Genap dua tahun berlalu, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan masih belum mendapatkan keadilan. Tragedi yang merenggut 135 nyawa ini tetap terukir dalam ingatan banyak orang, terutama bagi kelompok yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Keadilan Korban Kanjuruhan (JSKK).
JSKK bersama berbagai elemen masyarakat telah menginisiasi serangkaian kegiatan untuk memperingati dua tahun Tragedi Kanjuruhan. Tanggal 1, 3, dan 5 Oktober 2024 dipilih sebagai momentum penting untuk mengenang peristiwa kelam yang mengguncang dunia sepak bola Indonesia.
Pada 1 Oktober 2024, JSKK bersama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Malang Raya melakukan Aksi Damai di halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Malang. Dalam aksinya, JSKK menyampaikan 10 tuntutan, termasuk permintaan agar kasus Tragedi Kanjuruhan diusut tuntas dan diakui sebagai pelangaran HAM berat.
Hasil dari aksi damai ini ditandatangani oleh Darmadi, selaku Ketua Sementara DPRD Kabupaten malang yang menemui massa aksi. Dalam kesempatan itu, Darmadi menyatakan dukungannya terhadap tuntutan yang disampaikan.
Baca Juga: Dua Tahun Pasca Tragedi Kanjuruhan, Keluarga Korban Terus Menuntut Keadilan Lewat Aksi
Senada dengan Nuri Hidayat, Cholifatul Noor Ibu dari Jovan, salah satu korban, kecewa dengan lemahnya birokrasi di Indonesia, laporan yang selama ini mereka ajukan tidak mengalami perkembangan. Selain itu, menuntut kasus tragedi Kanjuruhan ini dimasukkan kedalam pelanggaran HAM berat dan menuntut negara untuk meminta maaf kepada keluarga korban.
“Tentunya itu adalah aspirasi dari seluruh masyarakat, termasuk korban tragedi Kanjuruhan. Jadi, akan kami dukung bersama dengan seluruh anggota DPRD Kabupaten Malang. Bahkan saya yakin, Pemerintah Kabupaten [Malang] juga akan mendukung hal tersebut,” terang Darmadi.
Kemudian, pada 3 Oktober 2024, JSKK bersama Aksi Kamisan Malang, yang dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa, kembali menyuarakan tuntutan serupa. Mereka berkumpul di depan kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPR) dengan membawa poster-poster bertulisan, seperti “1 Oktober Hari Duka Sepak Bola”, “No More Genocide”, dan “Never Stop Talking About Kanjuruhan”.
Dalam aksi tersebut, para peserta bergantian menyampaikan orasi, puisi dan musikalisasi puisi. Poin utama yang dibahas pada aksi kamisan kali ini adalah tuntutan agar negara mengakui tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat.
Ifa, salah satu keluarga korban menyampaikan kekecewaanya terhadap pemerintah yang hingga kini belum memberikan pengakuan resmi terkait tanggung jawab atas insiden tersebut. “Kami menuntut agar negara mengatakan bahwa tragedi Kanjuruhan adalah kesalahan negara dan merupakan pelanggaran HAM berat. Sampai sekarang belum ada pengakuan itu,” tegasnya. Aksi ini berlangsung hingga pukul 18.00 WIB dan diakhiri dengan menyalakan lilin yang dibentuk menyerupai gambar hati sebagai simbol mengenang peristiwa kelam dua tahun lalu.
Rangkaian acara terakhir yang disusun oleh JSKK dan elemen yang terlibat adalah penyambutan kedatatangan Miftahuddin Ramli alias Midun di Malang, setelah melakukan perjalanan sepeda dari Malang ke Jakarta untuk kedua kalinya. Penyambutan diawali dengan konvoi dari Stadion Gajayana ke Stadion Kanjuruhan, dilanjutkan dengan tasyakuran dan doa bersama di depan gate 13 stadion Kanjuruhan.
Acara berlanjut dengan sesi dialog interaktif, di mana Midun menjadi pembicara utama, didampingi oleh Hasan salah satu keluarga korban yang turut andil sebagai pembicara kedua. Midun menekankan bahwa Tragedi Kanjuruhan tidak boleh hanya dipandang sebatas kenangan kelam. “Saya rasa terlalu pasrah bagi kita untuk menerimanya, karena [tragedi] ini masih pantas untuk diperjuangkan keadilannya,” ucap Midun.
Jalur perjalanan Midun tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya, di mana ia melintas melalui jalan pantura. Selama diperjalanan, ia mendapatkan dukungan dari kalangan suporter yang turut prihatin atas tragedi Kanjuruhan yang menguap begitu saja, padahal keadilan masih belum didapatkan. “Saya sebenernya bukan yang paling peduli, bukan yang paling mencintai. [Tetapi] Saya ingin merasa ini bagian dari kecintaan saya dan prihatin dengan kejadian ini,” ungkapnya.
Menurut Midun momen paling berkesan di perjalanan keduanya yaitu setibanya ia di Jakarta. Ia bercerita bertemu dengan ibu Sumarsih di aksi kamisan Jakarta dan ditunjuk untuk berorasi. “Saya lebih nyaman gowes daripada ngomong di depan banyak orang. Kalo gowes kan hanya tenaga saja, tapi kalo ngomong harus sebisa mungkin menjaga ucapan yang tidak menyinggung perasaan orang,” terangnya.
Terakhir, Midun menyampaikan bahwa kasus Tragedi Kanjuruhan bukan hanya masalah sekelompok orang atau daerah, tetapi merupakan masalah bersama yang harus tetap diperjuangkan sampai tuntas. “Masalah ini bukan masalah Malang, bukan masalah keluarga korban, ini masalah Indonesia secara keseluruhan dan masalah dunia yang memperhatikan,” tegasnya.
Editor: Nola Amalia Rosyada
aksi kamisan KAMISAN MALANG kanjuruhan
Last modified: 08 Oktober 2024