Merespons rencana pengesahan RUU (Rancangan Undang-Undang) TNI (Tentara Nasional Indonesia) nomor 34 tahun 2004, ASURO (Aliansi Suara Rakdjat), Aksi Kamisan Malang, serta elemen mahasiswa menggelar aksi penolakan pengesahan RUU TNI di Alun-alun Kota Malang, pada Kamis (20/03/25).
Jeko, Koordinator Lapangan (Korlap) massa aksi, mengatakan UU ini dapat memberikan keleluasaan bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil. UU ini juga dapat berpotensi mengaktifkan kembali otoritarianisme yang pernah terjadi pada masa orde baru, serta mengamini segala bentuk kebijakan militer.
“Setelah diambil oleh eks militer ini, kemudian dibentuk satu Rancangan Undang-Undang yang mengiakan segala bentuk kebijakan militer. Bagi kami ini adalah persekongkolan secara terstruktur dalam konteks negara,” ujarnya.
Salah satu peserta aksi, Pramaisella Tasya, wanita asal Batu ini juga sependapat. Menurutnya, pendekatan yang digunakan oleh masyarakat sipil yang berbasis demokrasi berbeda dengan TNI yang berbasis militerisme. Dalam demokrasi semua orang berhak untuk berpendapat dan berekspresi. Tetapi tidak dengan militer yang mewajibkan anggotanya untuk mematuhi.
“Di situ enggak ada ruang diskusi, karena kita dituntut untuk langsung mengikuti arahan dari atasan. Kita gak diperbolehkan untuk berpikir. Entah perintah dari atasan itu benar atau enggak, kita kewajibannya adalah melaksanakan, kalau menggunakan pendekatan militerisme,” terang Pramai.
Baca Juga: Suarakan Tuntutan: Ribuan Mahasiswa Melakukan Aksi di Depan Gedung DPRD Kota Malang
“Jika anggaran pendidikan diefisiensi, bagaimana nasib nilai kependidikan kita? UKT naik, masyarakat kecil tidak bisa kuliah,” ujar Alya selaku koordinator lapangan saat orasi.
Mengutip dari BBC.com, pengamanan yang dilakukan TNI pada PSN (Proyek Strategis Nasional) memberikan dampak psikologis bagi masyarakat Merauke. Kehadiran tentara bersenjata dalam proyek ini membuat masyarakat adat yang menolak pengalihfungsian lahan ini seperti berada di medan perang. Sebelum RUU TNI ini disahkan, pelanggaran HAM yang melibatkan aparat militer sudah banyak terjadi. Keterlibatan TNI dalam mengamankan berbagai sektor ini, nyatanya justru membahayakan masyarakat sipil.
“Kasus pelanggaran HAM terjadi di Malang, misalnya kasus Kanjuruhan, belum terselesaikan itu, kasus perampasan lahan di Pakel dan di beberapa wilayah termasuk di Papua, Sulawesi, Maluku, Kalimantan dan lain sebagainya termasuk Sumatra,” tutur Jeko.
Menurut Jeko, tidak ada alternatif lain untuk melibatkan peran TNI dalam ranah sipil karena hal ini justru membahayakan negara. Keterlibatan TNI dalam ranah sipil dapat mencederai ruang demokrasi.
“Dari perjalanan historis, kemungkinan praktik orde baru di zaman modern itu akan semakin masif,” tegasnya.
Editor: Alviona Ninda Febriyanti
Last modified: 24 Maret 2025