Arkeologi dan Seni Pertunjukan Tari akan menjadi fokus pembahasan pada perhelatan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2023. Dua hal tersebut merupakan dua dimensi kepakaran yang melekat pada almarhumah Edi Sedyawati, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993 – 1998). Dengan demikian, perhelatan BWCF 2023 kali ini mengangkat tema “Tribute to Edi Sedyawati” untuk mengenang setahun kepergian sosok intelektual tersebut.
Seno Joko Suyono, Kurator sekaligus Founder BWCF menuturkan, disertasi yang pernah ditulis oleh Edi Sedyawati menjadi salah satu magnum opus bagi dunia arkelogi Indonesia. Disertasi yang dimaksud berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian, sebuah penelitian yang dilakukan secara teliti atas 169 arca Ganesa.
Baca Juga: Belajar Kesetaraan Gender dari Film Kartini
Perpusatkaan Pusat Universitas Islam Negeri (UIN) Malang menyelenggarakan acara Nobar dan Ngupi (Nonton Bareng dan Ngupas Pilem). Acara tersebut mengundang Mundi Rahayu, Dosen Jurusan Sastra Inggris UIN Malang sekaligus pakar budaya dan media sebagai pemateri diskusi. Acara yang bertempat di Rumah Jurnal UIN Malang itu membahas film dengan judul Kartini.
Untuk memperingati karya penelitian tersebut, BWCF kali ini juga mengadakan acara launching buku yang berisi artikel-artikel dari para peneliti melalui program call for paper. Buku yang berisi sekitar seribu halaman tersebut berjudul Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Pelestarian Warisan Budaya, memuat banyak aspek dari Ganesa yang belum dibahas oleh Edi Sedyawati dalam disertasinya.
Selaras dengan Seno tentang hubungan Edi Sedyawati sebagai Arkeolog, Dwi Cahyono memandang sosok tersebut mampu dengan banyak melakukan eksplorasi kajian dan menghadirkan pemikiran-pemikiran tentang Ganesa dari dua era (Kadiri dan Singhasari) secara menarik. “Bahkan dalam disertasinya, banyak melakukan rekonstruksi kajian historis yang menarik mengenai Nusantara di era Kadiri dan Singhasari dalam berbagai bidang,” jelas Dosen Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) tersebut. Dengan pendekatan yang dilakukan almarhumah dalam penelitian tersebut, menurut Dwi, mampu menunjukkan adanya rekonstruksi sosio-kultural (kajian lintas bidang) pada dua era tersebut.
Penari Sekaligus Pengamat Tari
Begitu pula, dalam hal seni tari, Edi Sedyawati termasuk penari dan pengamat tari yang sarat pengalaman. Pengalaman tersebut, lanjut Seno, mampu memberikan kontribusi yang cukup banyak bagi khazanah seni tari di Indonesia. “Kita ingat satu bukunya Seni Pertunjukan diterbitkan Sinar Harapan tahun 80-an, merupakan buku yang sangat berpengaruh bagi kalangan seniman dan budayawan Indonesia,” imbuh Seno dalam konferensi pers BWCF 2023 (21/11). Dalam salah satu esai tari tersebut, terdapat kajian tentang Relief Tari Prambanan yang menurut Seno memiliki pembahasan tingkat akademis yang sangat tinggi karena almarhumah dapat memerinci bacaannya terhadap anatomi gerak tari tersebut.
Rencananya, pada pre-opening BWCF 2023 akan menampilkan pemutaran film dokumenter yang berisi wawancara Edi Sedyawati semasa hidupnya. “Di situ [film dokumenter] Bu Edi menceritakan bagaimana dia belajar menari dan bagaimana ketika semasa mahasiswanya dia sudah terjun ke dalam acara-acara diplomatik untuk menari di luar-luar Indonesia pada masa Soeharto,” lanjutnya. Acara pre-opening tersebut rencananya akan dilaksanakan di Gedung Heritage KPPN Malang pada Kamis malam (23/11).
Baca Juga: Mempertanyakan Independensi Media Massa Menjelang Pemilu 2024
Kebebasan Pers menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) kembali menjadi pembahasan lantaran independensi kepemilikan media massa di Indonesia. Pembahasan tersebut muncul dalam Diskusi Publik Jurnalistik Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIANNS dengan tema “Independensi dan Kewajiban Publik dalam menghadapi Tahun Politik 2024”. Eko Widianto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang turut hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini.
Dwi turut memberi kesaksiannya terkait hubungan antara seni tari dan almarhumah Edi Sedyawati. Menurutnya, bakat sebagai penari telah muncul sejak ia kecil. “Bakat bu Edi Sedyawati, sebagai penari, sudah terlihat sejak kecil, terlihat sejak di Malang. Ini yang sempat mengejutkan keluarganya ketika suatu waktu Edi Sedyawati itu naik di meja, ketika berkumpul, dan menari di atas meja,” ungkapnya.
Sekadar informasi, seluruh kegiatan inti BWCF 2023 akan dilaksanakan di Universitas Negeri Malang (UM). Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang dilaksanakan di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Diskusi buku-buku arkeologi terbaru, program meditasi, malam pertunjukan tari kontemporer, pemutaran film tari, workshop tari, dan pertunjukan musik akan dihelat pada acara tersebut. Tidak lupa pula, penyair, penulis, hingga novelis ternama seperti Leila S. Chudori, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Martin Suryajaya, dan lain-lain turut diundang dalam acara yang digelar selama lima hari pada 23 – 28 November 2023 tersebut. []
Last modified: 22 November 2023