Written by Nabila Farida 15:31 Berita, Berita Malang

Aksi International Women’s Day: Menagih Ruang Aman dan Inklusif untuk Semua Gender

Aliansi Perempuan dan Rakyat Melawan menagih ruang aman pada International Women’s Day Sabtu (08/03/25). Salah satu tuntutannya, yakni menciptakan ruang aman dan inklusif untuk semua gender. Mereka bergerak dari alun-alun menuju perempatan Kayutangan Kota Malang. Aliansi ini terdiri atas tiga kolektif Kota Malang, yakni Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Pembebasan, dan Kamisan.

Femina, juru bicara Aliansi Pembebasan, menyatakan bahwa ruang aman berarti tidak ada ruang diskriminasi, rasis, pelecehan baik itu verbal atau nonverbal dan kekerasan seksual. Menurutnya, hingga kini perempuan masih sangat rentan untuk mendapatkan itu semua. Perempuan menjadi objek seksual di kalangan laki-laki yang masih berwatak patriarki. Sehingga, diperlukan ruang-ruang kesadaran yang mengakui kehadiran perempuan sebagai manusia setara dengan laki-laki.

“Ruang aman itu pengennya untuk kesetaraan gender bukan hanya untuk laki-laki, tetapi bagaimana ruang aman yang disediakan oleh negara juga berlaku untuk perempuan. Karena kita tahu, bahwa hari ini perempuan sangat-sangat rentan untuk menjadi korban dari pelecehan, kekerasan, ataupun diskriminasi,” ujar Femina.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), sejak 1 Januari hingga kini tercatat kasus kekerasan seksual sebanyak 4.589 kasus. Dengan korban perempuan sebanyak 3.943 dan laki-laki 971 kasus.

Untuk mencapai ruang aman, Femina mengemukakan butuh kesadaran setiap manusia dan hal itu harus merata di setiap kalangan masyarakat. Karena tujuannya adalah membangun kesadaran bahwa perempuan adalah manusia, bukanlah objek seksual dari segala bentuk watak-watak seksisme dan patriarki. Namun, pendidikan tentang kekerasan seksual masih belum merata.

“Sampai hari ini belum merata. Kalau sudah merata pasti enggak akan ada lagi catcalling. Tapi kalau kita lihat kan masih banyak sekali laki-laki yang hidup di dalam struktur masyarakat yang merawat watak-watak patriarki itu,” pendapatnya.

Baca Juga: Konferensi PDP ke-IV di Universitas Brawijaya Malang Fokus Penanganan Kekerasan Gender

MALANG – Pengetahuan dari Perempuan (PDP) menggelar konferensi pers yang ke-IV bertempat di Gedung Samantha Krida, Universitas Brawijaya, Malang, pada Kamis (19/09/2024). Hal tersebut digelar untuk menginformasikan hasil konferensi internasional yang diadakan atas kerjasama Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) dengan Universitas Brawijaya, Forum Pengada Layangan (FPL), dan Universitas Indonesia.  

Sementara itu, Jendral, selaku Ketua Kolektif Pembebasan menyatakan penindasan terhadap perempuan ini bukan berakar dari satu kebiasaan. Tetapi dari satu sistem sosial bernama heteropatriarki yang berarti sistem sosial didominasi oleh laki-laki dan ditanam melalui sosialisasi secara terus-menerus dari generasi ke generasi.

“Terbentuknya aksi karena pemerintah yang tidak berperspektif gender. Perspektif pembebasan melihatnya tidak terlepas dari sistem ekonomi yang mendominasi hari ini, yaitu sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme ini menjadikan negara itu sebagai alat,” katanya

Jendral juga menyadari sistem negara, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang telah mengatur masalah kuota perempuan dalam partai politik. Dalam Pasal 2 Ayat 5, berbunyi “Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% keterwakilan Perempuan.”

“Itulah kenapa kapitalisme di satu sisi memerangi budaya patriarki, tetapi di sisi lain dia mencoba mempertahankan budaya itu. Kita ambil contoh Undang-Undang terkait 30% kuota bagi perempuan di ranah publik, tapi nyatanya hari ini belum 30% perempuan di jabatan publik,” jelasnya.

Jendral melanjutkan, untuk bisa menuju ruang aman bagi perempuan bisa ditunjukkan dengan kesadaran melalui aksi demonstrasi seperti ini.

“Sebatas kesadaran, banyak laki-laki yang sadar tentang perempuan yang hari ini sedang ditindas. Cuma mereka malah menjadi pelaku itu sendiri. Itulah artinya mereka hanya berteori tapi tidak ada aksi. Bagi kita kalau sudah berbicara soal perempuan, maka aksi dalam bentuk sekecil apapun harus kita jadikan setara,” tegasnya.

Femina juga mengatakan bahwa mewujudkan ruang aman dapat dilakukan melalui diskusi-diskusi publik, terutama soal kekerasan seksual dan penanganannya serta berbagai bentuk kekerasan seksual itu sendiri.

“Selain bertukar soal keluhan mereka, kita juga menyampaikan soal edukasi-edukasi kita. Biar mereka tahu bahwa penindasan terhadap perempuan, bahkan sampai sekecil apapun itu juga bagian dari penindasan. Kalau negara itu aku mau ngomongnya gimana, ya? Soalnya kita mengandalkan negara, sedangkan yang menjadi pelaku pelanggaran, ya negara itu sendiri,” ungkapnya.

Editor: Alviona Ninda Febriyanti

(Visited 33 times, 1 visits today)

Last modified: 10 Maret 2025

Close