Written by Alviona Ninda Febriyanti 12:26 Cerpen, Sastra

Sagara di Ujung Metropolitan

Saga, seorang lelaki jangkung berusia dua puluh tahun, tengah duduk di atas bibir pantai sembari menikmati semilir angin yang menghempas helai rambut dan kain kemejanya. Menghirup aroma khas laut yang saling bercampur antara bau pasir yang basah, serta angin yang lembab dan sedikit amis. Agaknya hal itu cukup membuat rasa penatnya menghilang setelah seharian berkutat di kantor dengan berkas-berkas yang memusingkan kepala. Di ujung sana, ia melihat banyak sekali kapal-kapal besar yang berlalu lalang, menandakan bahwa kota ini juga bagian dari kota pelabuhan. Tak jauh dari sana pula, lelaki itu sudah dapat melihat gedung-gedung pencakar langit dan hiruk-pikuk jalanan ibu kota yang selalu macet disertai dengan suara klakson yang saling bersahutan setiap harinya. Mulai dari kendaraan umum hingga pribadi, pusat perbelanjaan mewah yang tak pernah sepi, hingga pedagang kaki lima yang berjuang demi sesuap nasi. Dari pagi hingga petang, kota modern yang menyandang predikat sebagai ‘kota metropolitan’ ini, segala aktivitas yang ada terus berjalan tanpa henti. 

Lelaki itu ingin melihat sisi positif dari kota metropolitan tercintanya ini dengan kacamata lainnya. Layaknya orang awam, yang tak mengetahui fakta bahwa di balik kemewahan yang ada, kota ini banyak menyimpan sisi kelam yang cukup kontradiksi. Segala kekacauan dan permasalahan mulai dari aspek ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial, hingga politik, semuanya ada di sini. Salah satunya, yakni fenomena alam berupa air laut yang semakin meninggi dan membuat kota ini terancam tenggelam. Orang-orang bilang, diprediksi dua puluh lima tahun lagi kota ini akan tenggelam seutuhnya, karena perubahan tekanan dan volume pada tanah serta air laut yang semakin meninggi tiap tahunnya akibat pemanasan global. Prediksi inilah yang kemudian membuat pemerintah memungkinkan rencana akan pemindahan ibu kota di pulau lain yang sekiranya lebih aman dan bisa dibangun berbagai fasilitas yang katanya akan mensejahterakan rakyat di sana. 

Lalu, bagaimana dengan Saga sendiri? Entahlah, Saga sebenarnya tak begitu peduli. Alih-alih mempermasalahkan rencana pemerintah akan pindahnya ibu kota di pulau lain, Saga justru berpikir, bagaimana nasib tanah kelahirannya nanti? Akankah kota yang begitu Saga cintai ini akan benar-benar tenggelam dua puluh lima tahun lagi, sebagaimana yang telah diprediksi? Jika iya, lantas kemana Saga dan masyarakat setempat harus pergi? Ia dengar, pemerintah hanya menerima orang-orang dengan gelar tinggi untuk bermigrasi ke ibu kota yang baru nanti. Lantas bagaimana nasib warga biasa, seperti Saga, yang bahkan rumah saja masih mengontrak dengan harga yang cukup tinggi? Tak mungkin ‘kan para petinggi negara itu akan diam saja dan membiarkan warga yang berpenduduk tak hanya sebanyak seribu atau dua ribu orang ini, bermigrasi ke kota lain tanpa adanya bantuan sama sekali?

Saga memijat pangkal hidungnya yang nyeri. Meski pemikirannya saat ini tampak terlalu jauh, namun ketika melewati jalan raya dan melihat air laut yang jatuh ke jalanan ibu kota dari balik tembok-tembok pembatas, Saga seringkali memikirkannya dan jadi takut sendiri. Tak bisa membayangkan akan sampai kapan tembok-tembok buatan manusia itu mampu menahan air laut yang semakin meninggi.

Saga bangkit dari posisinya, berjalan menyusuri bibir pantai sembari menikmati deburan ombak yang membasahi kedua kakinya. Sebelum kemudian, ia mendapati seorang gadis dengan pakaian serba merah muda, dengan rambut pendek sebahu, yang tengah meminum segelas jus jeruk di tangannya. Awalnya memang tak ada yang aneh, namun saat gadis itu membuang gelas plastik bekas minumannya ke bibir pantai tanpa ragu, Saga mengernyitkan dahi menunjukkan ekspresi terganggu yang begitu kentara. 

Lelaki itu berjalan cepat saat gadis itu hendak berlalu pergi. Ia berseru kencang, “Woi!”

Gadis itu seketika menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan mengernyitkan dahi. Melihat seorang pria tinggi di belakang sana yang tengah berjalan menghampirinya. Ia menunjuk dirinya sendiri, “Aku?”

Saga menghentikan langkahnya, tepat satu meter di hadapan gadis tersebut. “Iya. Lo harusnya bisa baca tulisan itu, ‘kan?” Saga menunjuk pada sebuah papan dengan tulisan hitam bertuliskan ‘Dilarang membuang sampah sembarangan di pantai!’ yang tak jauh dari toilet umum berada. 

Gadis itu menyipitkan kedua matanya, menoleh ke arah papan yang ditunjuk oleh Saga. “Oh, maaf, mataku minus. Enggak kelihatan jelas tulisannya.” 

Saga mendengus, merotasikan kedua bola matanya seolah mengejek. Dalam hati, Saga mencemooh gadis itu, bagaimana bisa tulisan berwarna merah di papan sebesar dengan panjang satu meter dan lebar setengah meter tersebut tak terlihat dengan mata telanjang? Namun, belum sempat Saga berkomentar, gadis itu melebarkan kedua matanya dan menatap Saga dengan mulut terbuka. Tak lupa, tangannya menunjuk ke arah Saga. “Sagara, ‘kan? Ketua komunitas Eco Warrior… apa?”

“Eco Warrior Community,” koreksi Saga sambil menganggukkan kepalanya bangga. “Lo kenal gue?”

Gadis itu menggelengkan kepala, “Enggak, sih. Cuma sekedar tahu dari foto. Tapi, aku ingat kamu, soalnya temanku seorang jurnalis. Katanya, kemarin dia sempat angkat isu soal komunitasmu yang punya masalah sama salah satu pengusaha di sini.”

Mendengar hal tersebut, alisnya sontak menukik tajam. Saga tampak kesal mengingat kembali peristiwa tempo hari yang membuat dirinya terbakar amarah. Bukan, bukan perkara teman gadis itu yang bekerja sebagai jurnalis dan mewawancarai komunitas yang dibuatnya. Melainkan geram pada seorang direktur di salah satu perusahaan yang akhir-akhir ini terkenal karena produk makanan barunya yang diminati kalangan masyarakat. Saga awalnya hanya berniat menegur karena perusahaan tersebut melakukan tindakan ilegal dengan membuang limbah pabrik ke sungai ketika hari sudah petang. Saga mengetahui hal ini, pun setelah para nelayan mengeluh padanya akan hasil tangkapan ikan yang lama-lama semakin berkurang. Setelah ditelusuri, penyebabnya adalah limbah cair yang datang dari hulu sungai. 

Dari situlah, Saga dan anggota komunitasnya mulai menelusuri dari mana limbah ini berasal. Dengan berbekal pengalaman di masa lalu, Saga dan teman-temannya menemukan titik terang setelah mengawasi pabrik dari perusahaan tersebut semalaman suntuk untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Namun, ketika Saga menyuarakan keluhan para nelayan dan menegur tindakan merugikan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, komunitas Saga malah diancam dibawa ke ranah hukum atas pencemaran nama baik. Beruntung, bukti-bukti yang ia kumpulkan sudah cukup membuat perusahaan tersebut tak berkutik lebih jauh.

Saga kemudian memfokuskan atensinya pada gadis di hadapannya, ia mengendikkan dagunya ke arah gelas plastik yang hampir hanyut terbawa arus. “Ambil, tuh. Kasian nanti ada penyu yang nyangkut kepalanya disitu.”

Baca Juga: Gunung dan Seorang Serdadu

Seperti Gunung pada umumnya di seluruh dunia, Gunung selalu suci dan dianggap sebagai tempat dewa bersembunyi, tempat dunia bermula, dan tempat dunia menandai kapan manusia harus punah dari muka bumi. Hormati Gunung, tak ada yang lebih tinggi dari Gunung, meski pengetahuanmu menjulang langit. Sutisna mengingatnya, pada hari ketika Hujan Es turun di Gunung Ciremai. Orang-orang Pegunungan yang selalu ia temui semasa kecil dan teman-teman bermainnya sering mencari demit adalah para pemburu yang sering membuatnya takjub. Dunia yang kita kenal, hanya lapis layar terluar, masih ada yang lebih dalam, yang gaib, kata para pemburu sambil menunjukkan jalur setapak bekas Macan Putih Siliwangi yang masih hidup kala itu. Hari ini, di Gunung Matebian ia membayangkan macan yang lain.

Gadis itu mengerutkan keningnya, tampak bingung dan ingin protes. Namun, ia merasa bahwa ucapan Saga bukanlah sekadar candaan semata. Jelas ucapannya itu merupakan himbauan agar peristiwa tersebut tak terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya. Jadi, tanpa banyak bicara ia langsung berlari kecil ke arah gelas plastik yang ia buang sebelumnya. Mengambilnya dengan gerakan tergesa, khawatir jika setelah ini ombak besar akan datang setelahnya. Ia lantas berjalan menjauh menuju tong sampah yang terletak tak jauh dari toilet umum di sana, kemudian kembali ke bibir pantai dan berdiri di samping Saga.  

“Sudah,” celetuk gadis itu tiba-tiba.

Saga memiringkan kepalanya, “Apanya?”

“Sudah aku buang, sampahnya,”  jawab gadis itu yang dibalas anggukan oleh Saga.

Gadis itu memperhatikan Saga yang kembali mengernyitkan dahi, kali ini bukan padanya. Melainkan pada pengunjung lain yang lagi-lagi melakukan hal serupa seperti yang ia lakukan sebelumnya. Saga berjalan melewatinya dan menghampiri seorang pria tambun, mungkin berusia empat puluh tahunan ke atas. Ya, lelaki itu kini tengah menegur orang asing, lagi. Gadis itu mengawasi dari jauh, jaga-jaga jika terjadi keributan di antara Saga dan pria tersebut. Benar saja, perdebatan terjadi. Ia tak begitu mendengar percakapan mereka dikarenakan angin laut yang berhembus semakin kencang, menulikan indra pendengarannya. Namun, hal itu tampak begitu jelas dari ekspresi keduanya yang sama-sama menunjukkan raut emosi. 

Baru saja gadis itu beranjak berniat menghampiri mereka, mata gadis itu terbelalak terkejut. Menyaksikan pria tambun tersebut melemparkan bungkus makanan ke wajah Saga dan berlalu begitu saja sambil mengucapkan kata-kata kasar yang tak gadis itu mengerti. Ia kira, Saga akan mengamuk dan melayangkan umpatan sebagai balasan. Alih-alih demikian, Saga dengan wajah tanpa ekspresi justru mengambil sampah yang jatuh di dekat kakinya dan membuangnya ke tempat sampah yang tak jauh dari sana.  

Saga kemudian menghampiri gadis itu. Ia menghela napas panjang. “Udah biasa, enggak usah kaget gitu,” celetuknya kala melihat gadis itu yang memandangnya dengan tatapan kasihan.

“Jadi anggota Eco Warrior Community ternyata sesusah itu, ya?” tanya gadis itu kemudian dengan suara lirih. Wajahnya menunduk menatap pasir yang menyelimuti sebagian punggung kakinya. 

Netra Saga lurus ke depan, menyaksikan indahnya sang mentari yang perlahan tenggelam dimakan lautan. Tak dapat dipungkiri, ia memang tak sekali dua kali menerima cacian karena ucapannya yang memang bisa dibilang agak sedikit kasar saat menegur orang-orang yang membuang sampah secara sembarangan di manapun ia berada. Meski beberapa kali ia dicap masyarakat sebagai ‘orang yang suka cari masalah’, namun Saga tak lantas menyerah dan terus melakukan hal tersebut hingga saat ini. Lelaki itu tak akan membiarkan kota kelahirannya dirusak dan dikotori oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab begitu saja. Terutama, pantai ini yang notabene adalah tempat ia menghabiskan masa kecilnya. Sudah cukup kota tercintanya dengan segala masalah yang ada, Saga tak mau salah satu tempat kesukaannya kembali dibuat kotor dengan sampah berserakan dimana-mana. Begitu, pikirnya.

Hal inilah yang kemudian membuat Saga berinisiatif membuat Eco Warrior Community setelah ia lulus kuliah, bersama teman-teman dekatnya yang beranggotakan kurang lebih dua puluh enam orang. Memang tak terlalu banyak, karena komunitas ini tak begitu besar dan baru berjalan selama dua tahun. Namun, Saga dan teman-temannya berhasil melakukan visi dan misi komunitas dengan memprioritaskan kebersihan di desa-desa kumuh dan tempat wisata, seperti pantai, sungai, dan taman kota, misalnya. Meski Saga tak mampu menyelamatkan tanah kelahirannya seutuhnya dari tangan-tangan yang abai akan kewajibannya, setidaknya Saga sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjaganya melalui tindakan kecil yang ia lakukan bersama para anggota komunitasnya.

Sebenarnya, Saga tak hanya mempertimbangkan tentang seberapa berbahayanya sampah plastik bagi ekosistem laut, namun permukaan air laut yang semakin meninggi sementara dataran tempat ia berpijak semakin menurun, sudah cukup membuat hati Saga teriris saat melihatnya. Saga tak ingin tindakan kecil yang seringkali dianggap ‘sepele’ ini akan semakin memperburuk kondisi pantai dan laut yang begitu ia jaga. Hidup masyarakat sudah terancam kesehatannya karena berbagai aspek yang merugikan tubuh manusia, jangan sampai hewan-hewan di laut yang tak salah apa-apa itu juga merasakan hal sama.

Saga kemudian terkekeh, lengkungan bulan sabit muncul di kelopak matanya. Membuat sosoknya yang sebelumnya selalu terlihat serius, menghilang seketika. “Susah, kalau lo enggak ikhlas jalaninnya. Soalnya, nyuarain kesadaran lingkungan itu butuh keberanian gede, enggak semua orang mau nerima perubahan positif yang lo buat.”

Gadis itu terdiam selama beberapa saat. Lantas mengangguk kecil, menyetujui ungkapan Saga. “Omong-omong, namaku Derra. Yaya Derrawani.”

Lelaki jangkung itu menaikkan sebelah alisnya, “Derrawani? Nama lo agak unik.”

Derra menganggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Saga. “Kamu tahu Pulau Derawan? Ibuku dulunya penduduk asli di sana.”

“Pulau Derawan?” Saga merogoh saku celananya, mengambil benda pipih berbentuk persegi dan mengetik sesuatu di sana.  “Oh, berarti lo bukan asli orang sini?” tanya Saga yang dibalas anggukan setuju oleh Derra.

“Keluargaku pindah ke sini sejak dibangunnya ibu kota yang baru di pulau kami. Mungkin sekitar empat tahun lalu,” terangnya, tangannya menyilang di depan dadanya, mengingat bagaimana ibunya di kampung halaman sempat tak setuju dengan rencana pemindahan ibu kota ke pulau mereka.

“Kenapa milih buat pindah ke sini? Bukannya malah bagus, kalau tempat tinggal lo di sana tambah maju?” tanya Saga. Kali ini tangannya menepuk tempat kosong di sampingnya, mengisyaratkan pada Derra agar ia duduk di sebelahnya.

Derra menggeleng, tanda bahwa ia menolak duduk di pasir. Enggan mengotori dress merah mudanya. “Kalau disuruh nyebutin alasannya, ada banyak, sih. Selain karena tuntutan ekonomi sama fasilitas pendidikanku yang harus dipenuhi, alasan lainnya itu karena kedua orang tuaku seorang peneliti. Mereka enggak percaya kalau alasannya ibu kota dipindahin ke pulau kami itu cuma buat pemerataan pembangunan aja. Jadi, mereka ingin tahu gimana keadaan kota metropolitan yang dulunya sering diagung-agungkan itu.” 

Derra berjongkok, melipat rok selututnya agar tidak kotor. Ujung telunjuknya kemudian menari-nari di atas pasir, menggambar sesuatu yang mirip dengan kepala kura-kura yang sedang menunduk. Ya, itu adalah gambar pulau tempat ia berasal. “Mereka bukan politisi, tapi cukup peduli sama isu pemerintahan yang kadang suka bikin kebijakan seenak hati. Gimana pun juga, kalau tanah kami dibangun kota yang lebih modern, hutan dan sawah kami juga ikut dibabat habis demi membangun fasilitas yang lebih mewah. Aku enggak bisa bilang kalau aku enggak setuju. Aku enggak suka tempat tinggalku yang asri diratain sama tanah buat bangun ibu kota yang baru. Tapi, di satu sisi aku juga senang bayangin hal itu.”

Saga mengangguk mengerti. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi Derra kala melihat tempat tinggalnya dirusak dan dirubah begitu saja. Lelaki itu lantas ikut menerawang jauh pada hamparan lautan dan deru ombak yang semakin membesar kala mentari semakin redup cahayanya. Ia memutar memori kala pantai di pinggiran ibu kota kesayangannya ini masih begitu bersih dan minim akan pencemaran. Air lautnya begitu jernih, pasirnya tak begitu putih, namun bersih tanpa noda. 

Sedari kecil, Saga seringkali ikut berlayar menggunakan kapal membantu pamannya menangkap ikan. Berenang di daerah perairan dangkal dan menyapa hewan-hewan serta tumbuhan laut yang kaya akan aneka ragamnya. Memori tersebut agaknya masih begitu sejuk di ingatannya. Terutama, saat pamannya mengatakan padanya tentang arti ‘Sagara’ yang tersemat dalam dirinya. “Namamu itu lebih bermakna dari kata ‘laut’ itu sendiri. Kamu tahu, kenapa? Karena laut itu bukan hanya sekadar air, Nak. Ia adalah ibu yang memberimu makan, bahkan sejak kamu belum lebih besar dari biji daun kemangi. Ia juga ayah yang memberimu nafkah, dengan menjaring rezeki dari riak dalamnya samudera. Jika kita tak merawatnya, lalu bagaimana mungkin laut tetap menjadi ibu dan ayah jika anak-anaknya tega membuang racun di tubuhnya tanpa belas kasihan?” 

Ucapan itu terus terngiang di benak Saga. Dulu ia pikir, orang jahat mana yang tega mencemari lautan yang begitu indah nan elok ini? Semua orang pasti akan mengagumi tempat itu, jika mereka melihat betapa indahnya dunia bawah perairan yang biru. Namun, begitu ia mulai beranjak duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama, laut indah yang begitu ia kagumi itu hancur sirna saat pantai dan lautnya mulai dicemari limbah sampah. Tak sekali dua kali Saga menemui penyu dan kura-kura di laut yang lehernya terlilit bahkan mati karena tenggorokannya tersumbat sampah plastik. Ada pula kabar mengejutkan mengenai masyarakat di sekitar pantai yang tiba-tiba jatuh sakit setelah mengkonsumsi hasil tangkapan mereka. 

Baca Juga: Malang

Bagaimana bisa, kota yang selama ini ia dambakan sebagai pelabuhan terakhir puncak kehidupannya justru membuatnya menjadi orang termalang yang pernah ada di dunia. Ia ingin menyerah saja. Ia rasa realitas jauh berbeda dengan apa yang ia proyeksikan di kepalanya selama ini.

Kabar mengerikan pun mulai terdengar, membuat masyarakat juga nelayan panik akan peristiwa yang menimpa mereka. Penyebab utama dari musibah tersebut, tak lain dan tak bukan karena ikan-ikan di laut telah tercemar oleh mikroplastik yang berasal dari limbah plastik dan limbah industri yang dibuang ke laut lepas. Apabila dikonsumsi manusia, maka akan menyebabkan gangguan kesehatan berupa peradangan hingga penyakit kronis lainnya. Jika sudah demikian, yang dirugikan tak hanya para masyarakat saja, melainkan juga para nelayan beserta ekosistem laut yang ada di dalamnya. 

Belum selesai dengan isu tersebut, Saga kembali diguncang dengan kabar ditemukannya biota-biota laut seperti kepiting, udang, dan beberapa jenis ikan yang mati di daerah ekosistem mangrove yang tak jauh pula dari rumahnya. Penyebabnya masih tetaplah sama seperti sebelumnya. Saga tentunya sangat geram, namun saat itu ia masih bersekolah, jadi ia masih belum bisa melakukan banyak hal untuk meminimalisir peristiwa tersebut. Hal inilah yang kemudian membuat tekad Saga semakin kuat untuk menekuni bidang teknik lingkungan dan kelautan saat kuliah, dan mendirikan Eco Warrior Community bersama teman-temannya.

Mendengar cerita Saga, hati Derra terenyuh melihat bagaimana lelaki itu begitu mencintai tempat kelahirannya. Derra yang tumbuh di pulau yang masih begitu asri dan terjaga akan kelestarian lingkungannya, justru malah mendambakan hidup di kota metropolitan yang serba modern dan lebih lengkap fasilitasnya. Gadis itu semakin menyadari, betapa kurang bersyukurnya ia hidup di lingkungan yang penuh akan kekayaan alam dan begitu didambakan oleh orang-orang yang justru tinggal di kota-kota besar. Inilah mengapa, saat Darra diajak kedua orang tuanya untuk pergi ke kota ini, ia yang paling bersemangat dan membayangkan betapa menyenangkannya tinggal di lingkungan yang serba modern. 

“Andaikan aja, nih. Kalau kota ini bisa ngomong, pasti dia akan berterima kasih banget sama kamu. Kota ini emang banyak sisi kelamnya, tapi dengan adanya kamu, aku rasa kota ini masih punya harapan,” celetuk Derra. Lengkungan kurva muncul di sudut bibirnya.

Saga terkekeh pelan, menoleh ke arah Derra dengan senyum percaya diri. “Harapan itu bukan cuma dari gue. Tapi, dari semua orang yang masih mau peduli. Termasuk, lo. Kenapa? Karena lo yang tadinya buang sampah sembarangan aja, bisa juga mikir kaya gini.”

Gadis itu terkekeh malu. Benar juga, pikirnya. Di saat yang sama, Derra kini merasa tercerahkan akan betapa pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Meski bencana lingkungan masih kerap terjadi, namun hal itu tak sepenuhnya dalam kendali manusia. Dari Saga, Derra belajar untuk tetap tak putus asa dalam memperjuangkan kesadaran lingkungan dengan tetap melakukan hal sesederhana ‘membuang sampah pada tempatnya’. Karena sesuatu itu memang tampak begitu sepele, namun dampaknya begitu besar bagi kehidupan makhluk yang ada di dalamnya. 

Mungkin, kita hanyalah Derra yang belum dicerahkan Saga. Namun, penulis berandai cerpennya dapat menjadi Saga bagi pembaca.

 Editor : Nurul Lutfiyyah

(Visited 37 times, 1 visits today)

Last modified: 20 Februari 2025

Close