Written by Nola Amalia Rosyada 20:45 Cerpen

Malang

Ilustrasi cerpen 'Malang' oleh Eza/UAPM INOVASI

Peringatan: Cerpen ‘Malang’ ini mengandung konten sensitif bagi beberapa kalangan. Kebijaksanaan pemirsa disarankan. Jika Anda dalam kondisi depresi atau memiliki kecenderungan bunuh diri, segera cari bantuan atau hubungi layanan kesehatan jiwa terdekat.

Bagaimana bisa, kota yang selama ini ia dambakan sebagai pelabuhan terakhir puncak kehidupannya justru membuatnya menjadi orang termalang yang pernah ada di dunia. Ia ingin menyerah saja. Ia rasa realitas jauh berbeda dengan apa yang ia proyeksikan di kepalanya selama ini.

Botol obat-obatan berserakan di mana-mana, di meja, di atas tempat tidur, bahkan di kamar mandi. Entah berapa banyak obat yang harus ia teguk hanya agar ia bisa terlelap. Berbeda dengan obat-obatan, bungkus silet bermerk Gillette tertata rapi di atas rak kayu, benda itu ia beli di e-commerce, sengaja ia taruh di tempat mudah karena bila saja ia ingin menggunakannya, ia tidak sukar mencarinya. Ia merasa ini salah. Ini tidak benar. Tapi bagaimana? Ia sudah coba berbagai cara untuk berhenti tapi akhirnya Gillettelah yang menemani dirinya di hari-hari berat. Menemaninya melukiskan perasaannya hingga tuntas dan membuatnya lega.

Sekarang ia sedang terbujur di lantai kamarnya tepat berbaring di bawah rak kayu itu. Ditemani tangannya terbalut kain-kain yang ia kumpulkan memang untuk saat-saat seperti ini. “Ah … sial,” umpatnya.

Menyesal tentu saja ia menyesal. Entah kapan ia berjanji tidak akan melakukan ini pada dirinya sendiri. Namun, hari ini ia melakukannya lagi. “Ah … sial!” Kini ia berteriak sambil menjambak rambutnya.

Perlahan cairan di tangannya menetes ke lantai, mengotori lantai kamarnya. Ia berbaring kembali menghadap ke kanan, tepat di bawah tempat tidurnya ia melihat album foto yang mungkin tiga tahun tidak pernah ia buka. Ia meraihnya. Membukanya dan mulai menangis.

Baca Juga: Mencari Bintang dalam Kakinya

Di detik kesembilan, detak bahagia berhenti, dan bunga mawar ikut terdiam. Mereka menanyakan keberlanjutan kisahmu dengan seorang yang kemarin kamu banggakan di podium dan di telingaku. Lantaran kemarin, kau masih menari ceria bersama nona cantik itu di atas panggung, dengan gaun merah darahnya, terasa seperti melihat film Clark. Film romantik kesukaaanmu.

Karena album foto itu, ingatan lamanya muncul. Mungkin ingatan yang akhir-akhir ini tak pernah hadir sama sekali. Ia ingat sebelum datang ke kota Malang. Ia ingat keluarga yang sudah lama ia rindukan. “Aku rindu Mama,” isaknya kuat sambil memeluk album foto itu. “Aku tidak sanggup, Ma. Aku ingin bersama Ma … ma. Mama tolong ak-u,” ujarnya sambil tersedu-sedu.

Ia pernah tinggal di Desa Kuala Selat, sebelum dirinya memutuskan untuk menetap di Malang. Desa itu adalah desa kecil yang penduduknya sangat ramah dan hangat. Ia adalah anak yang amat ceria. Setiap hari ia membantu Mama dan Ayahnya untuk sekedar memanen tanaman di kebun samping rumahnya, menemani Ayahnya ke pasar untuk menjual hasil panen mereka, menemani Mamanya memasak bahan pangan hasil panennya hingga membagikan hasil panennya pada tetangga-tetangga. Ia menyukai hidupnya. Ia mencintai hidupnya. Ia adalah gadis baik yang punya mimpi dan punya ambisi. Ia ingin bersekolah tinggi dan membanggakan orang tuanya. Impiannya adalah merantau ke kota yang jauh agar ia bisa mandiri.

Kehidupannya berlalu dan ia diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Malang. Mama dan Ayahnya senang sekali, tapi di sisi lain sebenarnya mereka tidak mau melepas anak semata wayangnya pergi jauh. Mereka ingin anak mereka tetap di sini. Tapi mereka tahu, menahan anak mereka di sini bukanlah keputusan yang membuat anaknya bahagia. Merekapun merelakan anak mereka pergi jauh untuk mengampu pendidikan yang lebih baik. Mereka mengantar anak mereka ke bandara, mengantar anaknya untuk terbang ke kota. Meski sebenarnya tidak rela, akhirnya bandara menjadi saksi bahwa mereka telah berpisah sangat jauh untuk pertama kalinya.

Ia mengingat pertama kali ia menginjakkan kaki di kamar ini, kamar yang sampai saat ini ia tempati. Dulu ia masih sangat bahagia, akhirnya bisa merantau dan mandiri. Ia tersenyum tipis sambil mengusap air matanya mengingat hal tersebut. “Dulu aku sangat naif,” katanya lirih.

Ia mengingat masa-masa awal berada di sini, tujuh tahun lalu mungkin. Ia cukup bahagia, ia hanya ingin berprestasi dan membanggakan kedua orangtuanya di desa. Hingga ia mengingat peristiwa yang menimpanya empat tahun lalu. Masa paling hancur dalam hidupnya yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini.

Ketika itu ia sedang aktif-aktifnya dalam dunia pendidikan, tiba-tiba ada kabar dari desa. Begitu terkejutnya dia mendengar kabar dari tetangganya. “Nak, pulanglah. Mama dan Ayahmu sudah tidak ada,” kata tetangganya melalui telepon.

Baca Juga: Lucid Dream

Kasur di asrama terasa berkali-kali lebih empuk, kubergeser pun tak terdengar suara lapukan kayu ranjang. Aku tersadar sedikit, apakah ini dia? Kupastikan dengan berguling ke samping. Lalu, ya! Hal itu terjadi. Aku terbang!

Dunianya seakan hancur. Ia tidak tahu respon apa yang harus diberikan saat itu. Bibinya masih terusa saja bicara, menceritakan bagaimana kronologi kecelakaan yang menimpa orang tuanya. Ia hanya terdiam. Pandangannya terasa gelap. Ia terduduk dan menjatuhkan telepon seluler yang berada di genggamannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa hal yang selama ini tidak pernah ia duga akan terjadi? Ia tidak punya siapa-siapa lagi selain keluarganya. Bahkan ia sekarang jauh di perantauan. Perasaannya kalut tak karuan. Ia menangis sejadi-jadinya setelah itu.

Setelah kejadian itu ia hampir memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya. Ia tidak mau bicara dengan siapapun. Ia bahkan tidak mau melanjutkan hidupnya. Ia sudah menjadi pribadi yang berbeda dengan ia yang sebelumnya. Ia menjadi agak gila. Benar-benar seperti bukan dirinya. Untungnya nasihat-nasihat tetangganya tidak pernah luput darinya. Ia menerima semua jenis nasehat setiap hari agar bisa ikhlas dan menerima. Ia juga ditemani agar ia tidak menyakiti dirinya.

Lambat laun ia tercerahkan. Ia kembali ke Malang, melanjutkan pendidikannya. Namun, saat itu pemikirannya sudah berbeda. Ia rasa tidak ada yang harus ia banggakan lagi. Ia hanya hidup seadanya, semaunya. Saat saat awal ia rindu kedua orang tuanya ia menangis semalaman dan memutuskan untuk pulang ke kampung halaman untuk melihat makam mama dan ayahnya. Itu terjadi berulang kali hingga ia pada satu waktu dia merasa pulang membuatnya ingat kenangan dengan orang tuanya. Hal itu membuatnya sedih sekali. Pulang membuatnya merasa semakin sedih. Sejak saat itu ia memutuskan tidak akan kembali kesana lagi sebagai bentuk rasa ikhlasnya, ia pikir.

Kehidupan ia di Malang pun berlanjut. Ia melanjutkan pendidikannya. Ia masih sesekali menangisi kepergian orang tuanya jika tiba-tiba teringat. Namun, ada hal lain yang membuatnya sulit selain rasa rindu pada kedua orang tuanya. Diskriminasi akan status anak desa dari teman-temannya mulai membuatnya tidak nyaman. Belum lagi ia harus fokus pada tugas-tugasnya supaya ia bisa lulus. Ditambah lagi sekarang ia tidak punya orang tua yang bisa menafkahi hidupnya lagi.

Ia lelah. Tekanan dari atas, bawah, kanan, dan kiri seakan menyerangnya hingga titik terendah. Karena tidak tahan pada situasinya itu ia mulai mengenal self harm. Ia rasa dengan menyakiti dirinya secara impulsif di satu waktu, rasa sakit pada hal lain yang ia alami menjadi sedikit lebih reda karena pada saat itu ia sedang menyakiti dirinya. Ia memulai dengan menggores tangannya dengan cutter. Hingga ia mencari alternatif lain dan bertemulah dengan Gillette yang menjadi teman baiknya hingga kini. Namun, sebenarnya ada kontradiksi dalam dirinya tiap ia melakukannya. Ia rasa tidak bijak menyakiti diri sendiri jika tekanan pada dirinya sudah banyak. Bukankah ia akan semakin terluka? Terluka fisik dan batin sekaligus. Belum lagi bagaimana jika ia pikir orang tuanya melihat dari atas sana? Apa mereka senang melihatnya seperti ini? Tapi apa daya, ia tak punya pelarian lainnya.

Ia memandangi bekas luka-luka di tangannya lagi. Masih sambil memeluk album foto yang berada pada perutnya itu. Ia buka lagi album foto itu. Melihat foto mama dan ayahnya. Ia usap-usap foto itu. “Ma, Yah, kalian pasti tidak bangga melihatku seperti ini bukan? Maaf, ya, Ma, Yah,” sambil mengusap foto kedua orang tuanya.

“Aku tau kalian merindukanku. Maaf, Ma, Yah. sudah tidak pernah mengunjungi kalian,” ujarnya.

“Secepatnya aku akan ke sana, salahku karena berpikir kalau tidak mengunjungi kalian membuatku ikhlas, nyatanya sekarang aku menjadi lebih hancur. Aku tidak akan lari lagi Ma, Yah. Aku akan kembali. Tunggu aku, ya,” ujarnya sambil memeluk album foto itu lagi.

Editor: Faris Rega Riswana

(Visited 174 times, 1 visits today)

Last modified: 20 November 2023

Close