Written by Ahmad Pujiyono _&_ Rifals Aflaha Makasabat 09:56 Opini

Polarisasi Politik Identitas Sebagai Senjata Utama di Pilpres 2024*

Polarisasi Politik Identitas Sebagai Senjata Utama di Pilpres 2024

Pemilihan Presiden (Pilpres) sudah semakin dekat, hanya terhitung sekitar lima bulan lagi saat tulisan ini dibuat. Hajat besar seluruh rakyat. Demikian kata orang-orang berpakaian rapi, dengan rambut klimis, berjas, tak lupa sepatu pantofel necis yang kinclong. Menurut PKPU No. 3 Tahun 2022, pencoblosan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pilpres 2024 akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 secara serentak.

Hal ini membuat para Bakal Calon Presiden (Bacapres) yang akan maju dalam Pilpres semakin gencar dalam menebar jala lewat janji-janji manis dari setiap mereka. Tak hanya janji saja, kebanyakan para paslon juga mengatur strategi dengan melakukan politik identitas sebagai salah satu jalannya. Dengan politik identitas, para capres/cawapres akan dengan mudah melakukan kampanye untuk meraih suara rakyat dengan biaya yang murah. Kenapa bisa dikatakan murah? Dengan menjual kesamaan—kesamaan agama yang segolongan, suku, ras, kelas sosial, budaya, pendidikan, etnis, bahasa, afiliasi politik dan banyak lagi, dengan begitu— politisi yang akan maju pada CAPRES CAWAPRES 2024 nanti, tak perlu merogoh saku lebih dalam saat berkampanye, jika sudah bicara soal kesamaan agama, suku, ras dan lainnya, massa cenderung ikhlas memilih sang pemimpin jika mempunyai kesamaan, dan segolongan. Karena yang dijadikan landasan massa memilih adalah kesamaan para politisi bukan soal kekuasan dan visi misinya.

Baca Juga: Sutan Sjahrir; Merengkuh Sosialisme dengan Politik Diplomasi

Padang Panjang, 110 tahun lalu tepatnya 5 Maret 1909 adalah hari dimana sosok mantan Perdana Menteri Indonesia pertama (1945-1947) ini dilahirkan. Ia menjadi perdana menteri pada usia 38 tahun, perdana menteri termuda di dunia ini. Sjahrir adalah a man of paradox. Tubuhnya kecil dengan tinggi 145 sentimeter, dan berat badan hanya 45,5 kilogram. Namun di sana tersimpan energi dahsyat. Inteligensinya mengagumkan. Maka tak mengherankan jika Sarojini Naidu (1879-1949) menyebutkan sebagai perdana menteri atom.

Para capres/cawapres tahun 2024 ini sudah semakin banyak mengucapkan janji-janji yang begitu populis ditebar lewat berbagai media seperti baliho, surat kabar, maupun media audiovisual. Janji-janji yang disampaikan para bacapres pun beragam, mulai dari kesetaraan kesempatan untuk mendapat pendidikan yang baik, menaikkan gaji guru menjadi Rp. 30 juta, sampai berjanji akan memberikan makan siang dan susu gratis untuk murid sekolah, pesantren, balita dan ibu hamil. Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menetapkan jadwal kampanye 2024 yang diterbitkan PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye Pemilu 2024, yang berlaku pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024, mereka sudah gencar menyampaikan gagasan-gagasan untuk perubahan jika mereka terpilih.

Tak hanya itu, politik identitas pun digunakan oleh para capres/cawapres untuk menambah daya gedor kampanye untuk meraih suara paling banyak dari persaingan agar menjadi orang nomor satu di Indonesia. Salah satu bentuk politik identitas yang tersorot yaitu dari capres yang diusung dari partai PDIP pada hari Jumat (21/4/2023) Ganjar Pranowo. Dalam tayangan video adzan magrib di salah satu stasiun televisi swasta memperlihatkan Ganjar Pranowo sedang melakukan gerakan wudhu dan setelah itu ia duduk di shaf barisan depan sebagai makmum.

Hal ini sudah termasuk dalam polarisasi politisasi identitas, sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal, karena, lingkup dalam menjual politik identitas begitu luas, dan dengan dipublikasikan video ganjar di adzan magrib, dapat memengaruhi masyarakat dalam memilih, dengan menonjolkan agama dan keyakinannya sebagai sisi spiritualitas seorang figur pemimpin. Dengan penduduk Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam, akan sangat berpeluang seorang Ganjar Pranowo dalam meraih suara.

Tidak bisa dipungkiri memang, bentuk kampanye dengan menjual politik identitas adalah cara yang lebih mudah dalam meraup suara pemilu, daripada menjual visi misi yang diusung para capres/cawapres, akan membutuhkan waktu lama dan tidak efisien, juga butuh kecermatan dalam menyampaikan sebuah visi misi yang diusung agar dapat tersampaikan dengan baik kepada publik.

Pasangan capres dari Partai Nasdem yaitu Anies Baswedan juga tidak bisa lepas dari indikasi politik identitas dalam mengarungi Pilpres 2024. Hal ini dibuktikan dengan adanya manuver politik yang dilakukan oleh partai nasdem dengan menggandeng Muhaimin Iskandar (Cak Imin) sebagai cawapres. Seperti yang kita ketahui Cak Imin Merupakan Ketua Umum PKB yang memiliki basis suara sangat besar di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Keputusan Nasdem untuk memilih cak Imin ini menunjukan adanya politik identitas yang sangat kental dari Capres Anies Baswedan. menunjukkan indikasi politik identitas . Bukan hal yang mustahil bahwa kedepannya akan banyak kampanye-kampanye yang berbau keagamaan.

Kemudian dari Capres Prabowo Subianto, politik identitas terlihat jelas pada manuver politik mereka yang menggandeng anak dari Presiden Jokowi yaitu Gibran Sebagai Cawapresnya. Pemilihan Gibran sebagai Cawapres tidak lepas dari tujuan mereka dalam mengambil suara dari pemilih Jokowi di Pilpres sebelumnya. Hal ini tentunya sangat menggambarkan politik identitas karena lebih mengorientasikan pamor daripada kompetensi cawapresnya. Gibran memang bukan politisi yang buruk, tapi dia masih minim pengalaman dalam dunia politik untuk langsung terjun sebagai Cawapres.

Baca Juga: Untukmu Politikmu, Untukku Politikku

Maraknya pemberitaan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di kalangan masyarakat tak luput pula kaitannya dengan isu agama yang kian mendominasi. Layaknya masakan yang tak sedap bila tak ada bumbu, begitu pula politik yang tak akan ramai jika tak ada agama. Peribahasa yang kian ramai diperbincangkan.

Politik identitas memang bukan sesuatu yang dilarang dalam Undang-undang, namun penggunaan politik identitas secara massif akan sangat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini dikarenakan politik identitas mencerminkan dinamika kompleks di mana kelompok-kelompok masyarakat menggolongkan diri berdasarkan karakteristik tertentu, seperti suku, agama, atau gender, untuk memperoleh kekuatan politik. Benedict Anderson dan Stuart Hall menyoroti bagaimana konsep identitas ini dibangun melalui proses historis dan budaya. Meskipun dapat memperkuat Solidaritas kelompok tertentu, namun politik identitas juga dapat memunculkan konflik dan ketegangan antar kelompok yang lain.

Politik identitas juga dapat mengalihkan pembahasan mengenai isu-isu penting yang seharusnya mendapat perhatian dari para capres. Selain itu politik identitas juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menutupi kekurangan dan ketidakompetenan seorang calon pemimpin.

Sebagai mahasiswa kita harus mampu memilih presiden secara objektif dengan melihat visi, misi dan rencana pembangunan berkelanjutan yang jelas. Kita juga harus mampu memberikan edukasi kepada orang lain seperti keluarga atau teman mengenai bahaya politik identitas. Hal ini karena masyarakat Indonesia masih terlalu awam terhadap politik identitas. Masih banyak Masyarakat yang dengan mudah terjebak kampanye dan doktrin politik yang memecah belah. Hal penting yang perlu kita ketahui adalah dengan menjadi pemilih yang cerdas berarti membantu Indonesia untuk maju.

Editor: Wildan Firdausi

*Opini ini adalah hasil kolaborasi antara UAPM INOVASI dan LPM Pena Merah UPNV Jatim

(Visited 114 times, 1 visits today)

Last modified: 05 November 2023

Close