Lebih pelan dari sebelumnya.

“Aku masih di sini.” Fajar membeku.

Suaranya seperti terperangkap di balik sesuatu. Terdengar jauh, samar, tetapi jelas. Dina masih di sana.

Fajar menekan telapak tangannya ke pintu besi lift, mencoba merasakan sesuatu, tetapi dinginnya membuatnya merinding.

Ia menelan ludah. “Dina” bisiknya. “Kamu bisa dengar aku?”

Tidak ada jawaban. Ia mengetuk pelan pintu lift. Tidak ada jawaban. Lalu, sesuatu terjadi. Lampu angka di atas lift yang selama ini tetap menyala menunjukkan angka satu mulai berubah.

Dua.

Tiga.

Fajar mundur, menatap angka-angka yang perlahan naik. Lift itu bergerak. Tapi… ke mana?

Lift itu seharusnya diam. Mati. Namun, kini ia bangkit, menembus lantai-lantai yang tak ada di denah gedung. Namun, sekarang ia naik. Dan yang lebih aneh lagi, tidak ada suara mesin. Tidak ada getaran.

Hanya angka yang berubah, seolah ada sesuatu di dalam yang membuatnya naik sendiri. Fajar berdiri di sana, tubuhnya menegang, matanya terpaku pada panel digital yang kini terus bertambah.

Empat.

Lima.

Ia tahu gedung ini hanya memiliki tiga lantai. Tapi angka itu terus bergerak.

Enam.

Tujuh.

Angin dingin entah dari mana berembus melewati lorong perpustakaan. Fajar mundur selangkah. Lalu, suara Dina terdengar lagi. Lebih jelas kali ini. Tapi bukan dalam bisikan. Ia terdengar seperti berteriak.

Fajar berdiri kaku di depan lift, napasnya pendek-pendek. Suara Dina masih merengek. Teriakan panjang, terputus-putus, terdengar seperti seseorang yang jatuh ke dalam sumur yang tidak berujung. Angka di panel terus bertambah.

Delapan.

Sembilan.

Sepuluh.

Gedung ini hanya tiga lantai. Ia yakin itu. Tapi lift terus naik. Fajar menelan ludah. Ia tidak bisa bergerak, hanya bisa menatap angka-angka itu.

Sebelas.

Dua belas.

Tiga belas.

Kemudian, suara Dina berhenti. Angka di panel tetap menyala 13. Tidak bergerak lagi. Tidak turun. Tidak membuka. Hening. Fajar menyentuh pintu lift. Masih dingin, masih tidak bergerak. Ia menekan tombol pemanggil. Tidak ada yang terjadi. Lalu, pelan-pelan, angka mulai turun.

Dua belas.

Sebelas.

Sepuluh.

Fajar mundur. Ia harus lari. Harus pergi. Tapi kakinya tidak bisa bergerak.

Sembilan.

Delapan.

Tujuh.

Ia bisa merasakan sesuatu di balik pintu lift. Sesuatu yang bergerak. Sesuatu yang bukan Dina.

Enam.

Lima.

Empat.

Fajar mengambil napas panjang. Ia tahu bahwa saat angka itu sampai ke 1, pintu akan terbuka. Dan ia tidak yakin apakah ia ingin melihat apa yang ada di dalamnya.

Tiga.

Dua.

Satu.

Denting kecil terdengar. Pintu lift mulai terbuka. Fajar mundur dua langkah. Perlahan, celah di antara pintu semakin melebar, memperlihatkan… Kosong. Tidak ada apa-apa. Tidak ada Dina. Tidak ada barang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya lantai baja yang lecet dan dinding besi yang tetap memantulkan bayangan Fajar dengan samar. Lift itu benar-benar kosong. Tapi ia tahu ia mendengar suara. Ia tahu Dina ada di dalam.

Ia menatap ke dalam, menunggu sesuatu terjadi. Mungkin suara, mungkin gerakan, mungkin tanda bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. 

Lalu, perlahan, ia menyadari sesuatu. Bayangannya di dinding lift tidak bergerak seperti seharusnya. Ia berdiri diam, tapi bayangan itu tampak bergeser sedikit, lebih lambat dari tubuhnya. Seolah ada jeda di antara gerakannya dan refleksi yang muncul. Seolah bayangan itu bukan cerminan dirinya. 

Baca Juga: Gunung dan Seorang Serdadu

Seperti Gunung pada umumnya di seluruh dunia, Gunung selalu suci dan dianggap sebagai tempat dewa bersembunyi, tempat dunia bermula, dan tempat dunia menandai kapan manusia harus punah dari muka bumi. Hormati Gunung, tak ada yang lebih tinggi dari Gunung, meski pengetahuanmu menjulang langit. Sutisna mengingatnya, pada hari ketika Hujan Es turun di Gunung Ciremai. Orang-orang Pegunungan yang selalu ia temui semasa kecil dan teman-teman bermainnya sering mencari demit adalah para pemburu yang sering membuatnya takjub.

Jantung Fajar berdetak lebih cepat. Ia mencoba melangkah mundur. Bayangannya di dinding lift tetap diam. Lalu, dalam satu kedipan mata, bayangan itu tersenyum padanya. Senyum yang tidak ia buat. Fajar terhuyung ke belakang, hampir jatuh. Pintu lift tertutup kembali. Panel angka naik lagi.

Dua.

Tiga.

Empat/

Sampai angka tiga belas. Lalu berhenti. Dan tidak pernah turun lagi.

***

Setelah hari itu, Fajar berhenti pergi ke perpustakaan. Ia tidak lagi bertanya ke siapa pun soal Dina. Ia tidak membuka lagi sistem akademik, tidak mencari jejaknya di media sosial, tidak menanyakan namanya di kelas.

Ia mencoba melupakannya. Dan seiring waktu, ia merasa kampus pun melakukan hal yang sama. Tidak ada yang pernah menyebut nama Dina lagi. Tidak ada yang bertanya ke mana perginya.

Seolah ia tidak pernah ada. Fajar sendiri mulai mempertanyakan ingatannya. Mungkin ia memang salah. Mungkin tidak ada yang bernama Dina di kampus ini. Mungkin semua ini hanya sesuatu yang dibuat oleh pikirannya sendiri.

Sampai suatu malam, ia terbangun dengan dada sesak. Kamar kosnya gelap. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Ia menoleh ke meja belajarnya.

Dan di sana, di antara buku-buku yang berserakan, ada sesuatu yang seharusnya tidak ada. Sebuah kartu mahasiswa. Ia meraihnya dengan tangan gemetar. Ada nama tertulis di sana.

Dina Sasmita.

Foto Dina. Nomor mahasiswa. Semua ada di sana.

Seolah seseorang baru saja menaruhnya di kamarnya. Seolah seseorang ingin ia ingat. Jantung Fajar berdetak kencang. Kemudian, ia mendengar suara itu lagi. 

Bukan dari dalam lift. Bukan dari dalam mimpinya. Tapi dari belakangnya. Suara yang pelan, hampir seperti napas di telinganya. Merintih.

“Aku masih di sini.”

Fajar tidak berani berbalik. Dan untuk pertama kalinya, ia tahu pasti bahwa Dina memang tidak pernah pergi ke mana-mana.

Editor: Alviona Ninda Febriyanti

(Visited 112 times, 2 visits today)

Last modified: 10 Maret 2025

Close