Written by UAPM Inovasi 18:48 Majalah INOVASI

Prof. Dr. Azyumardi Azra tak Setuju Agama Di-UN-kan

Tampaknya, tak ada ketetapan yang tak politis. Perdebatan status pelajaran agama Islam dari masa ke masa menyimpan intrik tersendiri. Zaman kemerdekaan dan Orde Lama misalnya, mengapa pelajaran agama Islam tak menjadi pelajaran wajib? Mengapa pada zaman itu harus ada perdebatan wajib dan tak wajib?

 

Memang, zaman kemerdekaan hingga penghujung Orde Lama, dari founding father bangsa hingga masyarakat, terbagi dalam beberapa golongan: agamawan, nasionalis, komunis, sosialis kanan.

Diakui atau tidak, pada setiap pengambilan keputusan selalu ada usaha tarik-menarik kepentingan golongan. Kaum agamawan ingin Negara ini menjadi Negara berbasis Islam. Nasionalis, ingin menjadikan Negara ini Negara yang plural, menjunjung tinggi perbedaan dan persatuan. Komunis, bercita-cita kerakyatan-proletariat. Sosialis kanan punya misi terciptanya masyarakat yang sosialis, tapi tetap menjadikan agama sebagai sandaran moralitas.

 

Pelajaran agama Islam tak ‘wajib’ pada zaman ini cenderung disebabkan pengaruh kaum agamawan yang kurang massif dalam pemerintahan. Pada saat itu, pengaruh kaum agamawan tak lebih kuat dibanding pengaruh kaum nasionalis, sosialis dan komunis.

 

Zaman berganti. Pengaruh nasionalis, sosialis dan komunis melemah pada penghujung Orde Lama. Orde baru berdiri. Dua ideologi besar yang sebelumnya berpengaruh kuat seperti komunis dan nasionalis (Sukarnois), pada zaman orde baru benar-benar pudar. Ideologi sosialis juga ‘haram’ pada zaman ini.

Golongan agamawan kehilangan saingan besar mereka. Ada kecenderungan ‘kerja sama’ tak langsung golongan agama dengan rezim Orde Baru ketika Orde Lama runtuh. Konsekuensinya? Pelajaran Agama menjadi pelajaran wajib bagi Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi. 

 

Ketika orde baru mengalami pembusukan, reformasi tampil memenuhi tuntutan zaman. Jika Orde Baru tumbang, lain ceritanya dengan kedudukan pelajaran Agama Islam. Pewajiban pelajaran agama Islam di institusi pendidikan masih berlangsung hingga saat ini.

 

Pada 2003 pemerintah menerapkan Ujian Nasional (UN). Tak mau kalah dengan pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, beberapa kalangan kemudian mengusulkan agar pelajaran agama Islam juga diperhitungkan untuk di-UN-kan.

 

Kemudian, perdebatan terjadi. Ada yang setuju ada yang tidak. Pertanyaan yang harus dijawab adalah: Apakah dengan baiknya nilai pelajaran agama, baik pula agama (perilaku) anak didik? Mengingat pelajaran agama bukan hanya menyangkut kognisi (teoritis), tapi juga afeksi (perbuatan).

 

Azyumardi Azra punya jalan keluarnya. Pada September 2010, saya wawancarai Azra. Pada saat itu, wacana di-UN-kannya pelajaran agama masih hangat. Apalagi pada bulan itu pemerintah belum juga mengeluarkan ketetapan mengenai pelajaran yang akan masuk kategori UN 2011. Berikut hasil wawancaranya.

 

Bagaimana tanggapan Bapak tentang rencana Mata Pelajaran Pendidikan Agama (Islam) yang akan di-UN-kan?

 

Saya kira motifnya terutama karena gengsi. Karena mata pelajaran lain beberapa (diantaranya) masuk UN. Maka pelajaran agama juga perlu masuk UN. Sebenarnya kalau kita inginnya pelajaran pendidikan agama itu berbekas dalam diri anak anak murid, caranya bukan dengan Ujian itu.

 

Caranya dengan (menerapkan) pembelajaran yang baru. Cara-cara pembelajaran yang lebih kreatif. Saat sekarang, cara pembelajaran itu, (hanya) bertumpu pada akal, pada hafalan. Kalau dikasih (guru) mata pelajaran, dihafalkan (oleh murid). Kemudian diujikan dengan cara Multiple Choice. Itu sesungguhnya tidak tepat. (Capaian) pelajaran Agama itu bukan di situ.

 

Pelajaran Agama itu pengetahuan iya, tapi prakteknya yang lebih penting. Jadi penilaiannya dengan (menilai) tingkah laku murid dan pengamalan agama murid-murid. Itu yang paling penting.

Kalau niatnya untuk meningkatkan pengamalan agama, supaya anak anak itu taat, betul-betul menjalankan ajaran agama, maka penilaiannya bukan dengan cara ujian. Apalagi ujian Negara. Tapi kalau soalnya, soal gengsi, soal prestise, seolah-olah pelajaran agama dianggap hanya jadi sekedar pelengkap saja, tak sama dengan pelajaran lain. Ya boleh-boleh saja (di)ikutkan ujian Negara, saya kira motifnya lebih karena gengsi. Bukan soal bagaimana pelajaran Agama itu betul-betul dijalankan, diamalkan oleh murid.

 

Jadi menurut Bapak, apakah ada korelasinya ketika pendidikan agama di-UN-kan, akan mendongkrak moral siswa?

 

Kalau pengamalan-pengamalan agama tak ada hubungannya. Tak ada korelasinya (dengan UN). (UN) Itu hanya sekadar pengetahuan, hanya dihafal. Pengetahuan agama itu dihafal, diujikan terutama dalam bentuk multiple choice, pilihan ganda. Kemudian (dari ujian tersebut), ditentukan siswanya lulus atau tidak lulus. Itu saja! Tapi itu tak menjamin apakah anaknya betul betul berakhlak mulia. Tidak ada hubungan.

 

Jadi kalau mau jelas hubunganya, korelasinya, maka Pelajaran Agama itu dinilainya bukan dengan ujian di kelas, apalagi Ujian Nasional. Bukan itu ukurannya.

 

Ukuranya adalah dengan melihat, mengamati perilaku anak sehari-hari. Apakah ia berakhlak apa tidak? Itu saja. Baru dari situ bisa dinilai.

 

Karena pelajaran agama itu dari SD/Ibtidaiyah, sampai Aliyah, itu-itu aja yang diulang-ulang. Shalat, puasa itu itu saja yang diulang-ulang. Mungkin sedikit diperluas kalau dia semakin ke (tingkat) Aliyah, diperluas.

 

Jadi substansinya sama saja. Saya lihat buku (pelajaran agama) anak saya dari tingkat Ibtidaiyah sampai tingkat Aliyah, ya sama aja isi(pelajaran agama)nya.

 

Berarti, seperti yang dikatakan Agung Laksono, mantan ketua DPR itu, motifnya untuk mendongkrak moral siswa jadi lebih baik lagi, tidak tepat?

 

Bukan dengan cara itu kalau ingin memperbaiki moral murid atau moral siswa, bukan dengan cara di-UN-kan. Saya bukan tidak setuju dengan UN nya. UN itu bagus-bagus saja. Tapi kalau motifnya ingin akhlak murid lebih baik, ya bukan dengan cara ujian yang (sifatnya) hafalan, tapi dengan cara pengamalan.

 

Idealnya seperti apa menurut Bapak?

 

Setiap guru kalau dia mulai mengajar, awal semester bilang (ke siswa): “Bahwa saya hanya sedikit memberikan pengetahuan, anda baca sendiri. Karena anda sudah belajar, tahulah, sudah hafal wudhu masak saya harus mengulang lagi? Sudah tahu cara berwudhu, masak saya harus mengulang lagi? Yang penting (tugas) saya mengamati kamu, kalau mau shalat wudhunya sudah benar apa belum? (Hubungan) sama temannya, akhlaknya benar atau tidak? Kalau kamu suka mencubit, mengganggu siswa-siswa lain, maka nilai pelajaran Agama kamu ibu/bapak kurangi.” Jadi begitu caranya.

 

Tapi bukan menilainya dengan cara (uji) pengetahuan. Kalau pengetahuan kan bisa aja, pertanyaanya: berapa kali shalat wajib sehari semalam? Nanti ada (jawaban) pilihan: 1 kali sehari semalam, 3 kali sehari semalam, 5 kali sehari semalam. Nah anak anak pasti bisa menjawab 5 kali sehari semalam. Tapi apakah dia mengamalkan (shalat) 5 kali sehari semalam itu? Kan tidak ketahuan.[]

Reporter: Hendri Mahendra

Pengalih Media: Muhammad Rizky Nurdiansyah

Catatan:

Dengan tujuan untuk mengenang dan menambah referensi wacana intelektual yang pernah beliau sampaikan, UAPM INOVASI memutuskan untuk mempublikasi ulang wawancara eksklusif tersebut. Sebelumnya, tulisan tersebut pernah dimuat dalam Majalah INOVASI Edisi XXVIII, November 2011

(Visited 99 times, 1 visits today)

Last modified: 03 Januari 2023

Close