Sudah dua tahun pasca Tragedi Kanjuruhan terjadi. Namun, keluarga korban merasa belum mendapatkan keadilan. Keluarga korban terus menyampaikan keluhan mereka hingga pada Aksi Kamisan Malang di depan Balai Kota Malang, pada Kamis (03/10/2024).
Nuri Hidayat, salah satu keluarga korban mengatakan laporan yang diajukan ke Markas Besar (Mabes) Polisi Republik Indonesia (Polri) tidak mengalami kemajuan. Tindak lanjutnya hanya sampai rencana penyidikan.
“Setelah kita kirim laporan itu, empat bulan baru ada [ditindaklanjuti], terus sampai sekarang belum ada perkembangan lagi,“ jelasnya.
Senada dengan Nuri Hidayat, Cholifatul Noor Ibu dari Jovan, salah satu korban, kecewa dengan lemahnya birokrasi di Indonesia, laporan yang selama ini mereka ajukan tidak mengalami perkembangan. Selain itu, menuntut kasus tragedi Kanjuruhan ini dimasukkan kedalam pelanggaran HAM berat dan menuntut negara untuk meminta maaf kepada keluarga korban.
“Wajib dimasukkan dalam pelanggaran HAM berat, negara harus mengakui bahwa Tragedi Kanjuruhan adalah kesalahan negara, dan harus minta maaf ke kami. Juga terus mengusut keadilan,“ terangnya.
Baca Juga: Kecewa terhadap Vonis Ringan Terdakwa Tragedi Kanjuruhan, Aksi Kamisan Kembali Digelar
Salah satu tuntutan pada Aksi Kamisan ini adalah Mendesak majelis hakim yang menangani perkara A quo untuk menjatuhkan putusan seberat-beratnya dan seadil-adilnya dalam pengadilan tingkat pertama terhadap para terdakwa, banding, dan kasasi.
Tragedi Kanjuruhan memakan 135 korban jiwa, dikutip dari Laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Stadion Kanjuruhan, BAB I tertulis, “Jumlah korban meninggal dalam peristiwa Stadion Kanjuruhan Malang menempati urutan kedua peristiwa tragis dalam sejarah sepak bola dunia.” Bunyi pada nomor 2 BAB I.
Juwariya, Ibu dari Sifwa Dinar, salah satu korban. Ia telah mendapatkan intimidasi. Pertama kali Juwariyah mendapatkan intimidasi dari pihak penyelenggara, Perseroan Terbatas Liga Indonesia Baru (PT. LIB). Juwariyah dipaksa berkata di video yang direkam oleh pihak PT. LIB, bahwa tragedi ini adalah kesalahan suporter bukan pihak penyelenggara. Juwariyah menolak, karena ia yakin di malam kelam itu anaknya menjadi korban kebengisan aparat penegak hukum.
“Disuruh bilang ini bukan kesalahan LIB, tapi kesalahan suporter, kita nggak mau dong!” tegasnya.
Tak hanya dari pihak penyelenggara, intimidasi juga datang dari kepolisian. Juwariyah mengatakan ia mencoba berorasi di saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Pasar Bululawang, Malang. Menagih janji presiden untuk mengusut tuntas kasus Tragedi Kanjuruhan. Belum sempat mengatakan sepatah kata pun, mereka dilarang oleh Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres), mereka sampai berseteru. Setelah kejadian itu, demi keamanan Juwariyah, pihak suporter Arema waktu itu menyarankan untuk tidak pulang ke rumah karena beberapa polisi terlihat mendatangi rumahnya.
“Kok berhenti di rumah saya gini langsung melaju keras tuh, waktu itu saya langsung diajak teman saya enggak usah tidur di rumah, langsung tidur di hotel aja,” terangnya.
Nuri Hidayat menyampaikan bahwa keluarga korban tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan. Karena menurutnya, putusan Pengadilan Surabaya terhadap terdakwa Tragedi Kanjuruhan bukanlah keadilan yang sebenarnya.
“Kita untuk Tragedi Kanjuruan akan menumpang di acara Aksi Kamisan sampai terjadi keadilan yang sebenarnya. Keadilan itu menurut saya bukan putusan satu tahun atau dua tahun gitu, loh,” ujarnya.
Editor: Nurul Luthfiyyah
Last modified: 07 Oktober 2024